Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Ronggowarsito: Requiem: Symphony #3
(Ronggowarsito: Requiem: Symphony #3)
rintik gerimis membasahi kota salatiga / di rumah mungil yang terhimpit sudut belokan / dalam gang sempit di belakang pasar / terlihat kerumun orang berkumpul di halaman
beberapa dari mereka sibuk mendirikan tenda / yang lainnya mengeluarkan perabotan dari ruang tamu / kursi ditata saling berhadapan / berjajar sepanjang tepi ruangan
meja panjang diletakkan di tengah / satu lagi meja kecil dengan taplak berwarna jingga / ada satu foto berpigura kayu, salib perak, dan lilin besar / tergeletak di atasnya
dari dalam kamar di sebelah ruang tamu / seorang perempuan tua histeris / ada seru, 'maafkan mama, anakku...' / beberapa orang menemaninya terpaku haru
---o---
Hari pertama.
'Mekel ilang di rawa pening. Mohon dukungan doa.'
'Tolong disiapkan satu peti mati. Antisipasi kemungkinan terburuk.'
Dua pesan singkat yang dikirim berturut-turut oleh seorang teman dari Salatiga itu sangat mengejutkanku.
Mekel, aku cukup mengenal pemuda itu. Aktifis pemuda gereja, anggota paduan suara, dan di antara teman-temannya ia dikenal sebagai sosok yang baik. Kendala ekonomi membuatnya tidak bisa melanjutkan kuliah selepas SMA. Bahkan beberapa tahun yang lalu ia sempat membantu aku mempersiapkan tempat yang sekarang ini menjadi gudang usahaku.
"Daripada nganggur, mas. Lumayan juga kalau hasilnya sedikit-sedikit bisa ditabung." katanya waktu itu.
Dari cerita adikku yang juga adalah teman dekatnya, aku tahu kalau dia ingin ikut kursus Diploma 1 di Satya Wacana. Aku sendiri kurang tau persis kursus apa yang akan diambilnya. Dari beberapa kali bertemu dan ngobrol, aku tahu bahwa dia sudah bekerja sebagai bellboy di Pondok Remaja Salib Putih.
Teringat kembali kenangan lama ketika dulu aku masih praktik pengacara di Salatiga. Kami seprofesi dan sama-sama punya hobi mancing. Sebenarnya bukan pengacara saja yang bisa tergila-gila hobi yang satu ini. Sebelumnya, seorang PNS Pemkot malah dikabarkan meninggal gara-gara perahunya terbalik di rawa sewaktu mancing. Masalahnya, kejadian itu berlangsung pada jam kerja, saat mana seharusnya dia ada di kantor. Bagi sebagian penggilanya, mancing adalah agama ke-dua. Tak mau kalah dengan anggapan masyarakat Brasil terhadap sepakbola.
Tempat favorit para pemancing Salatiga adalah Rawa Pening. Danau ini memang menyimpan banyak sisi yang menarik. Sebuah komunitas fotografer bahkan menobatkan rawa ini sebagai landscape danau terbaik di Indonesia untuk seni fotografi. Tantangan bagi mereka adalah bagaimana mengeksploitasi nuansa mistis rawa untuk dimasukkan ke dalam sebuah foto yang mereka buat. Kabut tipis di waktu fajar, rumpunan enceng gondok dan rumput liar, perahu-perahu di dermaga yang berjajar, nelayan beraksi jala ditebar, tak pernah habis pesonanya untuk dijadikan objek foto.
Sementara bagi sebagian besar masyarakat di sekitarnya, sejak dulu danau alam ini menjadi tumpuan perekonomian. Banyak yang dapat dimanfaatkan dari keberadaan rawa ini, misalnya potensi ikan, usaha branjang, karamba, enceng gondok untuk bahan kerajinan, pemancingan dan warung makan di sepanjang tepian, bahkan 'irengan' - istilah masyarakat rawa menyebut endapan enceng gondok yang membusuk di dasar danau, karena warnanya yang kehitaman - untuk media tanam.
Satu hal yang sudah dianggap kejadian lumrah oleh masyarakat Rawa Pening adalah ketika danau ini menelan korban. Banyak orang yang menghubungkannya dengan mitos Baru Klinthing, ular raksasa berkalung lonceng 'klinthang klinthing', sang penunggu danau yang meminta tumbal.
Hari ke-dua.
Belum ada tanda-tanda Mekel ditemukan.
