Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Samar samar
Ini pagi yang biasa baginya sama seperti pagi yang lain. Pagi di mana sayup-sayup ia mendengar aktivitas yang menandakan dimulainya hari itu; suara kicau burung yang bersarang di atas atap kamarnya, ayahnya yang sedang membuka pintu dan jendela-jendela ruang tengah, orang yang lalu lalang di jalan depan rumahnya, tetangga sebelah yang sedang sibuk di dapur, traktor yang berjalan lambat-lambat serta angkot yang sudah ia hafal betul suaranya.
Akhirnya segala sesuatu yang absurb menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Pun sesuatu yang absurb itu membuatnya menjadi gelisah tapi toh semua akhirnya kembali menjadi sesuatu yang biasa saja.
Aku terusik. Perlahan-lahan mataku terbuka lebar karena sesuatu membangunkanku. Bukan karena suara ribut tapi ‘sesuatu’ telah membangunkanku, ... sesuatu yang ‘lain’. Dengan berat hati kubuka juga mataku untuk melihat asal suara yang menyadarkanku dari mimpi.
Aku berada di antara rasa terkejut dan heran dengan apa yang kulihat, juga dengan apa yang kusaksikan kali ini. Kehadiran ‘mereka’ telah memelekkan mataku, ... tidak mungkin tidak! Mungkinkah aku dapat mengabaikan begitu saja kehadiran mereka? Tidak, ... tak dapat begitu saja kuabaikan kehadiran mereka, tak dapat begitu saja aku berkalu seakan tidak mengetahui, tidak menyadari dan tidak melihat semua yang sedang terjadi di depan mataku – sebenarnya aku berharap bahwa merekalah yang terkejut ketika aku terbangun, ...seharusnya begitu -.
Perawakan kecil, tak lebih tinggi daripada telapak tanganku. Serupa liliput mereka itu. Pernah lihat profil liliput yang ada di cerita Snow White? Atau tokoh-tokoh yang ada di Smurf? Tapi tubuh mereka agak kurusan, kecil serupa dengan para sahabat Tinkerbells. Dengan topi lancip dan pakaian yang melekat pas di tubuh, entah sebutan apa yang layak bagi mereka, liliput? Para smurf? Sahabat dari tinkerbells? Aih, ...tidak tahu aku. Entah dari mana mereka pun aku tak tahu. Pada dasarnya aku juga tidak mau tahu.
Tersenyum ke arahku, bukannya mereka tidak menyadari adanya aku ... . Aku bahkan curiga mereka sengaja melakukannya di depan mataku, entah dengan maksud apa. Karena jika tak begitu, mereka tidak akan melemparkan senyuman itu ke arahku. Mereka pasti sudah mengenalku terlebih dahulu. Mereka juga pasti sudah menyadari bahwa kehadiran mereka dapat membangunkanku. Mereka pasti sudah mengantisipasi segala sesuatu yang "mungkin" terjadi ketika 'suara' mereka menyentakkanku. Membuyarkan mimpiku.
Mereka menyanyi dan menari - tidak tahu apa yang mereka nyanyikan, tidak begitu kentara aku mendengarnya - bergandengan tangan hingga membentuk lingkaran, kaki diangkat bergantian kiri dan kanan, mereka berputar sambil tertawa dengan riang. Entah mereka melakukan itu untuk merayakan sesuatu atau memang itu adalah sesuatu yang mereka suka lakukan untuk merayakan berlalunya siang dan menyambut datangnya kehidupan malam, aku tak tahu.
Aku hanya bisa terpaku memandang ke arah mereka, bukan karena aku takut tapi lebih kepada rasa heranku dengan sosok mereka yang antara asing dan tidak bagiku. Asing karena mahluk yang kupikir tak pernah ada itu ternyata ada. Lalu perlahan-lahan mereka mulai samar terlihat … aku benci bagian ini, bagian ketika aku ingin melihat lebih lama dan lebih jelas untuk memuaskan rasa ingin tahuku, tapi mereka seakan tidak pernah mau membiarkanku memperhatikan mereka lebih lama lagi, apalagi mengenal mereka. Padahal aku ingin sekali sekadar mengetahui sedikit saja tentang mereka, sedikit saja, tidak lebih dari itu.
Besoknya aku menunggu kedatangan mereka,…tapi tak ada. Juga pada malam-malam berikutnya,…tidak pernah lagi muncul,..hanya sekali itu.
Menjadi indigo dewasa bukan sesuatu yang buruk ....
- Kolipoki's blog
- Login to post comments
- 4824 reads
@kolipoki: either hate it or like it..
Salam kenal sebelumnya, ms. Kolipoki..
Dua putri saya, agaknya juga memiliki kemampuan seperti itu. Biasanya kalau mereka mipisin si Boney anjing kami, mereka sering bercerita kepada saya mengenai apa saja yang mereka lihat saat itu (daerah sekitar rumah saya memang masih banyak pohon dan semaknya), yang intinya kalau saya simak cerita mereka, memang yang dilihat itu bukanlah sesuatu yang alami. Kalau sudah begitu, saya biasanya menyuruh mereka untuk selalu mengucap doa kepada Tuhan Yesus untuk minta bimbingan dan peneguhan. Ya, memang hanya itu yang bisa saya katakan kepada mereka, karena saya sendiri tidak melihat ataupun mendengarnya.
Mantan pacar saya, ahh, kalau yang satu ini malah sudah capek kadang telinga saya mendengar cerita-ceritanya mengenai apa yang dia "lihat" dan "dengar", dari pacaran dulu sampai sekarang punya anak dua. Rasa-rasanya tidak ada satu pun kos-kosan saya dulu di Jogja, yang tidak dibilangnya ada "anu"nya. Jadi seperti hilang hitam manisnya itu kalau sudah mulai cerita-cerita seperti itu ke saya. Nyebeli.. Hmmhh...
Saya tidak tahu apakah ini bersifat keturunan atau tidak, karena ibu dan almh. ompung (nenek) saya juga begitu. Dan saya juga heran, kok sepertinya fenomena ini banyak dialami kaum wanita (karena lebih sensitif?). Ada teman-teman Kristen yang berkata bahwa orang-orang yang memiliki kepekaan seperti itu harus didoakan. Ada juga yang berkata ini hal yang natural, walau belum ada penjelasan yang memuaskan. Macam-macam.
Yang jelas, kalau lagi jalan-jalan dengan kekasih-kekasih saya ini, kadang jadi agak bergidik juga saya, entah apa nanti yang mereka lihat (atau dengar), hehehe... Ompung saya dulu malah lebih serem, suka tiba-tiba menarik tangan orang yang sedang berjalan dengan beliau. Supaya jangan bertabrakan, katanya. Tabrakan dengan apa? Entahlah...
Shalom!
(...shema'an qoli, adonai...)
(...shema'an qoli, adonai...)
mreka muncul
kolipoki:
Besoknya aku menunggu kedatangan mereka,…tapi tak ada. Juga pada malam-malam berikutnya,…tidak pernah lagi muncul,..hanya sekali itu.
Menjadi indigo dewasa bukan sesuatu yang buruk ....
me:
Kata Richard Dawkins, "mereka" muncul dalam bentuk Tuhan pada waktu kita dewasa.. eheheh *wink2*