Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Pengemis dan Uang Logamnya

anakpatirsa's picture

"Masuk, Mas," kata wanita pemilik salon menyambut pria yang barusan mendorong pintu kaca hitam.

"Di sini bisa pijat?" mulut si tamu memang mengajukan pertanyaan, tetapi matanya menjelajahi ruangan.

Ia sudah melihat tulisan Beauty Salon--Ladies and Gents sebesar gajah di depan. Di bawahnya, dalam tulisan kecil-kecil tertulis: Creambath, SPA, Massage, Lulur, dll. Ia masuk ke tempat ini karena kacanya berwarna hitam, dan tertutup rapat, seolah-olah menyembunyikan sesuatu.

Toge tidak lulus SMP, tetapi bisa mengenali salon semacam ini dari jarak satu kilometer.

"Ya, massage bisa," jawab wanita yang disebut Mami ramah. Ia percaya, ada perbedaan antara pijat dan massage. Pijat di panti pijat, massage di salon kecantikan. Kedua istilah ini tidak boleh saling tukar.

"Cuma mau massage?"

Ia mengajukan pertanyaan dengan nada yang digenit-genitkan. Si Toge bisa melihatnya, tetapi cukup perpengalaman untuk tidak langsung menjawab.

"Kalau pijat berapa?"

Toge tahu, malu bertanya tinggal KTP. Padahal ia tidak punya KTP.

"Massage lima puluh ribu."

Di belakang terminal lebih murah, pikir Toge, tetapi ia memutuskan saatnya mencoba yang baru.

 "Ya," katanya pendek. Tanda jadi.

"Silahkan pilih mbak yang mana?" kata wanita setengah umur ini sambil menunjuk pekerja salonnya yang sedang free. Ada Melly, Sherly, Virnie dan Cindy, nama-nama hasil menonton sinetron sambil menunggu pelanggan.

Mata Toge berputar. Perempuan yang tiduran di tempat cuci rambut terlalu malas. Gincu perempuan yang duduk di sudut sofa terlalu tebal. Perempuan yang duduk di kursi putar terlalu tua. Perempuan yang mengangkangi televisi tidak punya rasa malu. Sedangkan perempuan yang memotong kuku di tengah sofa lebih mirip bencong dekat terminal.

Lalu wanita setengah umur yang menyambutnya ini lebih mirip gajah lampung.

Tatapan Toge berhenti pada wanita yang sedang membaca majalah bersampul foto setan di depan sebuah benteng kuno. Toge tidak suka membaca, tetapi mengagumi wanita yang bisa membaca.

"Mbak yang itu."

Melly menoleh, merasakan pria ini menunjuk dirinya. Ia sering melihatnya di pertigaan dekat terminal, menengadah tangan kanan sambil menggendong bayi. Tangan kiri selalu memegang kain penutup muka bayi yang tidak sampai berumur dua tahun. Pria ini tentu tidak mengenalnya, Melly tidak pernah membuka kaca helmnya di jalan.

Melly tidak pernah mengambil resiko salah satu pria itu melihatnya dekat lampu merah.

Ia langsung bangkit, berkata, "Kesini, Mas."

Toge mengikutinya ke bagian belakang salon, berharap tidak salah memilih.

"Namanya siapa, Mas?" tanya Melly setelah menutup pintu.

"Bejo," entah mengapa, ia selalu menjawab Bejo bila ada yang menanyakan namanya di tempat seperti ini. Bejo artinya beruntung. Ia berharap bisa beruntung di tempat ini, terhindar dari penyakit kelamin.

"Kerja apa di sini, Mas," tanya Melly. Seringkali ia merasa kaku dengan pelanggan baru, sehingga berusaha menghilangkannya dengan pertanyaan apa saja yang muncul di benaknya.

"Programmer, Mbak," jawab Toge pendek.

Di dekat terminal, di persimpangan yang mempertemukan terminal bis dengan stasiun kereta api, ada tempat penjualan handphone yang hanya buka di malam hari. Di sana ada programmer, orang yang mengajarinya cara memakai program di HP, serta mengajarinya cara membuat benda ini tidak berbunyi ketika ia sedang mencari uang.

Melly sama sekali tidak kaget. Kalau pulang kampung, ia juga tidak pernah mengatakan pekerjaannya sekarang. Termasuk tidak berani mengatakan bekerja di sebuah salon kecantikan. Pekerjaan terakhir yang ia sebutkan adalah bekerja di counter HP.

"Mbak sudah lama kerja di sini?" 

"Baru sebulan, Mas."

Melly sudah setahun di sini. Pertama kali masuk, sama sekali tidak bisa memotong rambut, dan sampai sekarang pun ia tidak pernah menyentuh gunting. Tidak ada pelanggan yang protes, mereka suka orang baru. Pekerjaan seperti ini tidak membutuhkan jam terbang. Ini seperti motor, makin baru makin bagus.

"Yang mau dipijat apanya, Mas?" tanya Melly.

"Semuanya."

Melly langsung tahu, pria ini tidak sedang tersesat. Ia tahu sedang masuk ke mana dan untuk apa.

Akhirnya untuk pertama kali, Melly bertemu tukang tawar yang paling gigih.

Begitu semua selesai, Toge membuka tas kecil kumalnya, mengeluarkan sebuah bekas kantong gula. Melly bisa melihat isinya, uang logam seratus dan lima ratusan rupiah. Melly berharap uang itu tidak mengeluarkan bunyi gemericing.

"Koin semua ya, Mbak."

Melly tidak menjawab, ia mengambilnya tanpa sepatah kata pun, dan tanpa niat menghitungnya. Biasanya ia mengucapkan kalimat perpisahan, "Datang lagi ya, Mas." Tetapi kali ini berharap si Bejo atau entah siapa namanya tidak lagi datang kesini.

Ia hanya bisa mengumpat dalam hati, "Dasar pengemis hidung belang."

"Muka kamu muram?" kata Mami ketika Melly menyetor limapuluh ribu, uangnya sendiri. Di salon aturannya selalu sama, Mami mendapat setoran sesuai tarif salon. Massage lima puluh ribu, lulur seratus ribu, SPA seratus limapuluh ribu. Apa yang terjadi di dalam, ia tidak perlu tahu. Ia cukup puas bila sudah mendapat bayaran atas layanan biasa.

Melly diam, itu akan menjadi rahasianya sendiri. Rahasia kesialan hari ini. Ia tidak mau menjadi bahan tertawaan karena menyerahkan separuh isi kantong plastik berisi uang logam.

Biarlah hari ini menjadi rahasianya sendiri.