Submitted by Purnomo on

masih tersisa derap langkah kakimu

di atas lantai kayu rumah ini

masih bergaung nyaring lengkingmu

ketika tangan tua ini menyerikan pahamu

 

 

ah anak muda anakku lanang

betapa hati ini selalu tertegun

bila terbaca di sudut-sudut koran

ada narkoba terselip dalam tas sekolah

anggur merah tertumpah di ranjang anak dara

dan berita belati di perut terkoyak

 

 

terletup tanya di dada tua

adakah engkau anakku lanang

terselip di berita nista ?

 

masih ingatkah derap langkah kakimu

di atas lantai kayu rumah ini ?

masih ingatkah tamparan tangan tua ini

menera kasih di paha kecilmu ?

 

 

ah anak muda anakku lanang

betapa hati ini selalu tertegun

bila mereka yang datang dari kota

membawa berita tentang kaummu

yang merubah sekolah menjadi medan laga

yang membuang nista dalam gereja

yang menukar nyawa dengan nikmat sesaat

 

 

menggeletar tanya di hati tua

adakah engkau anakku sayang

berdiri di antara mereka ?

 

 

ah anakku lanang anakku sayang

betapa rinduku melihat matamu nyalang

seperti dulu ketika kau marah disebut banci

hanya karena kau tak mau diajak mencuri

 

 

ingin aku melihat kau kembali

membawa ilmu untuk desa kecil ini

dan membawa nyalang matamu tetap

hingga dapat kucungkil bongkah-bongkah bangga :

- anakku tak berubah di kota sana



PS : Salam untuk Joli.

Submitted by Puput Manis on Sat, 2008-04-05 18:04
Permalink

Syallom,

Hehehe... saya bingung mau manggil apa. Pak Pur? Iya lho, Anda punya karunia membuat puisi. Saya tunggu puisi-puisi berikutnya.

Hai Hai jauh lebih suka yang ini mungkin karena berkaitan dengan :

  1. Cita-cita beliau yang ADIDAS
  2. Beliau sendiri punya anak lanang semata wayang.

Pak Pur temennya Joli?

 

Salam Hangat Dalam Kasih-Nya,

Submitted by hai hai on Sat, 2008-04-05 18:59

In reply to by Puput Manis

Permalink

Nona Puput, saya tidak menyatakan puisi mana yang saya sukai, namun saya menilai kualitasnya. Secara kualitas, puisi ini jauh lebih bagus dibandingkan puisi Uria uria.

Apabila kamu tanya kenapa hal itu bisa terjadi, maka ini hanya pendapat saya, mungkin itu yang sebenarnya terjadi mungkin pula ada alasan lain.

Ketika menulis puisi seorang penulis harus benar-benar memahami apa yang ditulisnya dengan baik. KEtika menulis puisi ini, PEMAHAMAN Purnomo atas masalah yang ditulisnya sangat baik kecuali kedua kalimat ini pada bait pertama:

ketika tangan tua ini menyerikan pahamu

lalu pada bait ketiga:

masih ingatkah tamparan tangan tua ini
menera kasih di paha kecilmu?

Kedua kalimat tersebut, bukan cara seorang lelaki menghajar anaknya, namun itu adalah cara seorang ibu, seorang wanita. Dengan keberadaan kedua kalimat tersebut maka muncul pertanyaan, "SIAPAKAH Purnomo itu? Apakah dia seorang wanita? Atau dia seorang lelaki yang merindukan ayahnya?"

Mengenai tulisan Uria-uria Purnomo menulis:

derap kaki kuda gemuruh roda kereta
tinggalkan kota tersayang istri tercinta
berkepul debu gemuruh makin jauh
dihantar senyum puas sang baginda di atas menara
terpadam gelisah hati seorang perempuan istri perwira

Puput manies, bila kamu sudah membaca buku Pesona Alkitab tulisan Dede Wijaya, maka kamu akan memahami ketika saya menyatakan bahwa Purnomo tidak memahami thema yang dia tulis.

tergenggam erat surat perintah raja mulia
tersemat kata mati seorang perwira
tertulis atas nafsu hitam gelegak dosa 

Dalam bait tersebut di atas kembali nampak betapa purnomo tidak memahami thema yang ditulisnya. Bila boleh berprasangka, maka saya akan berprasangka bahwa purnomo menulis puisi Uria-uria dengan meminjam JIWA dari Film BENHUR atau yang lebih parah lagi, dia menuliskannya sambil membayangkan film 300. Nampaknya dia memang menulisnya dalam kenangan Film  300.  

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak

Submitted by joli on Sat, 2008-04-05 22:04

In reply to by Puput Manis

Permalink

salam kenal Purnomo :)  .. Biasanya kalau baca puisi di pasar klewer
selalu tak lewati karena tidak mudeng :) karena dibawah ada ps untuk
joli.. ya coba dimudeng-2-in dengan baca beberapa kali...

 

Membaca
Puisi purnomo jadi teringat Papa, Mama, Nenek, Om, Tante.. ku.. mungkin
itu rasa yang dirasai mereka ketika melepaskan anak2nya  .. ada rasa
was-was. berharap-harap cemas, bermimpi neraka atau sorga yang didapat.
nanti... dan mau tidak mau harus beriman... dan menyerahkan anak2 .. ke
yang MAHA KUASA...

