Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

A Place To Remember

Purnomo's picture

            Bulan Maret-2014 setelah pensiun sebagai guru TK dia terbang dari Zurich ke Indonesia. Perempuan Swiss ini mendatangi rumah kosnya waktu kuliah di ASRI di Gampingan Jogja tahun 1980-an. Tetapi yang ditemuinya mengharubirukannya.


            Rumah itu sudah dibeli orang lain dan bangunan lamanya sudah rata dengan tanah. Melihat foto yang ditunjukkannya, aku ingat dulu dia hampir setiap sore duduk merajut di tepi pintu belakang yang lebar itu hanya sekedar menunggu induk ayam beriringan dengan anak-anaknya pulang ke kandang. Sebuah pemandangan yang biasa bagiku menjadi luar biasa dan penuh makna baginya.

            Lahan itu berjarak 2-3 rumah dari galeri Amri Yahya di belakang ASRI. Di tengah ada rumah joglo dan di samping kanannya berderet kamar-kamar kos. Waktu itu setiap bertugas di Jogja, setelah mandi sore di hotel, aku sering ke rumah kost ini karena seorang temanku – yang kemudian menjadi suami perempuan ini – tinggal di situ.

            Di sana aku berbincang-bincang dengan para mahasiswa/i kadang sampai menjelang subuh tentang apa saja, juga tentang agama dan filsafat tanpa rasa takut atau curiga. Di sini pulalah aku mendapat dorongan untuk menulis ketidaktahuanku tentang manusia dan Tuhan yang aku kirim ke beberapa majalah gereja. Bila ada yang memberi honor aku minta dikirimkan ke alamat ini. Penghuni kos ini yang mengambilnya di kantor pos untuk membayar hutang mereka di warung pecel, untuk menebus arloji mereka di rumah gadai, untuk membeli lilin batik atau kain kanvas di Malioboro.

            Kesedihan perempuan ini membuat aku ingat sebuah puisi Laura Paais -

RUMAH MERAH
         di rumah yang lengang
         sepi bersemayam
         pongah tak tahu malu
         meraja ke langit-langit
         ruang-ruangnya hampa hangat
         tembok-tembok luruh beku
         tanpa geliat

harapku belum pupus hatiku mendamba
di teras belakang mungkin ada
di sana dekat bangku batu itu
kalau-kalau tersisa barang setangkup dua
canda yang dulu limpah
berbual-bual membuncah
nyatanya tak sisa

         mengapa kita biarkan
         waktu tega menjajah
         dekat yang dulu punya kita?
         mengapa kita biarkan diam sesuka hati menjarah
         manis yang dulu punya kita?
         di mana rumah merah penuh cinta tawa hangat gelak bebas riuh hiruk pikuk kita itu?

aku ingin ia lagi
tempat pulangku yang sentosa
biar cuma sisa satu ruang
untuk balas senyummu
(Jakarta 25/4/2006)

             Rumah joglo itu telah lenyap, begitu juga ruang-ruang di mana kami merajut kebersamaan dalam kesusahan masing-masing. Canda yang melimpah-ruah berbual membuncah membangkitkan semangat yang melemah, tak lagi bersisa.

             Tetapi kami masih punya satu ruang di hati. Masing-masing kita mempunyai anak kuncinya.  Mari, bukalah pintunya. Masuklah,  di dalamnya masih ada seri untuk dinikmati.

             Begitu juga dengan SABDA Space ini.