Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
The reality of the personality
1 Kor 15:10 Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku.
Ketika Paulus menuliskan surat kepada Jemaat di Korintus, pada saat itu belum bermunculan teori-teori kepribadian, mungkin sudah dimulai oleh filsuf-filsuf seperti Hippocrates, yang mengkategorikan manusia ke dalam bentuk-bentuk kepribadian (typologi) yang dipengaruhi oleh metabolisme didalam tubuh manusia.
Namun apa yang disampaikan oleh Paulus, begitu dalam dan sejati melebih apa yang disampaikan oleh Hippocrates, keberadaan manusia itu bukan sekedar tergantung dari tipologi kepribadiannya, namun berdasarkan kasih karunia saja.
Sebenarnya saya tidak anti terhadap tipologi-tipologi kepribadian yang ada, malah saya senang untuk mendalaminya, begitupula dengan alat ukur tipologi kepribadian tersebut, hanya saja saya memperhatikan ada beberapa celah yang dapat menjebak orang-orang percaya dan “menarik” orang percaya menjauhi kebenaran yang sejati yang disampaikan oleh Paulus.
Apakah teori-teori tipologi kepribadian itu sekedar “topeng”?
Tipologi kepribadian tersebut dapat didefinisikan secara sederhana ; pengelompokan atau penjelasan secra ilmiah mengenai ciri-ciri kepribadian seseorang berdasarkan teori-teori ahli psikologi.
Dari Melankolis, Kholeris, Sanguinis & Phlegmatis yang dikembangkan Hippocrates dan Gallen, DIsC Dominan, Intim, Stabil dan Cermat yang dikembangkan oleh Watson. Kemudian Introvert vs Ekstrovert, Sensing vs Intuition, Feeling vs Thinking, Jugding vs Perceiving atau lebih dikenal dengan MBTI, yang dikembangkan oleh seorang ibu dan putrinya Myers & Brigs, mengadaptasi pendekatan Jung, Enagram dan sebagainya.
Mengapa saya sampaikan bahwa teori-teori tipologi kepribadian itu sekedar “topeng”?
Sebelum sampai kesana saya ingin mendefinsikan terlebih dahulu apa “jebakan” dari kata kepribadian itu terlebih dahulu
Pertama ; mulai dari fenomena yang dapat kita temui dalam keseharian kita,seberapa banyak iklan mengunakan kata-kata yang menyangkut tentang kepribadian ? yang menstimulasikan keinginan manusia untuk mengkonsumsi sesuatu demi kepentingan eksistensi kepribadiannya, sebenarnya pencitraan produk ataupun jasa tidak ada hubungannya dengan kepribadian
Kedua ; pernah ada anggapan di masyarakat umum, untuk sukses perlu ikut sekolah kepribadian, untuk mengatur prilaku-prilaku yang sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan. Padahal itu hanya mengotomatisisasi prilaku saja, belum tentu kepribadiannya terbentuk, dan yang kurang diperhatikan sebenarnya karakter itu jauh lebih urgent dan subtansial dibandingkan sekedar kepribadian
Ketiga ; kalau ada pertanyaan lebih baik mana, dinilai tidak mempunyai kepribadian atau tidak mempunyai karakter? Mungkin kebanyakan orang lebih memilih jawaban lebih baik mempunyai kepribadian saja, karakter itu urusan yang bisa dikesampingkan dulu. Sejatinya karakterlah yang membentuk kepribadian bukan kepribadian yang membentuk karakter
Kemudian apa yang menyebabkan karakter jauh lebih urgent dan subtansial dibandingkan kepribadian?
Dalam perspektif bagaimana Tuhan memandang suatu karakter, dalam Alkitab banyak sekali dibahas mengenai karakter.
Dimulai apa definisi dari karakter adalah sikap hati manusia menghadapi permasalahan hidup dan kesehariannya.
Sering saya mendengar jika kita ingin mengetahui karakter seseorang, ajak dia naik gunung dan berkemah, bisa ketahuan sifat asli atau karakternya. Saya belum pernah naik gunung, tapi pernah menjadi team advance dalam acara bible camp, dan ada benarnya juga apa yang disampaikan tersebut, karena jelas terlihat ada orang-orang yang mau enaknya saja, dan tidak mau susah. Ketika harus menyiapkan tenda-tenda besar buat ratusan orang dan mengangkat galon-galon air diperbukitan, saya merasakan memang ada orang-orang yang menghindari tugas itu, waktu itu saya terpaksa melakukannya karena teman-teman saya melakukannya, walau dihati ini kesalnya minta ampun dengan orang-orang yang bisanya cuma ngomong aja.
Kemudian apa yang dimaksudkan dengan karakter menurut Firman Tuhan? karakter adalah buah Roh (Gal 5:22-23)
Gal 5:22 Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,
Gal 5:23 kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.
Ketika seseorang menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan juruselamat pribadinya, Tuhan Yesus memberikan hadiah (gift) berupa satu “paket” buah Roh, sebagai selebrasi “selamat datang di kerajaan Allah”. Dalam “paket” itu ada kasih (love and passion), ada sukacita (joyfull), damai sejahtera (peacefull), dan sebagainya.
Buah Roh yang diberikan oleh Tuhan Yesus itu adalah suatu potensi karakter yang dapat dikembangkan oleh orang-orang percaya. Bukan tanpa bekal sama sekali Tuhan Yesus menginginkan orang-orang percaya berkembang karakternya menjadi seperti karakter-Nya. Itu tergantung pribadi orang percaya tersebut, seberapa besar pribadi tersebut mau terus memiliki suatu relasi dan ketaatan sampai dengan penyerahan total hidupnya kepada Tuhan, sebesar itu potensi karakter pribadi tersebut berkembang menjadi serupa dengan karakter Yesus. Memang dibutuhkan kerelaan ekstra dan ketulusan sangat untuk penyerahan total tersebut. Secara pribadi sayapun masih harus belajar lebih keras untuk itu.
Lebih lanjut potensi-potensi yang diberikan oleh Tuhan lewat buah Roh tersebut, memang harus diuji dan harus ditempa, bagi Tuhan karakter adalah proses pemurnian oleh Tuhan, lewat kejadian-kejadian dan individu-individu lain. Seluruh tokoh-tokoh dalam Alkitab mengalaminya, dari Abraham, Yusuf, Musa, Daniel, Ayub, sampai Tuhan Yesuspun juga mengalami hal yang sama, kita pun orang-orang percaya pasti mengalaminya.
Karena sesuatu yang berharga dan bernilai itu tidak ada yang instan, untuk menjadi emas yang bernilai, bongkahan batu tersebut harus dilebur di perapian yang panas, agar kotoran-kotoran yang melekat bisa dihilangkan, beda dengan batu-batu kerikil di kali yang tidak perlu diproses sedemikian rupa namun tak berharga dan bernilai seperti emas.
Lantas apa tujuan dari pembentukan karakter itu sendiri?
Tujuan utama dari pembentukan karakter adalah keserupaan dengan Kristus.
2 Kor 3:18 Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar.
Rom 8:29 Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.
Fil 3:10 Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya,
Kembali kepada pembahasan; mengapa saya sampaikan bahwa teori-teori tipologi kepribadian itu sekedar “topeng”?
Setelah mendapatkan sudut pandang yang jelas dan jernih dalam kesejatian Firman Tuhan, mari kita menelaah mengenai “topeng” apa yang melekat pada teori-teori tipologi kepribadian tersebut?