 

Terus terang saya menjadi berhasil seperti ini bukan karena aku menjaga kelakuanku bersih ketika masa mudaku... 

karena didikan papaku yang cerdas dan bijak meski sering aku boong
padanya.. (ketika SMP dolan kemah ke kali kuning dengan mengutus sopir
unt pura2 jadi guru supaya boleh camping). papaku adalah pada yang
paling pintar sedunia bagiku meski bukan suami yg baik bagi mamaku..

 

Karena
doa2 mamaku lah aku bisa berhasil lulus S1 (mamaku tiap malam doa
tumpang tangan untukku meski aku pura2 tidur) mama selalu menginginkan
anaknya berhasil di sekolah, aku lulus telat karena keasikan kerja.. 
mamaku adalah mama yang paling baik sedunia bagiku meski bukan istri
yang baik bagi papaku..

 

Nenek, om, tante.. yang
meneladani bagaimana hidup bahagia keluarga dalam Tuhan, setiap hari
mendoakan aku meski aku sering bilang ke gereja  padahal pacaran..

 

 Aku berhasil karena Tuhan menyertai dan memilihku, karena papa, mama,nenek, tante, om yang berdoa untuk ku...

 

Itulah
seringkali ketika aku berkunjung ke panti wreda selalu share bagaimana
kuasa doa mereka, bagaimana nenek, tante, omku dipakai Tuhan untuk
membuat aku tahu rasa bahagia di dalam Tuhan..

 

Nggak tahu apakah nyambung dengan puisimu purnomo?  

Thanks untuk membuat selalu ingat keluarga yang diijinkan Tuhan untuk mendidikku..

Sekarang tugasku ganti untuk beriman dan mendoakan Clair supaya tetap di dalam dan melekat kepada Sang Khalik..

Submitted by Purnomo on Wed, 2008-04-09 16:01
Permalink

Saya senang waktu Hai-hai memuji dan mengatakan selamat bergabung. Baik hati benar Empek ini, padahal saya masuk tanpa permisi kepada para “penjaga” tempat ini. Begitu Puput ikutan memuji, dia ambil pisau belati dari jantung Uria dan mencincang saya. Puput, apa Empek ini kanibal?
Puput, saya kenal Joli seperti saya mengenal Hai-hai dan kamu lewat blog dan komennya. Ternyata Joli dan saya punya kesamaan, tidak suka baca puisi. Puisi itu memang susah dimengerti karena lebih banyak berbicara tentang diri dan perasaan penulisnya yang orang lain susah ngeh. Apa yang saya tulis bukan puisi, tetapi sanjak yang lebih mengutamakan permainan bunyi yang ditimbulkan dengan penyusunan kata-kata (Wah, ini perlu konfirmasi dari Indonesiasaram). Pesan dalam “sanjak” saya adalah apa yang Joli rasakan juga menjadi beban banyak orang tua ketika melepaskan anaknya pergi merantau. Kita hanya berharap disiplin yang pernah kita tanamkan dalam diri anak kita menjadi pagar dirinya di tempat jauh.
Puput, berbahagialah kamu yang bisa memandang dunia dengan mata anak-anak, menikmati keindahan tanpa prasangka. Tetapi berhati-hatilah sekarang banyak penculikan anak, begitulah yang tersirat dalam komen Hai-hai. Ketika kamu terkagum-kagum melihat warna-warni sepiring es buah di depanmu, Hai-hai bertanya apa kamu yakin airnya matang? Buahnya beneran atau ada yang plastik? Dia berusaha mengingatkan kamu untuk selalu waspada (berprasangka untuk tujuan positip). Anak sulung dalam keluarga besar biasanya dari sononya sudah membawa gen pelindung yang kadang berkesan suka mengatur dan maksa walaupun tujuannya baik.
Puput, saya upload “Bunga Buat Beta” untuk kamu nikmati tanpa mengabaikan kewaspadaan. Temukan dan tulislah di komen, di kalimat mana aku menyisipkan racun dalam es buah itu. Pakai pisau bedah buatan Empek yang bermerek “BeTeBe” (Back to Bible). Mudah-mudahan Empek mau duduk nonton dulu membiarkan anak(-anak) asuhnya yang membedah sebelum ia memberi kata pamungkas dengan pisau cincangnya.
Thx for all of you. Call me Pur aja karena bisa mewakili gender apa saja.

Submitted by hai hai on Wed, 2008-04-09 16:59

In reply to by Purnomo

Permalink

Ha ha ha ... maaf pur, nampaknya saya dengan mudah terprovokasi oleh puput. Awalnya tidak terpikir sama sekali untuk mengalisa puisi kamu lho. Hanya ingin memuji puisi kamu yang kedua. Maaf bila kamu menganggap itu pisau jagal.

Anda benar, puisi memang egois. apa yang dilakukan oleh seorang penulis puisi dan seorang pelukis sama sama egoisnya. Seorang puitis memapatkan sebuah kisah dalam beberapa baris kalimat sedangkan seorang pelukis memapatkan sebuah film dalam selembar kanvas.

Terima kasih untuk nasehatnya pur! 

Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak