Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Prasangka
Hari Kasih Sayang tahun ini tampaknya akan menjadi lembaran hitam bagi kelas teater yang dipimpinnya. Ia akan mementaskan drama 2 babak “Kekasihku Seorang Dewi.” Pemain-pemain terbaik dari kelas teater telah dipilihnya. Ia memegang peran utama, Narto menjadi suaminya, lalu Fredi dan Rini menjadi anak-anaknya. Cerita ini terjadi karena Narto kemarin harus masuk rumah sakit. Operasi usus buntu, yang bila ditunda bisa membawa maut.
Ini membuatnya kalang kabut. Tanpa Narto berarti tidak ada pementasan. Untuk mencari gantinya tidak mungkin. Semua anggota kelas teater telah dipinjamkannya ke kelas tari yang akan tampil pada malam yang sama. Seumpama ada, juga tak mungkin untuk menghapal teks dalam waktu dua hari. Ya, tinggal dua hari lagi pementasan itu. Tetapi usus buntu Narto justru minta dikeluarkan pada latihan terakhir.
"Bagaimana dengan temanmu yang kau janjikan, Fred?" tanya Yanti gelisah.
"Sebentar lagi pasti datang," jawab Fredi.
"Bila latihan saja sudah terlambat apalagi nanti waktu pentas. Sebaiknya kamu jemput dia, Fred."
"Jemput? Jemput di mana? Tadi ketika kutelepon, kantornya mengatakan ia sedang mereparasi mobil di luar. Hape dia malas bawa."
"Jadi dia kerja di bengkel?" Rini bertanya dengan nada terkejut. "Celaka! Orang bengkel mana sanggup menghapal begini banyak?"
"Biar orang bengkel waktu lulus SMA juara satu di sekolahnya," sahut Yanti. "Otaknya encer. Ini kata Fredi lho," lanjutnya dengan nada sinis.
"Sudahlah!" kata Fredi jengkel. "Kamu tunggu di sini. Aku mau pergi mencarinya."
Tetapi ia mengurungkan niatnya karena melihat seorang pemuda memasuki balai pertemuan gereja tempat mereka berkumpul.
"Kemari Dar. Kenalkan. Ini Yanti, pimpinan kelas teater gereja kami. Dan ini Rini."
"Darto," katanya sambil memandang Yanti tanpa menyalaminya. "Maaf, saya sedikit terlambat."
"Tak mengapa, baru empat puluh tiga menit, belum satu jam," jawab Yanti. Darto tersentak. Tapi sekejap. Kemudian wajahnya kembali seperti semula. Tak acuh dan kuyu.
“Dimulai saja latihannya, Yan," Fredi berusaha menyelamatkan suasana.
"Begini saudara Darto, saudara ........"
"Tak usah pakai sodara-sodaraan," potong Darto, "supaya aku tidak perlu memanggil kamu sodari atau nona."
Kamu, kamu, kamu! Munyuk! Dia panggil aku kamu. Kalau saja aku tidak membutuhkanmu, tentu aku labrak kamu. Tetapi ini hanya diteriakkan dalam dadanya. Ia menelan ludahnya. "Begini Dar. Karena seorang teman kami sakit, kami terpaksa meminta bantuanmu untuk menggantikan tugasnya. Kita akan mementaskan drama ini malam lusa."
Ia berhenti bicara untuk menyembunyikan marahnya karena melihat Darto tak mendengarnya. Bahkan memandang ke arahnya saja tidak. Dengan kesal disodorkan naskah drama itu kepada Darto.
Darto membuka-buka naskah itu. "Eemm, panjang sekali. Dua babak. Banyak sekali aku harus omong."
Yanti memberi tanda kepada Fredi dan Fredi tahu apa yang harus diperbuatnya.
"Dar, kamu jadi bapak dan Yanti istrimu. Anak-anakmu adalah aku dan Rini. Dalam babak pertama diceritakan kehidupan rumah tangga Iskandar yang menyedihkan. Iskandar menikahi Diah karena paksaan orang tuanya. Ia tidak mencintai isterinya karena wajahnya penuh bekas cacar dan tidak berpendidikan tinggi. Tetapi Diah mencintai suaminya, walaupun ia tahu Iskandar tak pernah memberi perhatian kepada dirinya. Babak kedua dimulai dengan kembalinya Iskandar dari rumah sakit karena matanya menderita keratitis dan mengalami kebutaan total. Padahal ...."