Fakta pertama : Seringkali teori2 Kepribadian MEMBATASI potensi yg ada dlm diri kita, krn persepsi yg ditanamkan ad KETERBATASAN mnrt pengkategorian yg diciptakan .
Sebagai suatu contoh aplikasi, tercipta suatu pemahaman bahwa seorang pemimpin dalam perspektif tipologi kepribadian DIsC, bahwa pribadi-pribadi yang memiliki tipe Dominan(D) lah yang dapat menjadi pemimpin secara natural, karena sifat-sifat kepribadian orang tipe Dominan itu relevan dan mendukung anggapan itu.
Bahayanya anggapan tersebut sudah melekat sebagai suatu persepsi bersama, sehingga sering kali jika ada kuesioner kepribadian DIsC, bagi yang tahu ia dapat memanipulasi kuesioner tersebut sehingga menghasilkan tipe kepribadian sesuai yang diinginkan. Dan buat orang yang pesimis sering beranggapan bahwa jika tipe kepribadiannya bukan tipe dominan, ia menganggap dirinya kurang dapat menjadi pemimpin yang baik. Stigma ini sudah terlanjur melekat dan dipercayai sebagai suatu kebenaran. Padahal hal tersebut menjadi kontradiktif ketika aplikasi pengetahuan teori kepribadian tersebut dipahami secara setengah-setengah, tidak komprehensif dan tidak fundamental.
Fakta kedua : Seringkali teori-teori Kepribadian justru MEMANJAKAN kelemahan yg ada dlm diri kita dan MENJEBAK kita selalu ada di zona aman kita dengan pembenaran diri lewat teori-teori tipologi kepribadian tersebut.
Ada anggapan bahwa kepribadian itu bersifat permanen dan hanya sedikit saja bisa dimodifikasi atau diubah, karena trait-traits yang ada dalam teori kepribadian tersebut disalahartikan sebagai suatu yang relevan stagnan. Jika dilihat dari perspektif Alkitab, saya sependapat, bahwa yang dapat mengubahkan (transformasi) seseorang hanyalah Tuhan Yesus saja, jadi wajar bila teori-teori kepribadian itu memanjakan sifat-sifat yang termuat dalam tipe kepribadian tertentu, misalnya orang yang bertipe dominan cenderung cepat marah, jadi jika orang yang bertipe tersebut sudah tahu kecenderungan itu, biasanya dia beralasan bahwa kemarahannya adalah sifat dasar yang natural, padahal apapun tipe kepribadian seseorang, cepat marah itu adalah suatu kelemahan yang tidak bisa dimanjakan.
Fakta ketiga : Seringkali teori-teori Kepribadian justru MEMBENAMKAN diri kita kepada suatu kencenderungan ekstrem dari pengkategorian tersebut, sehingga seolah-olah kita tidak berdaya untuk keluar dari kecenderungan ekstrem tersebut.
Seringkali teori kepribadian tersebut membenamkan diri dengan persepsi-persepsi seperti ; yah memang saya seperti ini mau diapakan lagi. Misalnya seorang introvert merasa terbatasi bergaul dengan bebas karena keterangan tentang introvert menyatakan demikian, hal itu dipercaya sebagai suatu kebenaran dan menjadi nilai dalam hidupnya, namun tanpa disadari justru membenamkan dirinya dalam ke-introvert-annya.
Fakta keempat : Seringkali teori-teori Kepribadian justru DIJADIKAN kebenaran yg dipercayai lebih baik dari FIRMAN TUHAN, ketika itu terjadi kuasa yang dapat mengubahkan hidup kita sama sekali tidak berlangsung.
Ketika nilai-nilai dalam teori kepribadian itu dipegang kuat, maka hal tersebut justru mengalihkan perhatian orang terhadap kebenaran yang sejati, yaitu Firman. Seyogyanya fundamental dari aplikasi teori-teori kepribadian itu adalah Firman, baru kemudian aplikasi-aplikasi tersebut dapat dijadikan pelengkap. Tanpa fundamental Firman, teori-teori kepribadian hanyalah kondisi-kondisi yang relative saja.
Fakta kelima : Seringkali teori-teori tipologi kepribadian secara tidak sadar MENYUSUP menjadi benteng pertahanan diri dan kebenaran yang dibangun oleh diri sendiri
Ketika nilai-nilai tersebut terinternalisasi atau terkondisikan secara kuat di pribadi orang tersebut, nilai itu mengkristal atau mengendap menjadi suatu benteng pertahanan diri atau dikenali dalam istilah mekanisme pertahanan diri, dengan artian bahwa memang demikianlah orang tersebut terciptakan, sulit untuk diubah dan justru orang tersebut menuntut pengertian orang lain untuk memahaminya seperti itu.
Secara singkat karena teori-teori tipologi kepribadian berasal dari ilmu Psikologi, maka ada baiknya kita menangkap gambaran besar esensi dan subtansi bahwa memang Psikologi tidak bisa dijadikan fundamental dalam menelaah keseluruhan aspek kemanusian manusia itu sendiri.
Pertama ; Psikologi dibangun dan berkembang sebagai wujud ketidakpercayaan para ilmuwan mengenai peran dan akurasi fungsi Gereja pada abad Kegelapan, walaupun pada saat itu intitusi Gereja keliru, namun spirit pemberontakan dan ketidakpercayaan Firman sebagai landasan hidup manusia merupakan motor pengerak dan dinamika psikologi itu sendiri.
Kedua ; Kencenderungan para Psikolog sekarang (terbukti lewat kasus perceraian yang demikian marak) adalah pemuasan diri sendiri lewat konsep client center, bertentangan dengan kebenaran Firman dimana manusia tidak bisa berpusat pada dirinya sendiri, namun harus tunduk dan taat kepada Allah beserta aturan-Nya
Ketiga ; Psikologi tidak mengenal akar permasalahan manusia yang sebenarnya ; DOSA, karena itu psikologi tidak pernah akan bisa menawarkan suatu solusi yang pasti untuk setiap permasalahan manusia, yang ditawarkan adalah solusi-solusi yang bersifat relatif dan sementara.
Keempat ; pada kasus-kasus ekstrem Psikologi bersama dengan psikiatri mengunakan OBAT PENENANG agar pada pasien tenang, persentase kesembuhan orang yg dirawat dgn pola psikologi/ psikiatri murni jauh lebih sedikit dibanding pasien yang ditanggani dengan pola gabungan kebenaran Firman Tuhan dan Psikologi
Lantas bagaimana anak-anak Tuhan yang mendalami dan punya passion dibidang Psikologi, sebenarnya justru anak-anak Tuhan harus tampil menjadi ahli-ahlinya, dalam bidang Psikologi masih banyak yang bisa di eksplorasi dan dikembangkan dengan fundamental Firman Tuhan, dengan demikian aplikasi-aplikasi Psikologi tersebut akan semakin maksimal dan berdampak.
Tentu hal-hal tentang dosa tidak bisa masuk dalam ranah pengetahuan, namun akar masalah manusia sebenarnya berpangkal dari dosa, jika akar masalah tidak diketahui, maka baik masalah akibat akar masalah tersebut beserta dengan pemecahan masalahnya bersifat parsial dan tidak akan tuntas.
Sebagai suatu bukti yang nyata, banyak sudah orang yang sebelumnya menderita ganguan jiwa berat, ketika dilayani di rumah pemulihan, bisa pulih kembali, sedangkan jika dilihat persentase kesembuhan dari perawatan Rumah Sakit Jiwa, bukan saya pesimis, namun belum pernah saya mendengar ada kesaksian orang yang dirawat Rumah Sakit Jiwa itu bisa sembuh?.
