Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
sebagian tentang terjemahan
Di profil FS (ai!) saya tertulis begini:
Favourite Books : buku-buku terbitan Lentera Dipantara, buku-buku karya penulis dari negara miskin (biar gampang bayanginnya), yang terjemahannya bagus, ...->> cut
Terjemahan sekarang memang semakin sering menjadi masalah buat saya. Mungkin akibat pengaruh tugas-tugas kantor, mungkin juga karena buku-buku bahasa Inggris mahal-mahal dan susah ditemukan di Solo ini, mungkin lagi karena saya malas melatih ketrampilan bahasa Inggris saya. Karya-karya terjemahan memang menawarkan banyak kemudahan; bahasanya bisa kita pahami dan harganya tentu lebih murah dari buku tulisan langsung penulisnya.
Tapi masalahnya, bagaimana kalau terjemahannya jelek? Bukannya bikin mudah dipahami, kadang kalau baca buku seperti itu saya malah harus berpikir 2 kali, membayangkan kata-kata bahasa Indonesia ini kalo diterjemahkan per-kata dalam Inggris kira-kira gimana, barulah saya paham apa arti kalimat itu yg sebenarnya. Terjemahan yang buruk juga sering bikin masalah baru. Kalau mengikuti perkembangan dunia perbukuan, kita pun bisa tahu berapa banyak penulis yang marah-marah dan kecewa karena hasil karyanya diterjemahkan dengan kacau (Ben Anderson yang kecewa dengan hasil terjemahan 'Imagined Communities' akhirnya menerjemahkan sendiri bukunya itu). Lebih jauh lagi terjemahan yang buruk jugalah yang membuat Cinderella bisa memakai sepatu kaca (padahal dalam bahasa aslinya sepatu dalam kisah Cinderella bahannya dari semacam kulit apa gitu). Sementara kalau agar melebar, hal yang agak mirip juga terjadi pada kata-kata 'No Woman No Cry' lagunya Bob Marley yang malah dipakai sebagai slogan untuk para pria yang pernah disakiti wanita (weks!), padahal arti sebenarnya adalah seperti kata-kata Yesus waktu meniti jalan salib "Hai perempuan, jangan kau menangis".
Walau tugas saya disini antara lain adalah menerjemah, beragam interpretasi bagaimana caranya menerjemahkan kadang masih bikin saya bingung. Saya juga tidak mau ikut milis penerjemah karena khawatir makin bingung di samping saya masih belum merasa sebagai penerjemah beneran. Dr. Antonius Gurito* mengatakan bahwa menerjemahkan yang baik yang penting adalah isi dan artinya bisa dipahami, meski tiap kata- katanya mungkin tidak persis sama. Sementara Lubna Algadrie** menambahkan bahwa untuk bisa menerjemahkan dengan baik, tiap kata harus dilihat dengan cermat karena kata yang sama dalam bidang yang beda, dapat membawa arti yang lain pula. Sementara ini, itulah yang saya yakini.
Tapi lagi-lagi masalahnya adalah ekonomi, ngejar setoran atau deadline. Ketika di Yogya dan mencari buku di Toga Mas, walau buku-buku disitu jauh lebih komplit dari Gramedia Solo, saya tetap beberapa kali kecewa. Buku-buku yang topiknya menarik dan sudah lama saya cari ternyata setelah dibaca beberapa halaman, eh terjemahannya amburadul. Saya pun terpaksa mengurungkan niat membeli beberapa buku itu. Ngobrol-ngobrol dengan kawan saya yang kebetulan bekerja di penerbitan di kota itu dan membicarakan tentang buku-buku terjemahan di Indonesia, kenyataan itulah yang memang berlaku. Banyak terjemahan yang dikerjakan terburu-buru. Bahkan beberapa kali pengalaman saya beli buku terjemahan, hasil terjemahan dari orang yang memang penulis pun bisa sangat jelek. Saya juga masih belum mendapatkan metode memilih terjemahan yang baik. Menilai berdasar penerbit juga kurang jitu apalagi beberapa penerbit yang kata kawan saya tadi terjemahannya seringkali jelek (dan saya pikir memang benar) malah seringkali menerbitkan buku-buku yang sangat menarik minat saya. Mungkin lebih baik kalau memilih berdasar penerjemahnya, tapi masalahnya tidak semua buku bisa dibuka, beberapa masih disampul plastik erat-erat.
Masalah terjemah-menerjemahkan memang kadang bisa sangat rumit. Di publikasi e-Jemmi ada banyak kisah-kisah tentang para penerjemah Alkitab bahasa suku yang dalam waktu 10 atau bahkan 5 tahun atau kurang dari itu telah berhasil menerjemahkan Perjanjian Baru. Bukannya bermaksud mengecilkan mereka, apalagi saya sendiri belum pernah merasakan bagaimana tuntutan belajar bahasa jika tinggal di daerah yang bahasanya sama sekali asing, namun betapa 'menakjubkan' jika para misionaris yang waktu datang diceritakan sama sekali buta dengan bahasa suku tersebut, dalam waktu 8beberapa tahun saja sudah berhasil menerjemahkan kitab PB setebal dan serumit (termasuk penerjemahan istilah2 budaya Yahudi di PB) itu. Entah apakah mereka memakai peralatan canggih tertentu atau malah manual saja. Saya cuma penasaran bagaimana cara kerja dan keakuratan hasil terjemahan mereka.
Baiklah, disini saya memang belum akan bisa menilai baik buruk satu terjemahan jika tidak melihat hasilnya. Terutama jika mengingat bahwa faktor lain seperti kejar setoran tadi bisa sangat mempengaruhi. Banyak penerjemah profesional bilang bahwa menerjemahkan memang gampang-gampang susah. Tapi kalau memang mau menghasilkan penerjemahan yang baik, saya rasa kemampuan dalam pemakaian dan pengetahuan kosakata kedua bahasa atau bahkan bahasa lain yang tidak berhubungan langsung, keterampilan menulis yang baik, pengetahuan yang luas akan seluk beluk dan istilah bidang-bidang subyek terjemahan adalah sesuatu yang harusnya ada. Ada juga yang bilang kalau penguasaan akan bahasa sasaran (dalam hal ini bahasa Indonesia) lebih utama karena nanti yang membaca kan lebih banyak orang yang hanya mengerti bahasa Indonesia saja. Selain itu juga ditambah kemauan untuk membandingkan, memahami jalan pikiran serta budaya bahasa asli, mungkin juga sejarah serta tentunya keinginan untuk meneruskan ilmu dan pengetahuan tersebut ke orang lain. Dan saya sama sekali belum dapat memenuhi syarat-syarat yang saya ajukan sendiri di atas.
* dan ** : bukan siapa-siapa, mereka cuma dosen-dosen mata kuliah penerjemahan saya dulu kok
- y-control's blog
- 7934 reads
No Woman No Cry + Masalah Terjemahan
Mengenai "No Woman No Cry", yang hendak disampaikan Bob Marley adalah, "hai wanita, jangan menangis" kalau begitu dia lupa tanda koma donk? Tidakkah seharusnya menjadi "No, Woman, No Cry"? Atau bagaimana?
Lalu, mengenai terjemahan, sejumlah ahli bahasa kita juga memang tengah mempersoalkan hal itu. Mari berharap pembinaan mengenai terjemahan dapat dilakukan dengan segera sehingga kualitas terjemahan kita semakin baik.
"karena bahasa Indonesia dahulunya adalah lingua franca"
_____________________________________________________________
Peduli masalah bahasa? Silakan bertandang ke Corat-Coret Bahasa saya.