Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Senja
Saat paling indah di danau ini ketika langit berwarna kemerahan, ketika matahari merendahkan diri seperti mau menyembunyikan diri di balik pepohonan. Ketika itulah makhluk hutan mulai bersuara menyambut malam. Dari atas pohon, burung-burung mengeluarkan kicauan yang berbeda karena telah melewati hari dengan selamat, monyet-monyet berteriak lebih keras untuk menakut-nakuti hantu penunggu hutan.
Danau ini tidak banyak berubah. Kakek yang mengenalkannya padaku. Ia menyuruhku duduk di depan sementara ia mendayung perahu menyusuri sungai yang mengalir di pinggir kampung kami lalu masuk ke sungai yang lebih kecil lagi. Sungai yang begitu sunyi, hanya terdengar suara percikan air saat dayung kakek menyentuh permukaan air dan suara burung serta binatang di kejauhan.
Danau ini ada di ujung sungai itu.
Berbaring di tengahnya, menikmati persiapan alam melepas kepergian matahari membuatku ikut merasa tenang. Setenang hati anak kecil. Kalau alam bisa melupakan masalahnya, mengapa aku tidak bisa? Kalau burung-burung bisa bernyanyi tanpa takut matahari tidak muncul lagi, mengapa aku tidak bisa melupakan kegalauan hati hanya untuk sementara.
Di danau ini aku bisa mengenang masa lalu.
Aku sudah cukup lama tinggal di dunia ini. Aku sudah melakukan banyak hal, dari jadi perantau sampai jadi bujangan luntang-lantung. Di suatu titik, tiba-tiba kusadari diriku harus melakukan sesuatu. Itupun bukan karena beberapa helai rambut berwarna putih yang ditemukan tukang cukur atau nafas yang mulai ngos-ngosan saat menaiki tangga kantor Gubernur, tetapi itu karena seorang gadis yang kuajak makan. Di rumah makan itu, ia terdengar kaget setelah mengetahui umurku. Ajakanku beberapa hari kemudian ditolak dengan sangat halus dan begitu sopan. Kukirimi pesan singkat saat ia berulang tahun. Balasannya singkat, "tangkiu." Kutambahkan, "Mau kutraktir?" Ia tidak pernah membalasnya lagi. Ia menjauhkan diri setelah tahu umurku.. Dalam kebodohanku, aku berharap suatu saat ia membalas SMS-SMSku itu dengan sebuah kalimat, "Sori ya, atas kebodohanku. Boleh aku berharap kamu masih memberiku kesempatan?"
Itu hanya mimpi….
Menatap langit senja, kuingat kejadian ketika sebuah nomor asing muncul di layar ponselku. Kuangkat dengan niat berteriak bila itu customer service TV kabel langgananku. Siapa yang tidak jengkel, baru tiga bulan berlangganan, sudah puluhan kali mereka menelpon hanya untuk bertanya apakah siaran mereka bisa sampai di rumah.
"Ingat saya?" seorang perempuan di seberang sana bertanya.
Kalau itu customer service TV Kabel langgananku, aku punya alasan untuk menghancurkan kuali besar yang mereka pinjami. Sayang bukan.
"Ini tante Mala," wanita itu berkata tanpa menunggu jawaban.
Seingatku, aku tidak punya tante bernama Mala.
"Ini yang kita ketemu dulu," katanya, "ingat pembicaraan kita?"
Aku langsung ingat.
Seminggu sebelumnya mantan ibu kos mengundangku ke acara syukuran keluarganya. Aku sudah tahu ada maksud di balik undangan ini, tetapi aku tidak keberatan. Jika orang lain yang harus memilihkan pasangan untukku, aku lebih mempercayai pilihannya daripada pilihan ibuku. "Kamu sudah punya teman?" tanyanya saat kutemui. "Sepertinya belum," jawabku. "Akan kucarikan untukmu," katanya. Aku cuma tertawa kecil. Sebelum nasiku habis, seseorang wanita setengah baya mendatangiku. "Kamu benar-benar masih bujang, kan?" Aku cuma tersenyum. "Aku ada keponakan yang masih lanjang," lanjutnya sebelum meminta nomor ponselku.
Wanita ini yang menelpon.