"Sebentar Fred," potong Darto, "apa itu keraktipis?"
Yanti tertawa.
"Mengapa tertawa?"
“Itu nama penyakit, bukan nama makanan. Ke-ra-ti-tis, bukan kerak tipis. Peradangan kornea mata. Ingat-ingat istilah itu. Jangan sampai salah mengeja waktu pentas nanti."
"Terima kasih. Aku tidak sekolah di kedokteran seperti kamu."
Cepat-cepat Fredi meneruskan ceritanya untuk mencegah pecahnya perang. "Saat itu ada seorang yang mengalami kecelakaan. Sebelum meninggal ia telah berpesan agar organ tubuhnya disumbangkan kepada orang yang membutuhkannya. Dari mayat itu Iskandar mendapat kornea baru untuk satu matanya. Di rumah barulah ia mengetahui kornea itu milik istrinya. Cerita tentang korban kecelakaan lalu lintas hanya karangan agar Iskandar sudi menerima satu kornea matanya."
Dahi Darto berkerut. "Fantastis!" desisnya. "Mana ada perempuan yang mau berbuat seperti itu untuk orang yang membenci dirinya?"
"Cinta sering mendorong orang melakukan hal-hal yang tak masuk akal. Terlebih lagi bagi orang Kristen yang kehidupannya dilandasi dengan kasih dan cinta. Kamu ke gereja?" tanya Yanti.
"Apakah orang harus ke gereja dulu baru bisa memainkan sandiwara sinetron ini? Tapi baiklah bila kamu ingin tahu. Aku ke gereja bila sempat. Aku tahu apa peranku dalam cerita ini. Tetapi aku tak tahu siapa pelamun yang menulis naskah ini."
Wajah Yanti terasa panas. "Aku yang menulisnya."
"Cerita yang memeras air mata mudah dijual," kata Darto sambil menjentik naskahnya.
"Ayo Yan, kita mulai berlatih," kata Rini kesal. “Kalau mau terus debat, lebih baik aku pulang saja.”
Mereka bertiga sudah tidak memegang teks. Akting dan bloking telah mereka kuasai. Tetapi Darto memegang naskah dan membaca sambil berjalan kian kemari. Yanti hampir menangis dibuatnya. Darto tidak berusaha menghapal. Bahkan sulit diatur di mana ia harus berdiri.
"Hayati jiwa Iskandar sebagai lelaki yang membenci Diah. Membentak! Bukan bicara seperti orang kelaparan!" teriak Yanti ketika kesabarannya telah terkuras habis sehingga membuat Darto terpana.
Namun hanya sekejap. Darto mengangguk dan ekspresi wajahnya kembali datar, begitu juga intonasi suaranya. "Kamu tahu Diah, aku mengawinimu karena dipaksa, kalau saja aku bisa menceraikanmu, tentu sudah bahagia hidupku bersama Rosa, sekarang, setelah bapakku yang membuat aku menderita mampus, aku sering bertanya kapan kamu menyusulnya, agar ......."
"Jangan seperti anak teka!" kembali Yanti berteriak.
"Aku sedang menghafal."
"Baik, baik, baik, teruskanlah."
Rasa putus asa menyesakkan dada Yanti ketika melatih Darto berakting. Darto menggerakkan tubuhnya bagai bersenam pagi. Pada akhir babak pertama ketika ia harus menampar Yanti, ia hanya mendekatkan telapak tangannya ke pipinya.
"Kau harus menampar aku."
"Ya."
"Ulang!"
Darto mengulang gerakannya.
"Tampar!"
Darto meringis. "Tak usahlah. Aku tak mau menamparmu." Ia menoleh ke Fredi. "Fred, aku mau pulang. Aku capai sekali. Latihan ini kukira cukup. Aku sudah tahu apa yang harus kuperbuat dalam drama sinetron ini. Buat penonton menangis sehingga tak sempat merapal rumus matematika. Beres!"
Ketika Fredi akan mencegah, Yanti berbisik kepadanya, "Biar ia pergi. Itu lebih baik. Aku benci melihat tampangnya. Ia tidak berniat membantu kita. Aku batalkan pementasan ini." Mata Yanti tampak berair.
