Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Racun 100 hari

Inge Triastuti's picture
Konon, di sebuah desa hidup seorang perempuan tua bersama putera tunggal dan menantunya. Ia membenci menantunya karena mulutnya jahat. Kepada setiap orang yang ditemuinya ia selalu menjelek-jelekkan dirinya. Ia disebut si tua bangka yang tidak tahu diri, tidak berguna, berhati ular, bermulut usil, jorok, pemalas dan sebagainya. Ia tidak mungkin mengusirnya dari rumahnya, karena puteranya sangat mencintai setan betina ini.
 
Karena tidak kuat menanggung derita lebih lama, ketika pergi ke sinshe langganannya di desa lain untuk membeli obat rematiknya, ia bertanya apakah sinshe itu juga menjual racun. Sinshe yang juga teman akrabnya itu bertanya racun untuk apa. Sambil berurai air mata ia menceritakan kesialan hidupnya.
 
“Aku mau membunuh setan betina itu sebelum aku mati dibunuhnya,” teriaknya.
 
Setelah sesaat termenung, sinshe ini berkata, “Sahabatku, menantumu itu memang harus dibunuh. Tapi bila ia mati mendadak, orang pasti tahu kamulah pembunuhnya karena kamulah satu-satunya musuhnya di desamu. Apa gunanya dia mati jika kemudian kamu juga harus mati digantung kepala desamu? Tapi jangan kuatir. Aku akan memberimu racun dengan dosis ringan, yang setiap pagi harus kamu campurkan ke dalam makanannya. Racun ini akan mengendap dalam jantungnya, tetapi tidak terasa. Setiap hari racun yang diminumnya akan menumpuk terus, dan pada hari ke-100 jantungnya akan mendadak berhenti. Supaya kamu tidak dicurigai sebagai pembunuhnya, selama 99 hari itu kamu harus berbaik hati kepada menantumu. Bahkan sangat sangat sangat baik hati. Tahan kemarahanmu, dengan berpikir setiap hari ajalnya makin dekat dan sakit hatimu terbalaskan. Aku akan mempersiapkan ramuan racun itu. Besok siang kembali ke mari untuk mengambilnya.”
 
Dan mulailah proses pembunuhan itu berlangsung. Pagi-pagi sekali perempuan tua ini sudah bangun, sementara seisi rumahnya masih tidur nyenyak. Ia membuat bubur, pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh menantunya. Menantunya bangun dan heran melihat mertuanya sudah duduk di meja makan menyantap semangkuk bubur.
 
“Rematikku kumat subuh tadi sampai aku tidak bisa melanjutkan tidurku. Supaya aku bisa melupakan sakitnya, aku memasak bubur. Itu, sekalian aku buatkan untukmu dan suamimu. Yang mangkuk besar buat suamimu, mangkuk kecil buat kamu. Kamu buang saja kalau kamu tidak suka. Aku sudah lama tidak memasak,” katanya ketus agar menantunya tidak curiga melihat kebaikannya yang tiba-tiba.
 
Ketika menantunya dengan wajah cemberut menyantap bubur yang telah disiapkannya itu, hatinya bersorak. Ia telah mencampurinya dengan sebungkus racun. Perempuan ini hampir 3 tahun menjadi menantunya. Ia tidak menyukainya sejak anaknya membawa dia masuk ke rumah ini. Perempuan malas, kerjanya hanya tidur-tiduran dan bersolek. Satu tahun belum juga perempuan ini mempunyai anak. Betul-betul perempuan tidak berguna. Diam-diam ia membujuk anaknya menceraikan perempuan ini. Ia sudah mempunyai calon baru, seorang perempuan anak petani dengan pinggul lebar yang pasti bisa memberikan keturunan. Tetapi anaknya menolak. Perceraian hanya bisa terjadi karena kematian. Atau bila istrinya tidak lagi menyukainya dan minta dipulangkan ke rumah orang tuanya.
 
Sebetulnya, bukan ia yang memulai permusuhan itu. Menantunyalah yang jahat. Sepanjang hari ia pergi ke rumah-rumah tetangga dan menjelek-jelekkan dirinya. Sakit hatinya. Sakit asmanya yang sudah lama menghilang mendadak saja sering kambuh gara-gara memikirkan kelakuan jahat menantunya. Seorang tetangganya membisikinya agar ia berhati-hati. Tampaknya setan ini ingin membuatnya jatuh sakit dan mati sebelum waktunya agar bisa lebih cepat menguasai rumahnya.
 
Pada tahun kedua pernikahan mereka, menantunya bekerja di pabrik garmen. Berangkat pagi pulang sore. Kata tetangga, ia ingin membantu suaminya mencari nafkah. Apanya yang kurang? Tanpa ia ikut bekerja mereka bertiga masih bisa makan sehari tiga kali. Itu hanya siasatnya saja. Pasti ia bekerja agar bisa keluar rumah dan main mata dengan lelaki lain. Jangan-jangan ia sudah tahu ia ingin anaknya menceraikannya dan sekarang ia sedang berburu calon suami baru.
 