Apa kemudian saya menilai RS Jiwa beserta dengan para Psikiater dan Psikolog itu gagal? Saya tidak mau terburu-buru, saya perlu lebih dalam lagi melakukan pencarian data untuk menilai lebih objektif fenomena ini. Lalu bagaimana dengan fakta bahwa banyak orang yang menderita ganguan jiwa itu bisa dipulihkan kembali?
Secara sederhana ada suatu hakekat yang terlupakan dalam perkara besar tersebut yang dimulai dari hal yang kecil. Perhatikan kata-kata DIRAWAT untuk DISEMBUHKAN dari RS Jiwa dan Psikiater, bandingkan DILAYANI untuk DIPULIHKAN dan bisa MEMULIHKAN orang lain dari Rumah Pemulihan. Di Rumah Pemulihan, keperdulian, intensitas dan kuasa Tuhan nyata bekerja memulihkan orang yang sebelumnya menderita ganguan jiwa.
Dengan demikian jelas fundamental Firman dalam bidang apapun menjadi mutlak diperlukan, khususnya dibidang ilmu Psikologi, memahami hakekat Firman adalah mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar, jika belum demikian kenyataannya, yah itulah fungsi dan peran anak-anak Tuhan yang bergerak di bidang ilmu Psikologi beserta terapannya, dalam membawa garam dan terang ke ranah ilmu Psikologi.
Lebih lanjut lagi bermula dari mana teori-teori tipologi kepribadian tersebut?
Dari citra diri, manusia cenderung menemukan rumus-rumus cita diri yang palsu, dimana citra diri itu ditentukan oleh penampilan, apa kata orang dan benteng pertahanan diri
Grafis diatas tersebut, saya elaborasikan ketika saya mengabungkan antara penampilan, apa kata orang dan benteng diri sendiri, sehingga secara spesifik memberikan pemahaman yang baru.
Jika rumusan citra diri palsu itu adalah gabungan antara penampilan dengan apa kata orang, maka turunan masalah yang timbul adalah konflik eksternal, dimana penampilan (bukan sekedar secara fisik saja) seseorang selalu kontras dengan apa kata orang lain. Begitu juga ketika penampilan bergabung dengan benteng diri sendiri akan memunculkan turunan masalah pemalsuan “identitas” diri.
PENAMPILAN dapat dijelaskan sebagai suatu totalitas apa yang ingin seseorang itu tampilkan agar dapat diterima dan dapat diakui eksistensinya.
Ketika penampilan dan apa kata orang lain begitu mempengaruhi prilaku seseorang akan menimbulkan konflik eksternal, biasanya orang tersebut tidak memiliki jati diri yang asli dan kuat (karatker), kemudian hidup bergantung dengan apa kata orang, sehingga sering terlalu sensitif terhadap sesuatu atau anggapan yang dapat merusak citra dirinya (rapuh), dan memiliki kencenderungan suasana hati yang sering berubah-ubah (mood).
Sedang ketika penampilan dan benteng pertahanan diri itu begitu mempengaruhi prilaku seseorang akan menimbulkan pemalsuan “identitas” diri, biasanya orang tersebut memaksakan diri dalam berpenampilan (berlebihan), lebih mengutamakan kesan yang ingin dia ciptakan (self-image) dibandingkan kebenaran atau kejujuran. Dan memiliki kencederungan untuk menyembunyikan diri dalam penampilan, berharap penampilan dirinya bisa menyembunyikan sifat asilnya.
Kemudian setelah penampilan, APA KATA ORANG adalah perhatian yang berlebihan terhadap apa yang orang lain katakan tanpa mendengar apa kata Tuhan terlebih dahulu. Dijaman materialistic dan kompetisi yang begitu tinggi ini, maka banyak orang lain yang begitu perduli dengan apa kata orang lain, sehingga berlomba-lomba membentuk citra diri (self-image).
Ketika apa kata orang begitu dan benteng pertahanan diri begitu mempengaruhi seseorang maka akan timbul konflik internal, biasanya orang tersebut mudah kecewa, membenci dan menarik lain, sehingga senang menyerang orang lain dalam prilaku dan bahasanya dan begitu defensif (membela diri).
Sedang ketika apa kata orang tersebut dan penampilan begitu mempengaruhi seseorang maka akan timbul konflik eksternal, biasanya orang tersebut bisa dalam suatu saat merasa minder namun dilain saat bisa bertindak arogan untuk menutupi keminderannya, dan punya kecenderungan ekspetasi diri yang tinggi namun tidak dapat memenuhi ekspektasi tersebut
Yang terakhir adalah Benteng Pertahanan Diri, dimana itu adalah prilaku-prilaku untuk mempertahankan harga diri untuk ber-eksistensi.
Ketika benteng diri sendiri dan penampilan begitu mempengaruhi seseorang maka akan timbul pemalsuan “identitas” diri, biasanya orang tersebut mempunyai kepribadian yang tidak jelas. Sehingga menjadi orang yang tidak produktif, efektif dan efisien. Terkadang cenderung keras kepala dan susah untuk diberitahu dan diatur.
Sedang ketika benteng diri sendiri dan apa kata orang begitu mempengaruhi seseorang maka akan timbul konflik internal, biasanya orang tersebut bisa punya kecenderungan untuk menghancurkan diri sendiri (self sabotage/self destruction), punya kecenderungan ekstrem untuk jatuh ke hal-hal yang membahayakan seperti narkoba, kriminal dsb.
Setelah itu, apa solusi dari hal-hal diatas tersebut?
Setidaknya kali ini saya ingin menyampaikan lima solusi dari hal-hal diatas, tentu dari perspektif ALKITAB (FIRMAN TUHAN) ;
Solusi pertama ; Siapa yang lebih mengetahui manusia selain sang Penciptanya?
Yer 29 :11 Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.
Bukan saja Tuhan tahu mengenai siapa saya, saudara dan semua orang, terlebih dari itu Tuhan perduli dan IA punya rancangan-rancangan (baca hadiah-hadiah), sehingga baik masalah penampilan, apa kata orang dan benteng diri sendiri yang membentuk rumus citra diri yang palsu, tidak perlu terjadi dalam hidup orang percaya
Saya ingin berbagi sesuatu, memang tepat jika dikatakan masa usia 18-25 tahun adalah masa untuk mencari jati diri, saya pun mengalaminya, meninggalkan masa remaja masuk ke masa pemuda, saya ingin mengenal siapa sebenarnya saya, secara otodidak saya menghabiskan waktu yang sangat lama untuk searching informasi di internet mengenai teori-teori tipologi kepribadian, saya begitu tertarik untuk pindah jalur keilmuan, dari Manajemen ke Psikologi, karena saya benar-benar merasa ada yang belum saya ketahui tentang diri saya, akhirnya saya menemukan banyak pengetahuan mengenai tipologi kepribadian. Namun saya merasakan masih ada yang “kurang”. Dan Tuhanlah yang menyingkapkan apa yang “kurang” itu, saya tidak memulai pencarian saya tersebut lewat Alkitab.