"Yan, sandiwara ini hanya bisa dibatalkan kalau ada air bah melanda kota ini," kata Rini. "Empat ratus undangan seharga 100 ribu selembarnya sudah terjual semua. Ingat Yan, 20 orang yang hadir adalah para donatur departemen multi media yang selama ini menyebarkan cerita-ceritamu lewat dividi. Pementasan nanti sekaligus juga akan menjadi bahan pertimbangan mereka apakah cerita ini akan menjadi dividi pertama yang mereka produksi tahun ini.”
"Aku tak bisa bermain dengannya. Manusia itu membenci aku. Apa kamu tak melihat sikapnya tadi? Fred, apa kamu sengaja memasukkannya untuk menyabot pementasan ini?"
Fredi kalang kabut mendengar tuduhan ini. "Yan, aku membuat kelas teater di kampus tanpa keinginan sedikitpun untuk bersaing denganmu. Plis, jangan berprasangka begitu jelek. Aku mengambilnya karena otaknya encer. Aku yakin ia bisa menghafalnya. Lagipula ia sering bermain drama."
"Di mana mainnya?" tanya Rini.
"Di kelurahannya. Ia pengasuh teater Karang Taruna."
Yanti mendengus, "Kamu pernah melihat ia bermain? Apakah kamu setiap tujuh belas Agustus jadi komandan upacara di kelurahannya?"
Fredi tergagap. "Belum, tetapi aku yakin ....."
"Celaka! Jangan-jangan ia tidak becus. Melihat sikapnya tadi aku jamin ia tidak akan berani datang malam lusa nanti," keluh Yanti.
"Ia pasti datang. Dia selalu memegang janjinya. Apalagi ia juga orang Kristen."
"Orang Kristen??!!" teriak Yanti mengejutkan teman-temannya. "Kristen manakah yang begitu sinis mendengar aku berbicara tentang kasih?"
"Mungkin karena ia melihat banyak orang Kristen yang hanya bisa bicara tanpa melakukan apa yang diucapkannya."
"Sekarang sudah terlambat. Apa yang harus kita lakukan nanti?" Rini bertanya.
Yanti meremas-remas jari tangannya. Bintik-bintik air muncul di dahinya. Baru kali ini menghadapi keadaan yang begitu kritis dalam kerjanya sebagai ketua kelas teater. Kepalanya berdenyut. Pementasan ini nanti seperti apa? Dengan Darto yang tergagap lupa teksnya. Dengan geraknya seperti boneka. Dengan wajahnya yang kuyu dan sinar mata mencemoohkan. Habis sudah kejayaanku di tangan manusia itu. Aku bukan perempuan lemah! Aku akan menghadapi tantanganmu. Biar aku kalah, aku akan membuatmu terluka. Setelah itu aku akan mengundurkan diri dari kelas teater. Matanya berapi.
"Kita siapkan pembisik untuk munyuk ini," katanya. "Lampu jangan menyorot wajahnya agar penonton tidak melihat jelas mimiknya. Kita harus bekerja sama menutup akting dan blokingnya yang lemah. Bila ini tidak berhasil, kita ............," suaranya melirih.
"Kita bagaimana, Yan?" desak Rini.
Getir sekali suaranya, "Kita rubah drama ini menjadi komedi."
Mulut Fredi yang sudah terbuka tak jadi mengeluarkan kata-kata ketika melihat mata Yanti yang menerawang. Ia tahu, Yanti terlalu menguatirkan kesuksesan pementasan drama ini.
Panitia memang hebat. Acara silih berganti dengan lancar. Sendratari satir “Cinta Ilahi Jangan Dikapling” mengundang tepuk tangan penonton. Dan kemudian, acara drama dua babak “Kekasihku Seorang Dewi.” Tetapi emsi mengumumkan acara ini diundur sejenak untuk memberi kesempatan grup musik meneduhkan suasana yang masih riuh. Penonton tak tahu di kamar rias di belakang panggung para pemain dramalah yang perlu dimasukkan ke dalam kulkas.
"Kamu boleh marah. Itu hakmu," kata Darto. "Tetapi aku juga punya hak atas waktuku sendiri. Aku hanya terlambat lima menit, dan itu pun karena terpaksa. Aku harus menemani seorang familiku pergi ke ........"
"O o, sebatangkarakah familimu itu? Ataukah ia masih balita sehingga masih perlu kamu temani?"
"Sudahlah Yan," bujuk Rini, "sebentar lagi kita keluar."
