Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Sekilas dari Keabadian (10)

John Adisubrata's picture

Kesaksian Ian McCormack

Oleh: John Adisubrata 

PERTOLONGAN ‘SEORANG’ MALAIKAT  

“Sesungguhnya Aku mengutus seorang malaikat berjalan di depanmu, untuk melindungi engkau di jalan dan untuk membawa engkau ke tempat yang telah Kusediakan.” (Keluaran 23:20)  

Penuh kesedihan saya meratap: “Apakah hal-hal semacam ini yang biasa dilakukan oleh orang-orang terhadap sesamanya, umat lain yang sedang membutuhkan pertolongan mereka?”  

Hati saya terasa hancur sekali, … sedih tak terlukiskan! Harga diri dan hak azasi saya sudah diperkosa secara kejam olehnya, pada saat saya tidak berdaya sama sekali untuk membelanya! Jika saat itu juga saya harus mati, dengan ikhlas sekali saya bersedia meninggalkan planet yang amat mengecewakan ini, yang penduduknya sudah tidak mengenal peri kemanusiaan lagi! 

Sementara itu, oleh karena kegaduhan suara yang ditimbulkan oleh terputarnya ban-ban mobil dengan cepat di atas aspal jalan, dari dalam hotel saya melihat seorang laki-laki yang bertubuh tinggi, tegap dan kekar sekali, berlari-lari ke luar ke arah jalan dengan membawa sebuah lampu senter di genggaman tangan kanannya. Sambil mengayun-ayunkan sorotan sinar lampunya kian kemari ia bergegas cepat mendekati tempat di mana saya berada.  

Pada saat cahaya terang menyilaukan itu menimpa wajah saya yang sedang memandang ke atas menatap dirinya, saya segera mengenali suara orang itu, ketika ia berteriak terkejut sekali menegur saya: “Ian, apakah yang engkau lakukan di situ?”  

Ternyata itu adalah suara Daniel, sahabat karib saya, salah seorang penangkap ikan yang sering melewatkan waktu bersama saya di dalam ‘Pubs’ (Kedai-kedai minum alkohol) pantai Tamarin Bay. Di luar pengetahuan saya, Daniel bekerja pada malam-malam tertentu di tengah minggu sebagai seorang petugas keamanan hotel tersebut.  

Dugaan saya, gara-gara keributan yang baru terjadi di jalan, Daniel mengira ada beberapa parawisatawan di luar hotel yang baru saja tiba dari bandar udara. Oleh karena itu ia bermaksud untuk menyambut kedatangan para turis tersebut sambil membantu mengangkatkan koper-koper mereka masuk ke dalam hotel.  

Menemukan diri saya tertelungkup di tepi jalan, mula-mula ia menduga, bahwa seperti kebiasaan yang sering kali kami lakukan bersama, saya hanya dalam keadaan mabuk saja.  

Tetapi ketika ia memperhatikan dengan lebih seksama lagi wajah saya yang amat pucat, yang tentu sudah menggambarkan seluruh penderitaan yang sedang saya alami selama itu, ia menjadi sadar, bahwa dugaannya tersebut keliru sekali.  

Penuh kekuatiran ia bertanya: Ada apa, Ian? Apakah yang telah terjadi?” 

Tanpa mempunyai keinginan untuk menjawab pertanyaannya, dengan bersusah payah saya menarik kaos sweat shirt yang menutupi lengan tangan kanan saya ke atas untuk memperlihatkan kepadanya keadaan kulit saya yang terluka, yang sudah membengkak besar sekali.  

“Le Invisible!” Teriaknya sambil bergegas meraih dan mengangkat tubuh saya ke atas.  

Mendekapnya erat-erat dengan kedua lengan tangannya yang besar dan kokoh, Daniel meluncur masuk ke dalam hotel laksana ‘seorang’ malaikat yang diutus dari sorga untuk menolong saya. Ia mendudukkan saya di atas sebuah kursi plastik di serambi depan hotel, di dekat kolam renangnya. (1) 

Setelah itu, tanpa mengatakan sesuatu apapun ia ‘terbang’ ke luar lagi melalui pintu depan meninggalkan saya, dan menghilang di tengah-tengah kekelaman malam.  

Oleh karena semua itu terjadi hanya dalam waktu sekejab saja, saya tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk menegur Daniel. Saya merasa heran, … mengapa ia tega meninggalkan saya dalam keadaan seperti itu di sana? Apakah ia tidak mempunyai hasrat untuk menolong diri saya? 

Kendatipun kesehatan tubuh saya sudah lebih menurun lagi, saya tetap menolak untuk menyerah begitu saja.  

Saya mengawasi sekeliling ruang depan hotel di mana saya berada. Tidak jauh di seberang kolam renang itu, saya melihat tiga orang laki-laki sedang duduk bercakap-cakap mengelilingi sebuah meja plastik bundar. Raut muka dan logat suara mereka menunjukkan, bahwa ketiga-tiganya adalah penduduk pulau Mauritius keturunan Cina.  