Walaupun pikiran saya dipenuhi berbagai teori-teori tipologi kepribadian tetap saja ada yang tidak bisa dituntaskan oleh pengetahuan tersebut. Dan ketika saya mencarinya dari awal lagi dengan membaca Alkitab, wow begitu banyak kebenaran yang sejati yang saya temukan tentang diri saya, baru kemudian ilmu-ilmu Psikologi itu melengkapi kebenaran yang sejati tersebut dengan aplikasi-aplikasi yang lebih praktis dan terukur.
Solusi kedua ; aku ada sebagaimana aku ada hanya karena kasih karunia
1 Kor 15:10 Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua;
Inilah titik kegagalan ilmu Psikologi dan Filsafat dalam memulai sesuatu, tidak menyertakan kasih karunia Allah sebagai suatu pondasi yang tidak bisa tergantikan oleh premis-premis apapun juga. Ilmu-ilmu pengetahuan tidak mengajarkan bahwa keberadaan manusia atau eksistensi berawal dari dirinya sendiri, bukan karena kasih karunia, akhirnya menjebak manusia itu mencari sesuatu dalam dirinya sendiri tanpa menyadari manusia tanpa kasih karunia adalah kosong. Dalam kekosongan tersebut apa yang mau dicari lagi?
Padahal tinggal diamini saja dan dipercaya bahwa baik saya, saudara dan orang-orang percaya lain itu ada sebagaimana sekarang ada, hanya karena kasih karunia kita saja, kita tidak bisa mengerti apa yang akan terjadi dihari esok, bukankah memang keberadaan manusia itu begitu rentan dengan bencana alam, bencana kebakaran dan berbagai bencana yang mendatangkan kematian?
Solusi ketiga ; keberadaan manusia memiliki maksud khusus dari ALLAH
Pernah saya berdiskusi dengan rekan yang atheis yang mempercayai teori Evolusi Darwin sebagai suatu kebenaran, buat saya selain spekulatif dan lebih tidak masuk akal dari kajian filsafati, ada suatu permasalahan serius yang ditinggalkan dari teori Evolusi Darwin tersebut, dalam konsep penciptaan Tuhan Allah, manusia jelas memiliki tujuan yang didelegasikan atau diberikan oleh Tuhan Allah, sedang dalam konsep Evolusi Darwin, manusia tidak mempunyai suatu tujuan sama sekali.
Manusia yang hidupnya tidak mau mengenal dan tidak mau tunduk kepada Tuhan Allah, yah memang adalah manusia yang bebas namun sebenarnya “terpenjara” dalam ketiadaan tujuan hidupnya. Demikian pula anak-anak Tuhan yang tidak mengerti maksud khusus dari Tuhan dalam hidupnya, biasanya memang cenderung melakukan segala sesuatu secara sembarangan saja.
Kembali kepada permasalahan rumusan citra diri yang palsu, baik itu penampilan, apa kata orang dan benteng pertahanan diri sendiri, adalah suatu yang semu dalam Alkitab, bagaiman dengan Maria Magdalena yang memiliki penampilan bekas wanita asusila? Bagaimana Matius si pemungut cukai? Bagaimana jika Maria ibu Yesus memperhatikan kata orang, ketika hamil diluar nikah? Bagaimana Yusuf yang harus merelakan dirinya ada di penjara yang tentu akan merusak reputasinya?. Semuanya itu tidak berlaku dalam perspektif Tuhan, Tuhan lebih menekankan kepada apa tujuan yang harus dipenuhi dan dilakukan oleh anak-anak Nya, bukan kepada citra diri yang palsu atau kepribadian apa yang kita miliki. Namun IA selalu rindu untuk berurusan dengan karakter saya dan saudara serta orang-orang percaya lainnya.
Setiap kita memiliki suatu tujuan, itu pasti
Yer 1:5 "Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa."
Solusi keempat ; pertobatan adalah awal dari penemuan karakter setiap orang
Luk 5:32 Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, tetapi orang berdosa, supaya mereka bertobat."
Apakah pengertian tentang dosa “sengaja” dimusnahkan dalam ranah ilmu pengetahuan? Atau memang karena sin is beyond science ? tidak bisa tidak ilmu pengetahuan adalah suatu perangkat solutif bagi setiap permasalahan hidup manusia, namun mengapa tidak ada satupun ilmu pengetahuan yang menjadikan dosa sebagai suatu akar permasalahan hidup manusia?
Konsekuensinya muda, jika dosa itu tidak ada, mengapa perlu untuk bertobat? Padahal jelas Tuhan menginginkan pertobatan dari setiap manusia, IA sudah menebus hidup manusia yang percaya kepada-Nya denga darah-Nya yang kudus dan tak ternilai itu. Setelah itu IA bangkit mengalahkan kutuk dosa dan maut.
Malah justru banyak yang mengunakan pengetahuan untuk membenarkan diri sendiri, bahwa penyimpangan prilaku itu disebabkan oleh faktor hormonal, dsb, lihatlah betapa ilmu pengetahuan tersebut telah memanipulasi kebenaran, dari dosa di reduksikan atau dieliminisaikan menjadi penyimpangan yang bersifat kodrat.
Aplikasinya? Fatal, misalnya buat kaum gay/lesbi tidak perlu bertobat, karena itu sekedar penyimpangan karena faktor hormonal yang kodrati (diberi/ gift). Tanpa pertobatan rumus citra diri palsu tersebut tetap akan membelenggu manusia untuk mencari kesejatian dari karakternya.
Solusi kelima ; TUHAN ALLAH ADALAH PRIBADI YANG SUNGGUH-SUNGUH PERDULI dengan keberadaan manusia.
Maz 51:17 Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah.
Tuhan perduli dengan karakter kita, bukan dengan kepribadian kita saat ini, IA melihat jauh kedepan, ketika Tuhan memilih Yakub, yang seorang penipu dan berkepribadian manipulatif, Tuhan bukan melihat Yakub namun IA melihat Israel. Tuhan dapat memproyeksikan Yakub melebihi diri Yakub, demikian juga Saulus yang menjadi Paulus, atau Petrus yang menyangkali menjadi Petrus yang begitu berani berkotbah di serambi Salomo.
Tuhan perduli dengan potensi karakter kita, bukan kepribadian kita sekarang ini,IA ingin terlibat disetiap aspek dalam kehidupan kita, ketika karakter kita diubahkanNYa maka kepribadian kita akan mengikuti karakter ilahi yang dibentuk dengan keperdulian Tuhan tersebut, seberapa cepat dan besar karakter ilahi tersebut dalam hidup kita tergantung seberapa rela dan tulus kita dibentuk oleh Tuhan, dan masa pembentukan itu seperti saat emas dilebur oleh api.
Wah 3:18 maka Aku menasihatkan engkau, supaya engkau membeli dari pada-Ku emas yang telah dimurnikan dalam api, agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih, supaya engkau memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan; dan lagi minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat.
Personality bukanlah suatu realitas dalam perspektif kebenaran, kepribadian beserta teori-teori tipologinya harus diawali dengan pondasi Firman Tuhan yang benar, sehingga dapat digunakan sebagai sesuatu yang membangun bukan suatu yang menjerumuskan. Bukan hanya dalam kalangan terbatas orang percaya, namun memang ilmu Psikologi tidak mengakomodasi dosa, secara otomatis sebenarnya secara tidak langsung tidak mengakui keberadaan Tuhan, karena jika dosa tidak terakomodasi maka keberadaan Tuhan menjadi nihil, karena jika keberadaan dosa hilang, maka keberadaan Tuhan menjadi tidak signifikan lagi.