"Tidak! Aku tidak mau main!" teriak Yanti mengejutkan orang-orang di kamar rias itu. Suasana mendadak hening. Telunjuknya yang runcing menuding Darto. "Aku tak sudi bermain dengan munyuk ini. Drama ini aku batalkan! Kembalikan uang tiket. Biar bapakku nanti yang menggantinya. Ini jauh lebih baik daripada menyajikan pemain mentah macam kamu!"
"Perempuan sombong," Darto mendesis. "Sekarang pun tanpa kamu perintahkan mau saja aku menggampar mulutmu."
Untunglah ketua panitia segera turun tangan. Dengan bujuk rayu akhirnya Yanti bersedia mementaskan dramanya. Para anggota panitia berlega hati. Tetapi tidak demikian dengan Fredi. Ia melihat semangat tak ada lagi dalam diri Yanti.
Dugaannya tak meleset. Pada bagian ke satu babak pertama Yanti tidak menguasai aktingnya, bahkan blokingnya tak karuan. Wajahnya bukan wajah Diah yang malang, tetapi wajah Yanti yang marah. Rini dan Fredi segera memblokir tempat yang kosong untuk mendapatkan keseimbangan ruang. Tak berhasil. Yanti bagai bermain seorang diri, tidak mengacuhkan pemain lain. Fredi panik. Bagaimana bila nanti bagian kedua tiba. Untuk menolong Yanti saja mereka tak mampu, terlebih lagi ditambah masuknya Darto yang belum bisa apa-apa. Ketika bagian itu tiba, ia sudah pasrah. Inilah saatnya merubah drama ini menjadi komedi! Inilah akhir masa kejayaan kelas teater gerejanya yang dalam 2 tahun telah menghasilkan 14 dividi cerita rohani Kristen.
Darto berdiri di pintu, menatap meja. Rini menghampirinya.
"Papa, hari ini Mama berulang tahun."
"Aku tahu mamamu hari ini ulang tahun," suaranya ketus, "tetapi aku tak tahu mengapa untuk ulang tahun orang melupakan apa yang harus dimasukkan ke dalam perutnya esok hari."
Lalu ia berjalan menyilang panggung. Fredi tercengang. Tak terpikir olehnya sedari tadi dengan bergerak menyilang kesan kekosongan ruang di tengah dapat diatasi. Iskandar lelaki yang membenci istrinya muncul dari diri Darto. Intonasi suaranya meyakinkan, kalimat-kalimat lancar keluar dari mulutnya, geraknya mengalir. Sekarang bukannya mereka yang membantu Darto, tetapi sebaliknya. Tanpa terasa bloking kembali tertata rapi. Dan Yanti pun tertuntun konsentrasinya. Bagian demi bagian berlalu. Darto tak menuruti teks kata demi kata. Dengan merubah susunan kata-kata ia makin menghidupkan tokoh Iskandar tanpa menggeser Diah yang malang dari titik pusat cerita. Sorot mata Darto yang sinis dan penuh kebencian membuat bulu kuduk Yanti meremang. Kebencian, kemuakan, kebosanan, kemarahan Iskandar bagai mengepung dirinya. Lelaki itu seperti mau membunuhnya. Mungkin, mungkin ia bisa begitu karena ia memang membenciku. Yanti tiba-tiba merasa ngeri melihat mereka sudah mendekati akhir babak pertama yang merupakan klimak. Dan ia tak sempat lagi berpikir karena sebuah tamparan membuatnya jatuh membentur kursi. Rini menjerit. Layar pun turun. Gemuruh tepuk tangan terdengar di bawah panggung.
"Kamu gila! Kamu terlalu keras menampar Yanti," protes Rini. Darto tersenyum, lalu turun dari panggung. "Ayo Yan, tak usah menangis. Darto memang sudah gila. Aduh! Tamparannya membekas di pipimu."
Vocal group segera mengisi acara sementara setting panggung diubah. Yanti mengusap-usap pipinya di depan cermin. Ah, ia begitu hebat bermain. Seseorang memasuki kamar rias. Ia menoleh. Lelaki itu berdiri di pintu. Tergesa-gesa ia menghapus air matanya.
"Maaf, aku terbenam dalam peranku. Aku tak menduga kamu tak dapat menghentikan tangismu." Dan, sebelum ia sempat menjawab, ia telah pergi.