Peti mati sudah kusiapkan, tinggal menunggu kepastian kapan mau dikirim. Kucoba menghubungi adikku dan teman-temannya. Tim Basarda, penduduk setempat, dan teman-temannya sudah berusaha mencari sampai radius 200 meter di sekitar tempat kejadian. Ternyata baru beberapa barang bawaan dan perahunya yang ditemukan. Dari informasi yang kudapat, pada waktu kejadian itu memang sedang cuaca buruk, hujan lebat dan angin besar, bahkan kemungkinan ada cleret taun yang menyapu tempat kejadian. Cleret taun adalah sebutan masyarakat Jawa untuk angin puting beliung yang berputar dan naik ke atas. Di Rawa Pening fenomena ini biasanya ditandai dengan sapuan angin besar dari sela-sela lembah perbukitan yang ada di sekeliling rawa. Sampai di tengah rawa angin itu berputar ke atas, menghempaskan apa saja yang ada di permukaannya.
Waktu itu Mekel berangkat bertiga. Dua orang lagi selamat dalam keadaan trauma berat. Mereka berangkat satu perahu bermesin tempel. Biasanya perahu untuk mancing itu disewakan sekaligus dengan sopirnya. Mungkin karena langganan dan memang Mekel sudah terbiasa menjalankan mesin tempel sendiri, mereka berangkat mancing tanpa sopir.
Aku bisa membayangkan terjadinya kecelakaan itu. Karena waktu itu hujan, ada kemungkinan kain terpal penutup diturunkan untuk menahan air hujan agar tidak masuk dari samping perahu. Padahal menurut cerita saksi hidup, selain turun hujan, angin juga bertiup sangat kencang. Kencangnya angin yang menerpa kain terpal yang di turunkan dapat mendorong dan menggulingkan perahu, belum lagi kalau memang benar terjadi cleret taun, pasti situasi waktu itu sangat berbahaya.
Hari ke-tiga.
Menjelang siang hapeku berdering, langsung kuangkat.
Dari temanku. Pasti kabar tentang Mekel.
"Gimana?" tanyaku langsung tanpa basa-basi.
"Sudah ketemu," jawab suara di seberang sana.
"Meninggal?"
"Iya."
Aku menghela nafas. Walau sudah siap dengan kemungkinan terburuk itu, tetap saja ada rasa sedih yang tak terbendung.
"Kondisinya?"
"Bagus."
"Bagus?"
"Ngga ada luka terbuka hanya memar di kepala, perut ngga menggembung, cuma paru aja yang terisi air. Mungkin pingsan atau malah sudah meninggal sebelum tenggelam."
"Sekarang jenasahnya di mana?"
"On the way ke RSU. Mau divisum dulu."
"Oke, aku satu jam lagi aku sampai di sana. Petinya mau diantar ke mana, ke rumah sakit dulu atau langsung ke rumah?"
"Antar langsung ke rumah duka aja. Jenasah mau dimandikan di rumah. Perlengkapan lain sedang disiapkan di sini, jadi kamu cukup bawa petinya saja."
"Ok. aku berangkat sekarang."
Telepon ditutup.
Segera sesudah semuanya siap, aku bergegas berangkat. Dari kemarin memang aku sudah berniat mengantar sendiri peti mati untuk Mekel. Sekalian melayat, pikirku.
Gerimis menyambut kedatanganku di Salatiga.
Mobil bak terbuka yang kubawa tak bisa masuk ke dalam gang itu. Beberapa orang yang melihatnya langsung turun tangan membantu. Mereka pasti tahu untuk siapa kubawa peti ini.
Hal pertama yang kudengar jelas dari rumah duka itu adalah tangisan sang bunda.
"Maafkan mama, nak..."
Kata-kata itu saja yang diucapkan berulang-ulang di sela-sela isak tangisnya.
Kutanya pada adikku yang kebetulan menunggu di sana.
"Mamanya kenapa sih? Punya salah apa sama Mekel sampai nangis kayak gitu?" tanyaku agak berbisik.
"Mamanya yang menyuruh Mekel berangkat mancing hari itu," sahutnya.
"Hah..."
Aku terkejut.
"Kok bisa?"
"Iya. Sebenarnya waktu itu kan Mekel lagi ngga begitu sehat, agak demam. Lagipula dia baru pulang kerja pagi itu karena dapat shift malam. Sebenarnya dia udah ngomong sama mamanya udah males berangkat mancing, maunya istirahat aja. Tapi mamanya tau hari itu Mekel sudah berjanji mau menemani teman-temannya mancing. Makanya mamanya nyuruh dia berangkat. Ngga baik anak laki-laki mama ingkar janji, katanya."
Mendengar hal itu aku terdiam, mencoba menahan kabut tipis keluar dari pelupuk mata.
Janji yang sempurna, bisikku dalam hati.
Requiem æternam dona eis, Domine, et lux perpetua luceat eis.
smg 23042010
salam hangat,
rong2
Catatan : Versi dunia mistik kisah ini telah ditulis oleh Wiwit di sini.
salam hangat,
rong2
- ronggowarsito's blog
- Login to post comments
- 5109 reads
Misteri Kematian
Saya menyenangi tulisan2 anda yang berhubungan dengan kematian. Entah kenapa, kematian selalu menjadi misteri menarik buat saya.
Sudah lebih dari 5 orang mati di tangan saya. Bukan, bukan karena saya yang membunuh mereka. Tapi saya hadir di saat mereka meregang nyawa dan menghembuskan nafas terakhir. Pertama mengalami kejadian seperti itu, beberapa hari saya gak bisa tidur, sepertinya orang tersebut selalu menguntit saya. Tapi lama2 jadi biasa. Bahkan saya mulai tertarik tentang kematian. Mulai dari memperhatikan pemilihan kata2 mereka yang terakhir sebelum mereka akhirnya pergi, sentuhan tangan mereka, sampe perubahan warna kulit begitu nyawa mereka meregang. Bahkan yang terakhir pasien saya. Saya yang menutup matanya. Saya pikir menutup mata orang meninggal itu cuma bisa dilakukan di film2, tapi ternyata memang beneran bisa ditutup.
Di Guardian ada photographer yang juga memiliki minat yang sama terhadap kematian. Dia sampe mengabadikan foto2 orang yang sekarat dan poto pas mereka mati. Anda bisa liat di sini.
One man's rebel is another man's freedom fighter
@PB, berbahagialah
Bred, berbahagialah karena kematian adalah misteri bagi anda.
Itu artinya anda masih hidup, masih punya banyak waktu, kesempatan, dan pilihan.
Saya tidak memiliki semua itu, jadi maafkan saya yang tidak mau membuka link yang sudah anda berikan karena saya pasti akan melihat bayang-bayang diri saya sendiri di situ.
Kematian bagi saya sudah bukan lagi misteri karena saya sedang menjalaninya saat ini.
Mati dengan cara mengenaskan sudah menjadi mimpi saya tiap malam, tinggal menunggu semua itu jadi kenyataan
salam hangat,
rong2
salam hangat,
rong2
@Rong Kematian dan kebahagiaan
Semoga benar apa yang anda bilang itu. Saya beberapa kali mengalami bahwa saya sudah dekat ajal, entah itu hanya sekedar nurani saya berbicara atau benar mengalami. Walaupun mengalaminya dan melihat orang2 lain meninggal di depan saya, ketakutan itu tetap ada. Karena ketakutan itu makanya itu adalah misteri buat saya. Orang takut karena ada sesuatu yang tidak pernah diketahui dan dialaminya, otherwise kalo semuanya jelas ketakutan itu tidak akan pernah ada.
Atau mungkin sebaliknya, orang takut karena sudah mengetahui alias bukan misteri lagi bagi dirinya?
Alkitab setau saya gak pernah bilang mati itu bahagia. Tapi Soe Hok Gie pernah menulis di diarynya bahwa mati muda itu bahagia, mati tua itu sial, dan tidak pernah dilahirkan adalah nasib terbaik.
Saya tau syair anda itu berhubungan erat dengan anda, tapi tidak menyangka bahwa itu adalah anda sendiri. Salah satu dari kita nanti akan berkata,"I'll see you on the other side!"
One man's rebel is another man's freedom fighter
rong rong : satu hari lagi
Rong rong,..selamat hari minggu,...
Mungkin anda melihat kematian adalah sudah bukan hal yang menakutkan bagi ada,...karena anda adalah seorang burial organizer...tapi saya percaya,..ketika waktu anda tiba,..mungkin anda akan mencoba berkata "TUHAN...beri kan aku hidup,..satu hari lagi,...huahahaha"
sincerely,
smile
*Penakluk sejati adalah orang yang mampu menaklukkan dirinya sendiri*
"I love You Christ, even though sometimes I do not like Christians who do not like You include me, but because you love me, so I also love them"