Secara pribadi sikap saya adalah, mari letakan pondasi yang kokoh yaitu Firman Tuhan, baru kemudian setiap aplikasi ilmu pengetahuan yang dapat mengembangkan dapat berfungsi sesuai bahkan lebih maksimal.
Allah mengerti dan perduli tentang keberadaan saya dan saudara, carilah Allah terlebih dahulu baru kemudian saya dan saudara menemukan keberadaan diri saya dan saudara.
Jadi apapun kepribadian saya dan saudara, yang terpenting adalah karakter KRISTUS yang harus dibentuk dalam diriku dan saya dan saudara bisa disebut berkarakter bila kita menghasilkan buah Roh, sehingga keserupaan dengan Kristus adalah tujuan utama Allah membentuk karakter saya dan saudara.
Semoga dapat memberkati
- tonypaulo's blog
- Login to post comments
- 8530 reads
@tony:mohon petunjuk
Tony paulo:
karakter adalah sikap hati manusia menghadapi permasalahan hidup dan kesehariannya.
Kemudian apa yang dimaksudkan dengan karakter menurut Firman Tuhan? karakter adalah buah Roh (Gal 5:22-23)
terus kepribadian itu menurut tony apa?
apa perbedaan yang jelas antara karakter dan kepribadian...karena saya merasa ini hanya sebuah permainan kata saja?
Jikalau ada kata -kata yang yang kurang berkenan itu murni karena kebodohan saya .JBU
@okulasi, kalau boleh saya elaborasi
Tony paulo:
karakter adalah sikap hati manusia menghadapi permasalahan hidup dan kesehariannya.
Kemudian apa yang dimaksudkan dengan karakter menurut Firman Tuhan? karakter adalah buah Roh (Gal 5:22-23)
terus kepribadian itu menurut tony apa?
apa perbedaan yang jelas antara karakter dan kepribadian...karena saya merasa ini hanya sebuah permainan kata saja?
dari perspektif Alkitab atau pengetahuan mengenai kepemimpinan Karakter lebih memiliki bobot ketimbang kepribadian.
namun boleh saya elaborasikan, perbedaan yang jelas antara kepribadian dengan karakter ialah : "Karakter membentuk kepribadan" atau Kepribadian itu adalah turunan dari karakter
kira-kira demikian yang bisa saya sharing
GBU
@Tony Karakter vs Kepribadian
Karakter lebih memiliki bobot ketimbang kepribadian.
namun boleh saya elaborasikan, perbedaan yang jelas antara kepribadian dengan karakter ialah : "Karakter membentuk kepribadan" atau Kepribadian itu adalah turunan dari karakter
kira-kira demikian yang bisa saya sharing
Anda benar bahwa karakter yang membentuk kepribadian. Personality adalah a set of characters (kumpulan karakter). Begitu kata Ryckman dalam bukunya Theories of Personality.
Karena personality merupakan kumpulan dari karakter2, tentu bobotnya sama atau mungkin lebih. Tapi saya gak tau kenapa anda bilang karakter lebih memiliki bobot ketimbang kepribadian sementara karakter2-lah yang membentuk kepribadian.
One man's rebel is another man's freedom fighter
@PB, karakter lebih berbobot karena....
Karena personality merupakan kumpulan dari karakter2, tentu bobotnya sama atau mungkin lebih. Tapi saya gak tau kenapa anda bilang karakter lebih memiliki bobot ketimbang kepribadian sementara karakter2-lah yang membentuk kepribadian.
pertama ; karena karakter itu yang membentuk kepribdadian, berarti lebih berbobot untuk dipahami, dipelajari dan dieksplorasi ketimbang kepribadian
kedua ;jika bicara karakter maka tema sentralnya adalah bagaimana membentuk karakter terhadap situasi-situasi yang bukan give in tetapi lebih ke reach out, sedangkan tema sentral dalam kepribadian adalah bagaimana mengidentifikasi yang sudah give in, karena itu karakter jauh lebih berbobot daripada kepribadian dalam segi apapun
GBU
@Tony Paulo Biji Beras- Karung Beras - Gudang Beras
pertama ; karena karakter itu yang membentuk kepribdadian, berarti lebih berbobot untuk dipahami, dipelajari dan dieksplorasi ketimbang kepribadian
Karakter membentuk kepribadian bukan berarti karakter itu levelnya lebih tinggi. Perbandingannya bukan seperti pencipta --> (membentuk) ciptaan, tapi lebih kepada singular ---> (membentuk) plural.
A personality is a set of characters. Ibarat gudang beras seperti kepribadian, karakter adalah karung2 beras, dan traits adalah biji2 beras. Mana yang lebih berbobot? Semuanya berbobot. gak ada biji beras, gak ada karung beras. Gak ada karung beras, gak ada gudang beras. Gak ada traits, gak ada characters. Gak ada characters, gak ada personality. Kalo anda gak suka/gak setuju analogi saya, silakan pake analogi lain gak masalah (supaya kita bisa membahas hal yang penting saja, daripada nanti melebar membahas contoh2).
kedua ;jika bicara karakter maka tema sentralnya adalah bagaimana membentuk karakter terhadap situasi-situasi yang bukan give in tetapi lebih ke reach out, sedangkan tema sentral dalam kepribadian adalah bagaimana mengidentifikasi yang sudah give in, karena itu karakter jauh lebih berbobot daripada kepribadian dalam segi apapun
Coba rombak lagi kalimat anda, kalau pake istilah anda, dielaborasi. Elaborate itu bukan sekedar diceritakan secara detail tapi pastikan secara mudah dipecah supaya terlihat jelas. Usahakan tanpa memakai kata give in atau reach out. Soalnya saya gak nangkep kalimat2 anda ini.
One man's rebel is another man's freedom fighter
@PB, analogi itu menjelaskan apa?
pertama ; karena karakter itu yang membentuk kepribdadian, berarti lebih berbobot untuk dipahami, dipelajari dan dieksplorasi ketimbang kepribadian
Karakter membentuk kepribadian bukan berarti karakter itu levelnya lebih tinggi. Perbandingannya bukan seperti pencipta --> (membentuk) ciptaan, tapi lebih kepada singular ---> (membentuk) plural.
relevansi pencipta dengan membentuk itu apa ya?
anda sedang bicara dalam konteks apa ?
A personality is a set of characters. Ibarat gudang beras seperti kepribadian, karakter adalah karung2 beras, dan traits adalah biji2 beras. Mana yang lebih berbobot? Semuanya berbobot. gak ada biji beras, gak ada karung beras. Gak ada karung beras, gak ada gudang beras. Gak ada traits, gak ada characters. Gak ada characters, gak ada personality. Kalo anda gak suka/gak setuju analogi saya, silakan pake analogi lain gak masalah (supaya kita bisa membahas hal yang penting saja, daripada nanti melebar membahas contoh2).
anda melakukan kesalahan fatal dalam beranalogi, dengan mengasosiasikan secara tendensius sesuatu yang sama lainya tidak relevan
apa hubungan antara beras dengan traits?
apa traits itu harus ada?
buat saya kalau bisa dijelaskan secara jernih, analogi tidak diperlukan
kedua ;jika bicara karakter maka tema sentralnya adalah bagaimana membentuk karakter terhadap situasi-situasi yang bukan give in tetapi lebih ke reach out, sedangkan tema sentral dalam kepribadian adalah bagaimana mengidentifikasi yang sudah give in, karena itu karakter jauh lebih berbobot daripada kepribadian dalam segi apapun
Coba rombak lagi kalimat anda, kalau pake istilah anda, dielaborasi. Elaborate itu bukan sekedar diceritakan secara detail tapi pastikan secara mudah dipecah supaya terlihat jelas. Usahakan tanpa memakai kata give in atau reach out. Soalnya saya gak nangkep kalimat2 anda ini.
sejak kapan anda menjadi lembaga akreditasi bahasa Indonesia?
siapa yang mengangkat anda menjadi juru tentu tata bahasa saya?
saya akan terus mengelaborasikan sesuai dengan respon, karena saya ingin pemhabasan ini sesuatu yang bersifat dua arah, seberapa detilnya tergantung respon yang membahas subtansial-subtansial
kalau anda tidak mengerti kata give in dan reach out, silahkan lihat dikamus saja atau di webster dictionary
saya tidak diwajibkan untuk menulis ini agar "hanya" anda yang mengerti kan?