Mereka asyik bermain ‘Mahyong’ sambil menikmati bersama sebotol ‘Whiskey’. Di luar pengetahuan saya, salah seorang dari ketiga laki-laki itu adalah pemilik hotel tersebut.  

Tanpa mau menghentikan permainannya, bersama-sama mereka menoleh dan menatap saya dari jauh. Seperti Daniel, mula-mula mereka mengira, bahwa saya sedang dalam keadaan mabuk saja. Salah seorang dari ketiga laki-laki tersebut yang tampak berusia paling lanjut bertanya: “Hei white man, mengapa engkau menjadi mabuk seperti itu?”  

Dengan suara yang sudah melemah sekali saya menjawab: “Tidak Pak, saya bukan mabuk, … saya sakit Pak! Lengan tangan kanan saya baru saja disengat oleh lima ekor Le Invisible di dalam laut di Riviere Noir. Saat ini saya sangat membutuhkan suntikan anti-toksin dari dokter. Apakah Anda bisa membantu mengantarkan saya pergi ke Victoria Hospital di kota Quatre Bomes, agar secepatnya saya bisa diobati di sana?” 

Berpura-pura seolah-olah ia tidak mengerti permohonan saya, laki-laki tua itu berkata: “Aku tidak bisa memahami apa yang engkau katakan, white man.” 

Sambil memperlihatkan keadaan kulit lengan tangan kanan saya yang sudah melepuh amat besar dengan goresan-goresan luka berwarna merah yang berderet-deret di atasnya, sekali lagi saya memohon pertolongan mereka: “Ajal saya sudah hampir tiba Pak, … tolonglah saya!” 

Laki-laki yang termuda di antara mereka memandang kulit lengan tangan kanan saya dari jauh, bangkit berdiri, lalu berkata: “Oh ‘stupid’ white man, mengapa engkau menyuntiki lengan tanganmu sampai terluka seperti itu?”  

Kemudian sambil meniru tingkah laku para pecandu yang sedang menghirup sebuah pipa yang panjang, ia meneruskan perkataannya: “Mengapa engkau tidak menggunakan opium saja seperti orang-orang tua bangsa kami? Dasar engkau orang bule yang goblok!” Ujarnya sambil duduk kembali di atas kursinya. 

Lalu mereka meneruskan permainan judinya tanpa memperdulikan diri saya lagi, seolah-olah saya tidak berada di sana. Tentu mereka berpendapat, ... sebagai korban kejahatan obat-obatan narkoba, saya sudah tidak berharga sama sekali untuk menerima pertolongan dari mereka.  

Tidak lama kemudian saya merasakan suatu getaran yang amat aneh mulai terjadi, yang tiba-tiba timbul dari dalam tubuh saya, diawali dari lengan tangan kanan saya, dan yang kemudian menyebar ke mana-mana dalam waktu yang amat singkat. Getaran kecil tersebut berakhir dengan sebuah goncangan dahsyat yang mempengaruhi seluruh tubuh saya! 

Melihat hal itu mereka menjadi kuatir sekali. Bertiga mereka datang berlari-lari menghampiri diri saya, lalu menekan tubuh saya di atas kursi dengan memegang erat-erat pergelangan-pergelangan tangan dan kaki-kaki saya. Tetapi goncangan-goncangan tersebut ternyata terlampau kuat bagi mereka, karena pada akhirnya saya berhasil menyebabkan mereka terpental ke tiga jurusan!  

(Nantikan dan ikutilah perkembangan kesaksian bersambung ini)  

SEKILAS DARI KEABADIAN (11)

Kesaksian Ian McCormack

‘JEMPUTAN’ PERTAMA

billyjoe's picture

sabar

pa john bukan nya saya tidak mau bersabar, tapi... memang saya tidak sabar :)
John Adisubrata's picture

Sabar Menjadi Subur

Waduh BillyJoe, yang sabar dulu yah. Kalo keburu-buru entar jadi bosen sama saya, nih. Soalnya begini, saya juga masih nulis dan 'ngedit buku ini. Ceriteranya panjang sekali, dan harus dikisahkan secara detil. Tidak ada yang bisa diabaikan begitu saja, karena semuanya nanti akan muncul lagi di bagian-bagiannya yang paling seru. He He He! Biar tambah tertarik, nih!

Saya berjanji akan saya posting secepatnya, sebisa saya menyelesaikannya. Payahnya, saya mesti rebutan computer terus dengan anak saya. Dan saya cuman bisa menulis di malam hari atau weekend, jadi karena ia harus 'ngerjain PR-nya, yah biasanya, ... saya yang lebih 'tua' ya yang harus 'ngalah.

Terima kasih atas perhatiannya, bikin saya jadi lebih semangat, karena ternyata masih ada yang peduli. Thanks once again, dear brother!

Syalom,

John Adisubrata