Ia bukan wanita pertama yang menawariku perempuan. Adik perempuan ayahku yang sudah bungkuk pernah berkata, "Biar aku yang mencarikan perempuan untukmu. Biar kamu dapat wanita baik-baik, bukan perempuan tidak tahu diri yang tidak becus mengurus suami." Aku cuma nyengir, dirinya yang sudah menjadi nenek-nenek bungkuk sama sekali tidak pernah mendapatkan seorang laki-laki tetapi berani menjanjikan seorang perempuan bagiku.
Kuharap wanita yang sedang menelponku lebih baik dari itu.
"Hei..." suara di telinga membuyarkan lamunanku.
"Oh, apa kabar?" kataku.
Aku tidak peduli kabarnya. Aku hanya ingin tahu seperti apa keponakan yang masih lajang itu. Apakah cantik? Apakah pintar? atau seksi? Atau semuanya? Mungkin ia begitu pemalu sehingga harus orang lain yang mencarikan jodoh untuknya.
"Kapan mau bertemu keponakanku?" tanyanya.
Ia wanita yang tidak suka basa-basi.
Aku juga tidak bakalan basa-basi dalam urusan ini. Kalau nanti bertemu gadis itu, dan bila ia memang menarik, akan kutanyakan tanpa basa-basi, "Mau jadi istriku?"
"Halo…?" Suara itu mendesak dengan lembut.
"Kapan bisa?" balasku.
"Kalau sekarang?" ia balas bertanya.
"Di mana?"
"Di rumahnya. Kami lagi ngumpul di sini."
Mati aku.
Kubayangkan diriku melakukannya. Aku akan tampak seperti orang bodoh saat menginjakkan kaki di teras rumah itu, sementara seluruh keluarga gadis itu menonton dari ruang tamu.
Aku tidak bisa melakukannya.
"Aku malu," kataku.
"Aduh, tidak apa-apa," katanya, "Kamu kan laki-laki?"
Terima kasih sudah menghinaku, Kau tak akan pernah mendapat kesempatan menjodohkanku kalau aku bukan laki-laki pemalu. Terakhir kubuang rasa itu, hanya saat mengajak Lou keluar makan. Aku hampir meloncak ketika ia mengatakan "ya".
Sayang kisah itu berakhir sedih bagiku. Aku sudah terlalu tua baginya.
"Nggak usah malu," suara itu mengganggu telinganya lagi, "biasa kok cowok datang ke rumah cewek untuk mengenalnya."
Tante, aku bukan cowok lagi
Seharusnya ia masih ingat ketika bertanya berapa umurku. Setelah kukatakan, ia menatapku tajam. Seolah-olah tak percaya. Kupikir ia berkata dalam hati, "Aduh, tapi kucoba saja dulu, siapa tahu.."
"Tante sudah cerita ke dia?" tanyaku.
"Belum," jawabnya.
Bukan jawaban yang kuharapkan.
"Maksud saya begini," lanjutnya, "kalian bertemu dulu, setelah itu kutanya keponakanku, mau nggak sama kamu."
Hebat. Aku benar-benar sudah menjadi bujang lapuk.
Kupikir ia memberi tahu keponakannya sebelum menelponku. Kupikir ia sudah berkata, "Tante ada kenal lelaki yang masih bujangan. Ia pintar, tidak merokok dan tidak minum minuman keras. Kamu mau? Aku bisa menjodohkan kalian."
"Gimana ya…" kataku pelan, "saya merasa tidak enak kalau harus datang sendirian kesana."
"Halah... " jawabannya tanpa nada mengejek.
Sesuatu melintas di kepalaku, "Bagaimana kalau bertemunya saat ada acara seperti di pernikahan atau apa, gitu?"
"Mengapa tidak terpikir oleh saya, ya?" katanya dengan nada seolah-olah mengatakan betapa bodoh dirinya, "Benar-benar pintar. Sabtu depan ada acara pernikahan keluarga, nanti kuatur pertemuan kalian di sana."
"Kalau begitu kutunggu kabarnya saja," kataku.
"Ya," jawabnya, "kuajak keponakanku nanti."
"Ok," kataku.
"Nak?"
"Ya?"
"Kuharap kalian berjodoh."
Aku tertawa. Kuharap gadis itu seperti yang ia gambarkan. Kuharap wajahnya seperti yang kulihat dalam mimpiku selama beberapa hari ini.