Yanti memandang wajahnya di cermin. Haruskah ia tahu aku menangis bukan karena tamparannya? Tengiang kembali olehnya teriak kegirangannya ketika mengangkat tinggi-tinggi piala kejuaraan kompetisi teater sekodya. Terbayang kembali betapa demi kejuaraan itu ia harus menyingkirkan pemeran utama teater gerejanya dengan diam-diam memaparkan kelemahannya kepada para pengurus departemen multi media. Tidak! Aku tak menangisi kepedihan kulit pipiku. Aku menangis melihat ketulusan Siska yang telah kutendang dari kelas teater ini memapah aku turun dari panggung. Aku menangis merasakan kekuatiran Tia ketika sibuk menolongku bangun dari bawah meja. Ah Tia, tak adakah dendam dalam hatimu ketika aku merebut dana diakonia anak Sekolah Minggumu untuk pementasan kelas teater ini ke luar kota? Di manakah dendammu?
Suara Nunung yang melantunkan lagu “Ku Tak Mau Jalan Sendiri” menyusup ke kamar rias dan membuat ia tercenung. Selama ini ia telah hidup sendiri dan menikmati kesendirian itu. Ia berdiri di puncak gunung melihat sekeliling tanpa mengacuhkan orang-orang di bawahnya karena ia tak membutuhkan mereka. Bahkan sebaliknya, sampai Darto muncul meruntuhkan kecongkakannya itu. Ketika ia gemetar kala Darto menempelkan ujung belati di keningnya, itu bukan akting. Ia gemetar karena betul-betul dilanda ketakutan kalau-kalau Darto sengaja menggores kulit keningnya. Tetapi perubahan-perubahan mimik dan intonasi suara Darto yang berganti dengan cepat, itulah akting. Ia terpesona melihat wajah dan mata Darto yang keji bisa mendadak berubah hampa dan datar. Siapakah dia? Dari manakah ia belajar teknik prima itu? Olah suaranya bukan milik pemain drama pemula. Ia mengucapkan kalimat-kalimat panjang dengan cepat tanpa menarik nafas tetapi setiap suku katanya jelas terdengar. Ia menyadari babak pertama ini sukses bukan karena dirinya.
Penonton makin terpukau ketika mereka tampil di babak kedua. Permainan lampu dan musik yang lembut menyempurnakan kerjasama mereka di panggung. Beberapa orang penonton menyapu matanya ketika Rini mengguncang-guncangkan tubuh Diah.
"Ayo Mama, katakan kepadanya Mama. Katakanlah! Beritahu Papa supaya ia tahu Mamalah yang mengorbankan mata. Supaya ia tahu malam itu tak ada satu manusia pun yang tewas di kota ini karena kecelakaan lalu lintas."
Sinar mata Iskandar memukau Diah. Begitu lembut. Tergetar tubuhnya ketika Iskandar menyentuh dagunya dan mengangkatnya sehingga ia tak dapat menghindari tatapan mata Iskandar.
"Betulkah?"
Pelan ia mengangguk.
“Mengapa?”
"Aku, aku hanya menunaikan kewajibanku," suara Diah terdengar parau. Hatinya terperas haru ketika Iskandar mengusap kelopak mata kirinya.
"Diah, mengapa ini kau lakukan?"
Air mata mengalir di pipi Diah. Yanti tak kuasa menahan air matanya. Hatinya terperas pilu mendengar Nunung lembut melantunkan “You Raise Me Up.” Ia tergagap. Dengan susah payah akhirnya ia berhasil mengucapkan kalimat penutup drama itu.
"Karena, karena, karena kau adalah orang yang telah Tuhan tetapkan sebagai suamiku."
Dan ia tersedu di dada Iskandar. Ini di luar naskah. Tetapi ia tak dapat menahan keinginannya untuk menangis di dada Darto. Hatinya terkoyak teringat betapa selama ini ia telah melupakan Tuhan yang telah memberi apa yang kini ia miliki, yang telah memberinya kegigihan, yang mengangkatnya ke tempat tinggi. Ia tersadar ketika tepuk tangan penonton membahana. Layar telah diturunkan. Teman-teman menyerbu menyalaminya.
"Malam ini kau hebat sekali, Yan," puji Siska.
"Dramamu membuat lantai penuh kertas tisiu."
"Hei, di mana suamimu Diah," goda Tia, "aduh dekapannya, bikin iri aja."
