Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Sepatu dan Topi

cahyadi's picture

Topi, aku sangat iri denganmu,” ujar Sepatu kepada Topi di saat mereka tengah beristirahat di pojokan  rumah.

“Iri bagaimana maksudmu?” tanya Topi kurang mengerti.

“Iya, iri. Aku sangat iri karena selama ini engkau sangat dipuja-puja oleh Ndoro Tuan. Engkau selalu mendapat tempat terhormat dan diangkat-angkat di atas kepalanya. Apalagi kalau Ndoro Tuan mau pergi pesta, pasti ia akan betah berlama-lama di depan cermin hanya untuk mematut diri denganmu,” jelas Sepatu dengan perasaan gusar.

Topi hanya diam. Ia tidak berusaha membantah perkataan Sepatu.

“Coba bandingkan dengan diriku ini. Aku hanya bisa pasrah diinjak-injak tiap hari. Kadang aku dibawa Ndoro Tuan ke tempat-tempat kotor hingga badanku berbau tidak sedap. Belum lagi kalau ada benda-benda tajam yang tidak sengaja diinjak. Wuiih, badanku jadi terasa sakit sekali. Aku merasa hidupku sungguh-sungguh malang.” lanjut Sepatu.

Topi tersenyum. Sejenak ia memandang Sepatu dengan perasaan iba, katanya, “Sepatu, sebenarnya apa yang engkau katakan itu tidak benar. Aku ada di atas kepala Ndoro Tuan karena memang tempatku di sana. Dan karena itu seringkali aku harus menahan sengatan matahari yang begitu panas menerpa  tubuhku. Belum lagi kalau turun hujan. Pasti aku kedinginan setengah mati karena tubuhku basah kuyup. Jadi tidak benar kalau engkau menganggap hidupmu sungguh malang. Bukankah kita sudah diberi kelebihan dan tugas masing-masing? Bukankah seharusnya engkau bersyukur karena berkat pengorbananmu itu kaki Ndoro Tuan selalu terlindung dari hal-hal yang membahayakan?”

Sepatu mencoba merenungkan apa yang dikatakan Topi. Dan ketika ia menyadarinya, ia pun tersenyum bahagia.