GBU
@tonypaulo: Hmmm..
Artikel yang menarik, temanku tonypaulo...,
Di berbagai sekolah tinggi Teologia, Psikologi Kepribadian masih menjadi mata kuliah wajib yang harus diambil, karena dianggap sebagai salah satu bekal dalam kegiatan pelayanan kelak..
Kritik anda di dalam blog ini (jika saya menghayati semua yang anda ulas di atas) menjadi masukan yang sangat berharga, karena, paling tidak, sudah memberikan sebuah perspektif lain mengenai arti teori kepribadian bagi pelayanan Kristen..
Shalom!
(...shema'an qoli, adonai...)
(...shema'an qoli, adonai...)
TONP
TONI.P...saya mau tahu sebenarnya pekerjaan anda itu apa?
a.Guru
b.pengajar lepas
c.dosen
d,pendeta
e.hamba Tuhan
f.pelayan gereja
g.pengurus gereja
h.dpj
i.penulis
j.atau??????
setiap nulis blog selalu panjanggg......dan didalamnya banyak sekali pemikiran anda yang teruang murni dalam isinya....maaf, apakah semuanya dari pemikiran anda atau maaf...dari (maaf) copas ?
terimakasih
sincerely,
smile
*Penakluk sejati adalah orang yang mampu menaklukkan dirinya sendiri*
"I love You Christ, even though sometimes I do not like Christians who do not like You include me, but because you love me, so I also love them"
@smile, pekerjaan saya dimarketplace juga
TONI.P...saya mau tahu sebenarnya pekerjaan anda itu apa?
a.Guru
b.pengajar lepas
c.dosen
d,pendeta
e.hamba Tuhan
f.pelayan gereja
g.pengurus gereja
h.dpj
i.penulis
j.atau??????
saya seorang praktisi HR, yang pernah menjadi pelayan dan pengurus gereja (sekarang lagi vakum) dan memang bercita-cita jadi penulis dan hamba Tuhan
setiap nulis blog selalu panjanggg......dan didalamnya banyak sekali pemikiran anda yang teruang murni dalam isinya....maaf, apakah semuanya dari pemikiran anda atau maaf...dari (maaf) copas ?
terimakasih
maaf kalau kepanjangan..hehehe
dari beberapa pemikiran saya dalam setiap tulisan saya usahakan untuk seontentik mungkin, walaupun mungkin karena saya senang membaca buku, mungkin ada beberapa pemikiran yang terendap dan relevan, namun tetap saya coba untuk kritisi agar tetap otentitasnya terjaga.
karena buat saya otentik itu penting dalam sebuah karya tulisan
GBU
Campur Aduk
Pertama ; Psikologi dibangun dan berkembang sebagai wujud ketidakpercayaan para ilmuwan mengenai peran dan akurasi fungsi Gereja pada abad Kegelapan, walaupun pada saat itu intitusi Gereja keliru, namun spirit pemberontakan dan ketidakpercayaan Firman sebagai landasan hidup manusia merupakan motor pengerak dan dinamika psikologi itu sendiri.
Kedua ; Kencenderungan para Psikolog sekarang (terbukti lewat kasus perceraian yang demikian marak) adalah pemuasan diri sendiri lewat konsep client center, bertentangan dengan kebenaran Firman dimana manusia tidak bisa berpusat pada dirinya sendiri, namun harus tunduk dan taat kepada Allah beserta aturan-Nya
Ketiga ; Psikologi tidak mengenal akar permasalahan manusia yang sebenarnya ; DOSA, karena itu psikologi tidak pernah akan bisa menawarkan suatu solusi yang pasti untuk setiap permasalahan manusia, yang ditawarkan adalah solusi-solusi yang bersifat relatif dan sementara.
Psikologi memang HARUS client center dan tidak kenal dosa dan tidak ngomongin firman, karena groundnya BUKAN teologia.
Anda mau diukur kesehatan dan fisik anda berdasarkan standar pemain NBA? Saya rasa tidak. Karena walaupun anda dan pemain NBA sama2 manusia, tapi keduanya berada di sikon atau memiliki fungsi yang berbeda. Begitu juga Psikologi dan Kekristenan. Mengukur satu hal dengan ukuran di hal lainnya seperti campur aduk. Bagaikan menuangkan sepiring gado-gado ke dalam sebuah mangkok bakso.
Masalah lain dalam blog anda, kebanyakan yang anda nilai itu adalah efek samping dari psikologi atau teori2 kepribadian , bukan teori kepribadian itu sendiri. Perkatikan kata cenderung yang anda pakai di blog anda di atas. Wajar jika suatu hal memiliki efek samping negatif (Pisau bisa menusuk. Televisi, internet, video games bisa buat kecanduan. Pistol bisa membunuh, mobil bisa menabrak). Tapi bukan berarti hal itu sendiri adalah negatif.
Terakhir, anda masih suka memakai big words. Apa itu terinternalisasikan? Bukankah anda sudah tulis setelahnya terinternalisasikan atau terkondisikan? Pakai saja terkondisikan, tidak usah pakai dua2nya. Atau kalo anda mau pilih bigger word, anda bisa pakai kata terinteriorasikan.
Not to mention kata lain yang anda pakai, mengotomatisisasi. Berapa imbuhan yang anda pakai di situ? Anda pasti tahu kata tersebut bukan kata Indonesia, karena kata yang ada di kamus adalah mengotomatiskan. Kalo anda mau tulis scientific paper atau disertasi, silakan pake big words untuk memberikan kesan tertentu ke profesor penguji. Tapi saran saya dalam menulis untuk kalangan umum, suatu tulisan semakin sederhana kata-kata yang dipakai, semakin bagus menurut saya, karena diharapkan akan makin banyak yang bisa mengerti. Lalu selebrasi itu artinya apa ya di dalam kamus bahasa Indonesia? Apakah artinya sama dengan perayaan?
Oh iya, joyful dan peaceful memakai satu huruf L, bukan 2.
One man's rebel is another man's freedom fighter
bukan pendekatan parsial
Psikologi memang HARUS client center dan tidak kenal dosa dan tidak ngomongin firman, karena groundnya BUKAN teologia.
memang harus Teologia yang bicara tentang dosa?
apa memang harus "ditempurungi" ?
mengapa demikian?