Wajahnya terasa panas mendengar Rini terkikih. Mudah-mudahan si centil itu tidak membongkar rahasia sutradara. Tetapi diam-diam matanya mencari-cari. Darto sudah lenyap. Ia ada di kamar rias ketika Yanti masuk untuk membersihkan wajahnya. Ia tak dapat menyapanya. Ia malu karena telah menangis di dada pemuda itu.
"Yanti," kata Darto. "Aku telah membantumu dengan ikut dalam dramamu. Sekarang ganti aku yang minta tolong kepadamu."
Suara yang datar itu mencengkam hatinya. Ia telah kembali ke asalnya, pikir Yanti.
"Maksudmu?" tanyanya dengan jantung berdebar.
"Pinjami aku uang. Malam ini juga. Tidak banyak bagi kamu, anak orang kaya. Dua ratus ribu rupiah."
Yanti memandangnya tak mengerti.
"Jangan mengatakan kau tak membawa uang. Aku tak percaya orang yang membawa mobil tak punya uang dua ratus ribu di dompetnya. Mudah-mudahan malam ini mobilmu tak perlu mengisi bensin. Tak usah kuatir. Besok Minggu pagi aku menunggumu di pintu gereja untuk mengembalikannya."
"Untuk apa, Dar?"
"Untuk apa? Untuk kasih orang Kristen terhadap sesamanya, yang telah kamu akui menjadi landasan hidupmu. Tapi kalau kamu tak mau menolongku, aku juga tak bisa berkata apa-apa. Kecuali, memperingatkan agar kamu tak lagi mengucapkan kata-kata klise itu."
Ada perih menoreh dadanya. Dari dompet diambilnya 2 lembar seratus ribuan dan meletakkannya di atas meja.
"Tidak usah kau kembalikan. Aku memberikan kepadamu."
Darto mengambil dan memasukkan uang itu ke jaket jinnya yang sudah tak ketahuan warna aslinya. "Dua ratus ribu memang tak sedikit. Tetapi aku tak sudi menerima pemberianmu kalau caramu memberi seperti melemparkan tulang kepada anjing. Aku tidak minta honor. Aku tahu, hasil malam kesenian ini untuk panti asuhan. Bukan untuk menambah popularitas namamu!"
Ketika Darto telah meninggalkan kamar rias itu, meledaklah tangisnya. "Ya Tuhan, malam ini Kau meremukkan aku habis-habisan."
Minggu pagi Darto tidak muncul di gereja tetapi Yanti tak merisaukan. Ia tidak merasa kehilangan bila uang itu tidak dikembalikan. Sore hari Yanti pergi ke gereja kembali. Bukan untuk menghadiri ibadah sore atau menunggu Darto, tetapi karena dipanggil oleh pengurus departemen multi media untuk membicarakan dramanya. Ketika akan pulang, Tia memanggilnya.
"Pagi tadi seorang guru Sekolah Minggu menjenguk muridnya yang absen,” kata Tia. “Ternyata anak yang miskin itu kena tipes. Kemarin sore seorang telah membawanya ke dokter. Ia pula yang mengantar obatnya tengah malam dan ikut bergadang menemani orang tuanya hingga subuh bergantian mengompres anak itu. Dia teman kamu juga, Yan. Kamu bisa menebak siapa dia?”
Siska yang ada di samping Tia bertanya, “Kalau aku bisa menebak, kamu mau traktir aku makan steak?”
“Setuju, asal sebaliknya kalau kamu gagal kamu gantikan tugasku Minggu depan sebagai organis kebaktian. Syaratnya, hanya boleh menyebut 5 nama saja.”
Tetapi Tia menggelengkan kepala setelah Siska menyebut 5 nama.
“Mau ikutan bertaruh, Yan?” tanya Tia.
Yanti meringis dan menggeleng kepala. Di gereja ia punya banyak teman. Tetapi ia tidak mengenal mereka. Ia hanya sekedar tahu nama mereka.
“Ada barang orang itu yang tertinggal dan orang tua anak itu minta guru Sekolah Minggunya mengembalikannya.” Baru saja Tia mengeluarkan sebundel fotokopi Siska sudah menyambarnya.
"Fredi?!!!" teriak Siska begitu membaca nama yang tercantum di sudut kanan atas bundel itu. "Si pengantuk ini bisa bergadang semalaman?"