Sore hari, perempuan tua ini menyapu lantai. Kerajinannya ini makin hari makin ditingkatkannya agar menantunya tidak curiga mengapa ia sekarang setiap subuh sudah memasakkan bubur. Bahkan sekarang ia tidak lagi meludah sembarangan di lantai. Ia menyediakan tempolong dekat tempat tidurnya. Ia sendiri yang membersihkan tempolong itu. Bila ia jengkel kepada menantunya, ia tidak lagi mengumpatnya dengan kata-kata kotor. Tetapi, paling ia hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. Tetapi dalam hatinya ia berkata, “Tunggulah setan betina. Tidak lama lagi kamu akan mampus terkapar di tempat tidurmu.”
 
Bila ia bertandang ke rumah tetangganya, dan mereka mulai membicarakan kejelekan menantunya, ia tidak lagi menambah-nambahinya. Bahkan, ia mulai menceritakan kebaikan-kebaikan menantunya kepada dirinya. Biar mandul, menantunya itu baik. Biar puteranya miskin, ia tidak mengomel. Bahkan ikut bekerja di pabrik dari pagi sampai sore walaupun ia tidak tahu menantunya bekerja di pabrik mana. Tetapi ia yakin menantunya betul-betul bekerja karena ia tampak kelelahan waktu pulang ke rumah. Karena itu bila lewat senja menantunya belum pulang, ia menjerang air agar menantunya nanti bisa mandi malam dengan air hangat. Ia ingin semua orang di desanya mengetahui betapa sayangnya ia kepada menantunya. Sayang yang bohong-bohongan tentunya. Karena di balik rasa sayang itu sebuah proses pembunuhan yang rapi dan keji sedang dikerjakannya.
 
Tetapi pada akhir bulan ke-2 hatinya mulai bimbang. Ia melihat menantunya makin lama makin menyayanginya. Dan sayang menantunya ini tidak bohong-bohongan. Suatu malam rematiknya kumat. Ia berusaha menahan sakitnya, tetapi rasa sakit yang sangat membuat mulutnya merintih. Ia terkejut ketika menantunya masuk ke dalam kamarnya. Kunci pintu kamarnya sudah lama dilepas oleh anaknya agar anaknya bisa masuk kamar itu dalam keadaan darurat. Menantunya tanpa bertanya mencari salep gosok. Dengan telaten ia menggosok bagian tubuhnya yang sakit dan mengurutnya. Dan ini sering terjadi. Kadang, menantunya menungguinya sampai tertidur di kursi di samping tempat tidurnya.
 
Bahkan ketika ia berulang tahun, menantunya membelikannya baju baru dan masakan kesukaannya dari rumah makan terkenal di kota. Esok harinya, ia tidak bisa menahan tangis ketika membersihkan kamar anaknya. Ia melihat kaleng roti yang dipergunakan sebagai celengan oleh menantunya, telah kosong. Menantunya telah menghabiskan uang tabungannya untuk menyenangkan hatinya!
 
Pada hari ke-75 ia tidak lagi memasukkan ramuan racun ke mangkuk bubur menantunya. Ia tidak mau kehilangan menantunya. Biar perempuan itu mandul, perempuan itu baik hatinya. Bahkan ia sudah menasihati menantunya untuk mengambil anak angkat. Tetapi perempuan itu menolak. “Mama, tunggu 5 tahun lagi. Nanti, Mama juga yang harus mencari dan memilihkannya untuk saya,” begitu katanya.
 
Tetapi sudah terlambat. Racun itu mulai menampakkan khasiatnya. Ia melihat tubuh menantunya mulai melemah. Bila biasanya begitu pulang kerja ia langsung mandi, sekarang ia berbaring-baring dulu di tempat tidur. Bahkan sering ia tertidur sampai waktu makan malam. Wajahnya sering tampak pucat. Kata tetangganya menantunya pernah jatuh pingsan ketika bekerja. Ketika ia menanyakan kepada menantunya, ia menjawab “Tidak ada yang perlu dikuatirkan, Mama. Saya hanya kecapaian saja.” Tetapi ia tidak bisa dibohongi. Pernah ia melihat menantunya berjalan terhuyung-huyung. Ia memegang pintu agar tidak jatuh. Keringat membasahi dahinya.
 
Pada hari ke-90 bergegas ia ke rumah sinshe sahabatnya serta membawa semua sisa perhiasan peninggalan suaminya. “Berikan aku penawar racun yang dulu kamu berikan kepadaku,” katanya sambil meletakkan perhiasan itu di meja. “Berapa pun harganya, aku beli. Racunmu mulai bekerja. Beberapa hari ini aku lihat muka menantuku pucat dan sering berkeringat.”
 