Besoknya janji itu kutunggu, tetapi ia tidak menelponku lagi. Setelah beberapa minggu, aku yakin kisah itu juga berakhir sedih. Mungkin sang tante memutuskan untuk berbicara dulu dengan keponakannya sebelum mengajak ke kondangan. Lalu setelah mengetahui umurku, gadis itu sudah menolak sebelum melihatku.
Kutatap langit senja.
Aku salah menduga, beberapa hari kemudian, nomor itu muncul lagi di layar ponselku. Kali ini nadanya mendesak, sepertinya keponakannya kebelet ingin kawin. Aku pun curiga. Kutanya umur gadis itu.
Aku kaget.
***
Alam sudah hampir tertidur. Suara-suara itu mulai hilang, meninggalkan kesunyian setelah binatang selesai menyambut senja. Hari mulai gelap. Sebentar lagi bulan kelihatan.
Aku menghela nafas.
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 6923 reads
CERPEN BAGUS
Terinspirasi oleh "senja" Clara Anita?
Tetapi bukan untuk godain Clanit, 'kan?
Btw, kalau masih single, nikmati saja, tak perlu panik atau dipanikkan, karena tetap melajang sampai tua bukan dosa. Sayang perempuan lebih ditekan oleh keluarganya bila berketetapan untuk melajang.
Kebetulan aku sedang menimbang-nimbang untuk menulis sekitar melajang, terutama bagi perempuan. Sekarang dengan cerpen ini aku berpikir mengapa tidak juga menelisik kehidupan pria lajang.
SINGLE LADY's PRAYER
Thank God, untuk . . . .
kemerdekaan menjalani hidup;
keleluasaan mengejar karier;
waktu melimpah untuk hang out;
tidur nyenyak tanpa dengkuran;
kemewahan menikmati kesendirian;
dan banyak lagi yang terlalu panjang untuk disebut.
Tuhan, beri kami kesabaran untuk . . .
tidak kurang ajar menghadapi tuntutan ortu;
selalu tersenyum bila ditanya ’mengapa keenakan melajang’;
tidak mengejek teman-teman yang curhat tentang kesulitan rumah tanganya.
Tuhan, beri juga kami kekuatan untuk . . .
tidak melepas masa lajang hanya karena everybody does;
tidak melepas masa lajang karena takut stigma perawan tua;
tidak melepas masa lajang karena dianggap menghalangi pernikahan adik kami;
tidak melepas masa lajang karena terlanjur berbadan dua;
tidak melepas masa lajang untuk bayar utang.
Dear Lord Jesus . . . .
Ijinkan kami menikmati kesendirian kami,
dan merelakannya pergi pada waktunya.
Atau bila Kau anggap kami terlalu egois bersenang-senang sendiri,
berikan kami teman untuk berbagi kesenangan.
The good one, of course, if You don’t mind . .
Senja
Terima kasih, Pak Pur.
Senja...
Saya menyukai senja, apalagi senja di kampung saya.
Waktu melihat "Senja"-nya Clara Anita, saya putuskan untuk mem-posting cerita yang masih tersimpan di komputer saya.
Dan memberinya sebuah judul,"Senja".
Senjanya AP seperti
Senjanya AP seperti menggambarkan penantian di usia yang matang ya...
Sampai akhir tahun ini saya masih menanggapi penantian di senja hari itu dengan berat dan kadang penuh keluh; tapi ketika merelakan orang yang saya kasihi pergi menjemput awal yang baru tepat di hari kasih sayang saya jadi sampai pada pemaknaan baru akan senja....
Saya rela menghadapi malam karena yakin akan datang fajar..
Cerpen yang bagus AP..
:)
My Point
You got my point
Senja tak seburuk apa.
Senja tak seburuk apa. (Sajak buat Anak Patirsa).
Siapapun mensyukuri hari yang cerah dan ingin meneguk dunia sepuasnya.
Tapi ketika berangkat senja, yang dilakukannya cuma menoleh kepada lonceng.
Ada yang menyayangkan mengapa waktu begitu cepat lewat.
Ada yang menghadapinya dengan berani sepekat apapun malam nanti.
Sebetulnya, malam punya pesonanya sendiri.
Yang sedang mengalami pagi, diam-diam membayangkan malam yang kita nikmati.
ferrywar