Mereka tak melihat pias wajah Yanti ketika mendengar nama Fredi disebut. Setelah menerima bundel itu, Yanti berpamitan kepada mereka. “Aku harus menemuinya. Harus!” ia menggeram pelan sementara matanya terus mewaspadai lalu lintas di depannya.
Melintasi pasar loak ia harus memperlambat laju mobilnya karena jalan itu menyempit akibat banyak motor parkir di tepinya. Hampir saja mobilnya mencium motor di depannya karena matanya untuk sekian detik terpaku pada sebuah pemandangan di sebuah kios pakaian bekas.
Ketika ia memasukkan mobilnya ke dalam garasi, ia mendengar suara motor dengan knalpot bocor di depan pagar rumahnya. Seseorang meneriakkan namanya.
“Maaf, aku terlambat mengembalikan uangmu. Aku tak sempat ke gereja tadi pagi. Ada kerjaan di luar.”
Wajahnya berkeringat dan rambutnya tak teratur. Ada bekas oli di tepi dagunya.
“Kamu tak ke gereja hanya karena sibuk mencari uang?” tanya Yanti.
“Sudah kubilang, aku ini bukan orang Kristen yang baik.”
Bukan Kristen yang baik? Siapakah sebetulnya di antara kita berdua adalah orang Kristen yang baik? Ia menatap uang yang disodorkan Darto. Tanpa sadar Yanti menghela nafas. Dalam sekali.
“E, sori,” kata Darto ketika menyadari uang yang dipegangnya hanya 2 lembar lima puluh ribuan. Ia berjongkok. Dari lipatan ujung celana jin ia mengeluarkan selembar seratus ribu.
Dahi Yanti berkerut.
“Aku melihat kamu lewat pasar loak tadi. Percayalah uang ini halal. Seorang ibu ingin sekali memiliki jaket yang aku pakai. Katanya jaketku mengingatkannya pada almarhum suaminya. Ia memaksa aku menjual kepadanya.”
“Kamu masih marah?” tanya Darto melihat Yanti tak juga menerima uang yang diulurkannya. “Oke, oke, aku mengaku. Aku memaksa temanku yang pedagang baju bekas membeli jaketku. Laku lima puluh ribu. Lalu aku pinjam lima puluh dari tukang parkir di pasar loak itu. Seratus ribu aku dapat dari mereparasi mobil.”
Nanar Yanti memandanginya membuat Darto bingung menebak-nebak maunya.
“Yan, kalau semalam aku berlaku kasar, aku minta maaf. Tadi malam aku sedang panik.”
“Karena familimu itu?”
“Ya. Yang sebatang kara dan masih balita,” Darto mencoba melucu.
“Dar, aku sudah mengatakan aku memberi uang itu kepadamu. Percayalah, aku tidak melemparkan tulang kepada seekor anjing. Atau, memang kamu ingin menamparku lagi dengan menolak pemberianku sehingga kamu harus menjual jaketmu, berhutang dari temanmu dan tidak pergi ke gereja demi mengembalikan uang ini?”
Darto meringis. “Sejak semalam Iskandar tak lagi menampar istrinya,” sahutnya sementara tangannya masih saja mengulurkan uang ke depan Yanti.
“Karenanya, jangan kembalikan uang itu. Masuklah ke dalam. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”
Yanti membalikkan badan dan melangkah menuju pintu rumah. Tetapi langkahnya terhenti mendengar Darto berteriak, “Terima dulu uang ini agar aku tidak merasa kamu upah untuk menuruti maumu!”
Gadis itu kembali mendekati Darto. Wajahnya sendu. "Pengurus multi media minta aku menulis ulang skenario drama tadi malam untuk direkam di keping dividi. Menurut mereka banyak dialok yang masih lemah dan lepas dari karakter tokohnya. Bahkan nilai kekristenannya masih samar. Aku membutuhkan bantuanmu untuk menulis ulang. Jangan kuatir, namamu pasti dicantumkan sebagai penulis skenario."
Darto tergelak. "Yanti Damayanti. Penggemar keping dividi cerita Kristen mana yang tidak mengenal nama ini? Penulis naskah, sutradara sekaligus aktris Kristen papan atas sekarang minta aku membantunya? Yan, tak usah bercanda.”