Anda mau diukur kesehatan dan fisik anda berdasarkan standar pemain NBA? Saya rasa tidak. Karena walaupun anda dan pemain NBA sama2 manusia, tapi keduanya berada di sikon atau memiliki fungsi yang berbeda.
yang namanya standar itu satu, anda bisa bedakan standar kesehatan orang normal dengan standar kesehatan pemain NBA?
mengapa dicampur aduk?
apa kepentingan saya untuk diukur dengan standar kesehatan pemain NBA?
namun tentang dosa, itu berhubungan erat dengan manusia, bukanya Psikologi juga punya hubungan yang teramat erat dengan manusia?
dan saya bukan seorang yang anti science, saya hanya meletakan perspektif Firman terhadap kajian ilmu Psikologi sebagaimana science juga meletakan perspektif terhadap Alkitab
Begitu juga Psikologi dan Kekristenan. Mengukur satu hal dengan ukuran di hal lainnya seperti campur aduk. Bagaikan menuangkan sepiring gado-gado ke dalam sebuah mangkok bakso.
kalau anda mau mengotak-kotakn diri seperti itu, yah itu hak anda, saya tidak mau seperti itu, buat saya ada kolaborasi sepanjang ilmu Psikologi tersebut dipondasikan dengan kebenaran Firman Tuhan
Masalah lain dalam blog anda, kebanyakan yang anda nilai itu adalah efek samping dari psikologi atau teori2 kepribadian , bukan teori kepribadian itu sendiri. Perkatikan kata cenderung yang anda pakai di blog anda di atas. Wajar jika suatu hal memiliki efek samping negatif (Pisau bisa menusuk. Televisi, internet, video games bisa buat kecanduan. Pistol bisa membunuh, mobil bisa menabrak). Tapi bukan berarti hal itu sendiri adalah negatif.
sekali lagi saya tidak anti ilmu Psikologi, saya hanya mengamati gejala-gejala, dan harusnya anda juga tahu sebagai seorang ilmuwan, televisi bisa saja menjadi salah satu faktor seseorang berprilaku kekerasan karena memang intensi acara yang ditonton tersebut demikian adanya. (lain halnya jika intensinya bukan demikian)
mana bisa anda bilang hal tersebut adalah netral, intensinya sudah jelas kok, apalagi pistol apa diciptakan untuk menakut-nakuti saja?
kira-kira apa efek samping dari pistol?
Terakhir, anda masih suka memakai big words. Apa itu terinternalisasikan? Bukankah anda sudah tulis setelahnya terinternalisasikan atau terkondisikan? Pakai saja terkondisikan, tidak usah pakai dua2nya. Atau kalo anda mau pilih bigger word, anda bisa pakai kata terinteriorasikan.
anda pikir kata terinternalisasikan dengan terkondisikan sama "tarafnya"? dari sudut akademis
Not to mention kata lain yang anda pakai, mengotomatisisasi. Berapa imbuhan yang anda pakai di situ? Anda pasti tahu kata tersebut bukan kata Indonesia, karena kata yang ada di kamus adalah mengotomatiskan. Kalo anda mau tulis scientific paper atau disertasi, silakan pake big words untuk memberikan kesan tertentu ke profesor penguji. Tapi saran saya dalam menulis untuk kalangan umum, suatu tulisan semakin sederhana kata-kata yang dipakai, semakin bagus menurut saya, karena diharapkan akan makin banyak yang bisa mengerti. Lalu selebrasi itu artinya apa ya di dalam kamus bahasa Indonesia? Apakah artinya sama dengan perayaan?
saya rasa kata mengotomatisasi sudah bisa dimengerti secara mudah, apa ada bukti bahwa memang kata tersebut sulit dimengerti?
selebrasi, itu artinya merayakan, walau belum ada saat ini di kamus bahasa Indonesia, mugkin 20 tahun lagi akan ada, siapa tahu?
Oh iya, joyful dan peaceful memakai satu huruf L, bukan 2.
terima kasih atas koreksinya
senang saya bukan seseorang yang harus dijauhi lagi....
GBU
@Tony Sebagian orang berpikir "the bigger, the better"
memang harus Teologia yang bicara tentang dosa?
apa memang harus "ditempurungi" ?
mengapa demikian?
Saya yakin anda mengerti maksud saya. Cabang ilmunya sudah beda, kalo kata orang udah bukan apple to apple lagi. Saya gak pernah bilang anda anti science atau anti psikologi, tapi setidaknya dalam menulis sesuatu apalagi yang menjabarkan suatu ilmu (tulisan yang berusaha menjabarkan tidak selalu bisa disebut sebagai ilmiah) tidak bisa dipaksakan begitu saja seperti yang anda lakukan.
Jadi soal efek samping pistol, beda standard fisik dan kesehatan orang awam dan pemain NBA, tidak perlu saya jawab karena nanti akan melebar.
anda pikir kata terinternalisasikan dengan terkondisikan sama "tarafnya"? dari sudut akademis
Anda sendiri kok yang menulis di blog anda. Kalo memang tidak sama tarafnya kenapa dicantumkan:
Ketika nilai-nilai tersebut terinternalisasi atau terkondisikan secara kuat di pribadi orang tersebut, nilai itu mengkristal atau mengendap menjadi suatu benteng pertahanan diri atau dikenali dalam istilah mekanisme pertahanan diri,
saya rasa kata mengotomatisasi sudah bisa dimengerti secara mudah, apa ada bukti bahwa memang kata tersebut sulit dimengerti?
selebrasi, itu artinya merayakan, walau belum ada saat ini di kamus bahasa Indonesia, mugkin 20 tahun lagi akan ada, siapa tahu?
Cuma usulan saya saja. Saya tau ada orang2 yang lebih gemar memakai big words di tulisan2 mereka. Mungkin mereka pikir, "the bigger the better". Daripada memakai kata silverwares, ada yang lebih suka memakai kata utensils. Motivasinya juga macam2, mulai dari confidence sampe creating certain impressions.
terima kasih atas koreksinya
senang saya bukan seseorang yang harus dijauhi lagi....
Ini bukan soal anda atau saya. Tapi soal topik yang anda bahas di blog ini.
One man's rebel is another man's freedom fighter
@PB, sebagian itu kauntifikasi atau....?
memang harus Teologia yang bicara tentang dosa?
apa memang harus "ditempurungi" ?
mengapa demikian?
Saya yakin anda mengerti maksud saya. Cabang ilmunya sudah beda, kalo kata orang udah bukan apple to apple lagi. Saya gak pernah bilang anda anti science atau anti psikologi, tapi setidaknya dalam menulis sesuatu apalagi yang menjabarkan suatu ilmu (tulisan yang berusaha menjabarkan tidak selalu bisa disebut sebagai ilmiah) tidak bisa dipaksakan begitu saja seperti yang anda lakukan.
yah saya mengerti maksud anda, namun apa anda mengerti maksud saya?
saya tidak yakin, anda terlalu mendikotomi dosa adalah urusan teologis, sedang ranah science tidak sanggup atau tidak mau menampung hal-hal tentang dosa?
mengapa Psikologi tidak bicara tentang dosa?