“Mengapa kamu berubah pikiran?” tanya sinshe itu. Sambil menangis perempuan tua itu menceritakan bagaimana menantunya sangat mengasihi dirinya. Ia tidak mau kehilangan menantunya. Setan betina itu telah berubah menjadi malaikat. Tuhan pasti marah besar kepada manusia yang membunuh malaikat.
Sinshe itu terkekeh. “Yang berubah bukan menantumu, sahabatku. Tetapi kamulah yang berubah. Dulu, kamu berpikir penderitaanmu adalah akibat kejahatan menantumu. Bukan! Kamulah penyebab menantumu jadi jahat. Sekarang, kamu jugalah penyebab dia berubah jadi malaikat. Pulanglah. Bawa pulang perhiasanmu ini. Aku tidak menjual penawar racun.”
 
Perempuan tua itu menjerit histeris. Dengan beringas ia menerjang sinshe itu sampai terjungkal dari kursinya. Ia menindih tubuhnya dan mencekik lehernya. “Aku bunuh kamu sebelum aku bunuh diri,” teriaknya.
 
Dengan susah payah sinshe itu berhasil membebaskan diri. “Sabar dulu,” teriaknya, “beri aku waktu sebentar untuk bicara sebelum kamu membunuhku. Aku ini sinshe lulusan negara yang disumpah untuk menyembuhkan orang sakit. Aku bukan pembunuh. Karena itu aku tidak pernah menjual racun. Racun yang kamu beli dulu, bukan racun, tetapi obat dari resep kuno untuk penyubur rahim. Selain mudah capek, muka berkeringat, apa waktu pagi menantumu juga sering merasa mual sehingga ingin muntah?”
 
Perempuan itu terpana. Tiba-tiba ia tertawa histeris dan mengejar sahabatnya yang segera lari keluar rumah menghindari pelukannya.
 
--- o ---
 
Cerita di atas aku tulis berdasarkan artikel “Mertua versus menantu” di www.groups.yahoo.com/group/terangduniamail/message/11990-27k  
 
Dalam hidup bermasyarakat ada sebuah nasihat yang berbunyi, “Apa yang kamu tidak suka orang perbuat kepadamu, janganlah kamu lakukan terhadap orang lain.” Artinya, jika kita tidak ingin orang membohongi kita, maka kita jangan membohongi mereka. Jika kita tidak ingin orang berkata-kata kasar kepada kita, maka kita jangan mengucapkan kata-kata kasar kepada orang lain.
 
Nasihat itu bertumpu pada dasar yang negatip yang tersirat dari kata “tidak suka” dan “janganlah”. Tetapi Firman Tuhan yang sejalan dengan nasihat itu tetapi bertumpu pada dasar yang positip tertulis dalam Matius 7:12. “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.”
 
Jadi jika kamu ingin orang bersikap ramah kepadamu, berlaku ramah terlebih dahulu kepada mereka. Jika kamu ingin orang lain menjadi penyemangat dirimu, jadilah pendorong semangat terlebih dahulu bagi mereka. Jika kamu ingin pendetamu memperhatikan kebaikanmu, perhatikanlah terlebih dahulu kebaikan-kebaikan pendetamu itu. Dan sederet panjang pekerjaan yang harus kita lakukan bisa kita buat berdasarkan Firman Tuhan ini.
--- o ---
 

Dalam “The Happy Hypocrite” Max Beerbohm bercerita tentang seorang bangsawan durjana bernama Lord George Hell, pria tidak senonoh dan bermoral bejat. Ia jatuh cinta dengan seorang gadis yang saleh, dan demi mendapatkan cinta gadis itu, ia menutupi sosoknya yang angkuh dengan topeng kesalehan. Gadis itu tertipu dan menjadi pengantinnya, dan mereka hidup bersama dalam kebahagiaan sampai seorang wanita jahat dari masa lalu George yang kelam muncul untuk membuka kebobrokan yang dikenalnya dalam diri pria itu, dan menantangnya untuk melepaskan topeng itu. Maka dengan sedih, karena tidak memiliki pilihan lain, ia melepaskannya. Dan, astaga! Lihatlah, di balik topeng kesalehan itu terdapat wajah dirinya yang telah menjadi orang saleh sejati, karena ia mengenakan topeng itu dalam kasih.   (Frederick Buechner – Telling the Truth) ***

ce_zixc's picture

hm...gitu dech

hm...gitu dech

 

hm....mengharukan cerita na ....

__________________

hm...gitu dech

lockdown's picture

akur bos

akur bos ........gue akur ama loe....neh

kaswan's picture

"Two thumbs"

Syallom.

Salam kenal mbak Inge...Aku sudah baca habis semua hasil tulisannya,bagus - bagus tenan.Aku jadi dikuatkan lho melalui cerita dan topik - topik yang ditulis sama mbak Inge.Mbak aku tunggu tulisan - tulisan selanjutnya...!

Laskris007menunggu dari atas lautan.

GBU