"Betul katamu Dar. Setiap orang yang kenal namaku tahu aku adalah penulis naskah, sutradara sekaligus aktris Kristen papan atas. Tetapi mereka tidak tahu kekristenanku hanya di atas kertas, hanya di atas tut keyboard, hanya di atas keping dividi, tidak dalam kehidupan nyata. Aku ingin kekristenanmu dalam hidup sehari-harimu kamu tulis di atas keping dividi. Plis Dar. Sekalian ajari aku menulis nilai-nilai kekristenan yang selama ini ada di atas kertas ke dalam lembar-lembar kehidupanku yang nyata.”
Suara Yanti terdengar lirih. Sisa cahaya mentari senja memantul di matanya yang berair. Sedang bermain dramakah gadis ini? pikir Darto. Dari teman-temannya di sanggar ia telah mendengar keangkuhan perempuan ini. Juga bagaimana Yanti memanfaatkan orang lain untuk menambah ketenaran namanya. Apakah sekarang tiba giliranku?
Darto tertawa. “Kamu tidak mengenal aku. Bagaimana kamu tahu aku orang baik? Sudahlah Yan, jangan bermain sandiwara.”
Yanti membuka tasnya yang masih bergantung di pundaknya. Bundel naskah “Kekasihku Seorang Dewi“ disorongkan ke depan muka Darto.
“Aku tidak sedang bermain sandiwara. Ini naskah drama milik Fredi yang kupinjamkan kepadamu. Guru Sekolah Minggu anak yang kena tipes itu baru saja menyerahkannya kepadaku."
Darto tersentak. Tawanya lenyap.
"Maukah kau membantuku, Dar?" pinta Yanti mengiba. "Membantuku untuk berjalan dengan benar?"
Dalam keremangan senja ia melihat wajah yang tulus. ****
7 user menyukai ini
- Inge Triastuti's blog
- Login to post comments
- 6088 reads
hooray!!!!
setelah setahun menanti, akhirnya penulis fave gue muncul lagi.... pertamax dulu deh, biar inget buat baca2 nanti di rumah :-)
Penulis papan atas
Kirain kemana si Inge nih, lama nggak nongol-nongol..
Terrnyata sudah jadi penulis naskah, sutradara sekaligus artis Kristen papan atas..
di tunggu karya-karya berikutnya ya, jangan pelit..
Tante Joli, antara aktris dan artis
Jangankan jadi artis, jadi aktris saja belum. Sekarang ini baru jadi pelamun, melamun kapan bisa jadi penulis seperti para blogger di sini sehingga tidak malu-maluin.
I'in tidak pelit kok. Kalau tidak bisa memberi memang karena tidak punya sesuatu untuk diberikan. Semoga sebelum tahun depan I'in bisa memposting satu tulisan lagi (seperti kata Dennis, Inge itu munculnya setahun sekali).
Kekristenan di atas tut keyboard
Tetapi mereka tidak tahu kekristenanku hanya di atas kertas, hanya di atas tut keyboard, hanya di atas keping dividi, tidak dalam kehidupan nyata.
I like this statement karena selanjutnya diceritakan ada keinginan untuk berubah dalam cerpen satir ini. Satir itu menyindir sambil tersenyum, sedangkan sarkastik itu menyindir sambil menggeram.
I'in welcome back.
Salam.
Cerpen Kristen yang aku tunggu karya mbak I'in.......
Wah akhirnya keluar juga karya mbak I'in sebuah cerpen kristen yang aku tunggu sekian lama......
Setelah sekian lama menunggu karya-karya mbak I'in , eh pas giliran muncul aku sudah ketinggalan hampir tujuh pekan.Tapi tak apa ketinggalannya belum sampai tujuh puluh kali tujuh kali pekan.
Tapi pas baca koq kayake cepet habis ya, apa karena saking semangatnya atau memang agak sdikit pendek dari cerpen - cerpen yang sebelumnya.
Cerpen fiksi seperti cerpen kristen ini yang sering saya cari di internet tapi susah didapat, bahkan ketika saya search di mesin pencari google. Awal saya nyasar ke sabda space itu lantaran search cerpen kristen lewat google dan ditunjukkan ke postingan mbak I'in di pasar klewer ini.
Maklum bacaan seperti ini cukup ampuh membunuh kejenuhan dan stress yang melanda bila sedang melaut.
Buat mbak I'in trima kasih tuk cerpennya dan ditunggu cerpen atau tulisan berikutnya......
GBU