Jadi soal efek samping pistol, beda standard fisik dan kesehatan orang awam dan pemain NBA, tidak perlu saya jawab karena nanti akan melebar.
itu hak anda, saya hanya merespon sesuai alur yang anda buat saja kok
dalam hal ini anda menetapkan standar ganda
anda pikir kata terinternalisasikan dengan terkondisikan sama "tarafnya"? dari sudut akademis
Anda sendiri kok yang menulis di blog anda. Kalo memang tidak sama tarafnya kenapa dicantumkan:
Ketika nilai-nilai tersebut terinternalisasi atau terkondisikan secara kuat di pribadi orang tersebut, nilai itu mengkristal atau mengendap menjadi suatu benteng pertahanan diri atau dikenali dalam istilah mekanisme pertahanan diri,
perhatikan kata atau menurut KBBI
atau p kata penghubung untuk menandai pilihan di antara beberapa hal (pilihan):
merah atau putih itu taraf putihnya sama? atau taraf merahnya sama? meski sama-sama warna.
kok hal yang sederhana seperti ini saja anda tidak mengerti?
saya rasa kata mengotomatisasi sudah bisa dimengerti secara mudah, apa ada bukti bahwa memang kata tersebut sulit dimengerti?
selebrasi, itu artinya merayakan, walau belum ada saat ini di kamus bahasa Indonesia, mugkin 20 tahun lagi akan ada, siapa tahu?
Cuma usulan saya saja. Saya tau ada orang2 yang lebih gemar memakai big words di tulisan2 mereka. Mungkin mereka pikir, "the bigger the better". Daripada memakai kata silverwares, ada yang lebih suka memakai kata utensils. Motivasinya juga macam2, mulai dari confidence sampe creating certain impressions.
mereka itu siapa?
big words itu apa?
bukankan dengan menyampaikan big words menurut pemahaman anda, anda sendiri sudah mengunakan big words dalam kata big words yang anda pakai?
dan mengapa anda tidak termasuk dalam sebutan "mereka"?
jadi anda yang memiliki hak paten yang bisa mengkualifikasikan sesuka pemahaman anda, siapa yang disebut "mereka yang memakai big words"?
terima kasih atas koreksinya
senang saya bukan seseorang yang harus dijauhi lagi....
Ini bukan soal anda atau saya. Tapi soal topik yang anda bahas di blog ini.
saya sekedar "mengingatkan" saja kok
GBU
kesaksian
Ada seorang teman yang sedang mengikuti sesi konseling pribadi, sesi itu begitu berat dan membuat dia menjadi begitu lelah. Beberapa minggu itu, dia menjadi begitu sensitif dan meminta dispensasi untuk melakukan banyak hal pelayanan dengan alasan konseling.
Ketika ada acara yang harus diikuti bersama, dia meminta ijin untuk tidak ikut dengan alasan bahwa pada saat acara itu diadakan, sesi konselingnya akan memasuki saat-saat akhir dan pasti akan berat sekali.
Pembimbing saya menjawab dengan jawaban yang singkat: "Kamu pasti bisa ikut, Tuhan pasti akan memberikan kekuatan, kita semua akan berdoa buat kamu.
Buat saya pribadi: psikologi dan ilmu sejenisnya adalah baik dan diperlukan termasuk di dalam pelayanan, tetapi tetap yang menjadi fokus adalah Tuhan. Kita boleh mempelajari tentang karakter-kepribadian manusia, kelemahan-kekuatannya, tetapi hanya Tuhan yang berkuasa untuk mengubah kita, bahkan memakai kita menjadi alat-Nya bagaimanapun keadaan kita.
“cor meum velut mactatum domino in sacrificium offero”
terima kasih buat kesaksiannya
Buat saya pribadi: psikologi dan ilmu sejenisnya adalah baik dan diperlukan termasuk di dalam pelayanan, tetapi tetap yang menjadi fokus adalah Tuhan. Kita boleh mempelajari tentang karakter-kepribadian manusia, kelemahan-kekuatannya, tetapi hanya Tuhan yang berkuasa untuk mengubah kita, bahkan memakai kita menjadi alat-Nya bagaimanapun keadaan kita.
saya sangat sepakat, bahwa memang yang harus menjadi fokus adalah Tuhan itu sendiri, apa yang kita pelajari adalah melengkapi saja
GBU
@tony, pliz de ah
napa sih selalu bawa conto gay n lez :p
niwei gw stuju ma plain, psikolog mah sama kyak science yang laen, yg dasarnya berdasarkan experiment yang ada object ntuk diamatin. Science tmasuk psikolog slalu bersifat progresif. Teori yg satu bisa dibantah (ga bertahan lagi) dengan ada bukti yang terbaru. Ini yg slalu berbeda dgn yang namanya dosa/FT. Dosa/FT lebih bersifat absolute, benar karna itu dari Tuhan yang ga perlu (ga ada) pembuktian/eksperimen. Jadi mana bisa psikolog dilihat/diukur dr dosa or FT, yah ga nyambung dunk, dasarnya ada dah beda
@dreamz, tidak bermaksud de ah
napa sih selalu bawa conto gay n lez :p
tidak bermaksud untuk offense kok dreamz... tapi karena relevan aja dengan topik
niwei gw stuju ma plain, psikolog mah sama kyak science yang laen, yg dasarnya berdasarkan experiment yang ada object ntuk diamatin. Science tmasuk psikolog slalu bersifat progresif. Teori yg satu bisa dibantah (ga bertahan lagi) dengan ada bukti yang terbaru. Ini yg slalu berbeda dgn yang namanya dosa/FT. Dosa/FT lebih bersifat absolute, benar karna itu dari Tuhan yang ga perlu (ga ada) pembuktian/eksperimen. Jadi mana bisa psikolog dilihat/diukur dr dosa or FT, yah ga nyambung dunk, dasarnya ada dah beda
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari KECENDERUNGAN PRILAKU dreamz, kalau kita bicara 1+1=2, itu pasti, tapi yang namanyanya kecenderungan itu tidak pernah pasti, hanya bisa diprediksi lewat gejala-gejala saja
namun ketika kita bciara manusia, bagaimana bisa DOSA terlepas menjadi suatu subtansi yang urgent untuk dibahas?
jadi Psikologi sendiri masih menyisakan misteri yang "belum" terpecahkan?
JLU
@Tonypaulo, Tidak Waras dari dulu?
Tonypaulo :
Apakah teori-teori tipologi kepribadian itu sekedar “topeng”?
Tipologi kepribadian tersebut dapat didefinisikan secara sederhana ; pengelompokan atau penjelasan secra ilmiah mengenai ciri-ciri kepribadian seseorang berdasarkan teori-teori ahli psikologi.
Dari Melankolis, Kholeris, Sanguinis & Phlegmatis yang dikembangkan Hippocrates dan Gallen, DIsC Dominan, Intim, Stabil dan Cermat yang dikembangkan oleh Watson. Kemudian Introvert vs Ekstrovert, Sensing vs Intuition, Feeling vs Thinking, Jugding vs Perceiving atau lebih dikenal dengan MBTI, yang dikembangkan oleh seorang ibu dan putrinya Myers & Brigs, mengadaptasi pendekatan Jung, Enagram dan sebagainya.
Mengapa saya sampaikan bahwa teori-teori tipologi kepribadian itu sekedar “topeng”?
Sebagai suatu bukti yang nyata, banyak sudah orang yang sebelumnya menderita ganguan jiwa berat, ketika dilayani di rumah pemulihan, bisa pulih kembali, sedangkan jika dilihat persentase kesembuhan dari perawatan Rumah Sakit Jiwa, bukan saya pesimis, namun belum pernah saya mendengar ada kesaksian orang yang dirawat Rumah Sakit Jiwa itu bisa sembuh?.
Alvarez :
Tonypaulo, menurut kamu bagaimana jaman dulu ketika belum ada bidang ilmu Psikologi, khususnya di Alkitab dimana terdapat orang yang sudah ditentukan tidak waras, bagaimanakah mereka bisa menentukan seseorang waras atau tidak?
GBU