Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Pelajaran Kesenian
Indonesia Raya ...
"Masa langsung kamu nyanyikan bagian Indonesia Raya-nya," kata Pak Ludie, "itu kan refrain-nya?"
Tanpa ia potong pun, aku tahu ada yang salah. Rasanya bukan seperti ini bagian awal lagu yang kudengar Senin lalu.
Kucoba lagi.
Indonesia ...
Aku benar-benar lupa kata berikutnya.
Indonesia ...
Aku harus menyerah.
Ada bagian lagu yang pasti kuingat, bagian yang menandai aba-aba menurunkan tangan pegal. Aku berharap, setelah menyanyikan ujung lagu, depannya jadi ingat.
Hiduplah Indonesia Raya.
"Halah, masa benderanya tiba-tiba sudah sampai di puncak," kata Pak Ludie, ia mulai jengkel.
Aku harus berhenti, tidak ada yang mau menolongku.
"Bukankah setiap Senin kamu ikut upacara bendera?" kata Pak Andut, guru kelasku.
Itulah alasanku memilih lagu kebangsaan. Sekali seminggu aku mendengarnya, sekali seminggu aku ikut membuka mulut tanpa bersuara. Suaraku begitu jelek sehingga aku sendiri malu mendengarnya. Kali ini pun, kalau boleh memilih, aku akan bernyanyi tanpa suara.
Tadi, ketika mengetahui pilihanku, Pak Andut protes. Menurutnya itu bukan lagu nasional, tetapi lagu kebangsaan. Untunglah Pak Ludie menolongku dengan berkata, aturan ujian boleh sedikit diubah, peserta boleh memilih lagu nasional atau lagu kebangsaan.
"Kamu dengar tidak pertanyaan saya barusan?" tanya Pak Andut lagi.
"Saya tidak hafal lagunya, Pak."
Aku tidak berani melihat ke arah mereka. Lubang sebesar telapak tangan di bawah papan tulis sangat menolong. Lebih baik menonton sesuatu daripada sekedar menunduk tak jelas.
Aku tidak berharap ia menanyakan apa yang kulakukan selama enam tahun di lapangan sekolah. Aku tidak berharap mendengar ceramah tentang rasa kebangsaan. Dua tahun lalu, gara-gara seorang anak cengengesan waktu menyanyikan lagu Indonesia Raya, aku terpaksa mengikuti upacara bendera terlama. Pak Andut yang memimpin upacara berkata, kakek-kakek kalian sampai menitikkan air mata ketika menghormati bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan, kalian para anak cucunya malah menghormati bendera sambil cengengesan. Aku tidak berharap mendengar ceramah rasa kebangsaan hanya karena mangap-mangap setelah mendengar aba-aba, Kepada Sang Saka Merah Putih, hormaaat graaak!
"Lagu nasional apa yang kamu hafal?" tanya Bu Fatmawati. Untuk pertama kalinya ia membuka suara.
Ia guru kesenianku di kelas dua, ia yang mengajariku cara menggambar pemandangan. Ia gambari dua garis melengkung di papan tulis. Bertanya, gambar apa ini anak-anak? Gunung, teriak kami serempak. Di antara kedua garis melengkung ia gambari lengkungan lagi; serta beberapa garis tegak di atasnya. Ini apa anak-anak? Matahari, teriak kami. Dari bawah gunung, tepat di tengah, ia tarik dua garis miring sampai dasar papan tulis. Ini apa anak-anak? Tangga, teriak kami. Salah! katanya. Di kiri-kanan kedua garis itu ia gambari tiang-tiang yang ada bulatannya. Itu pohon dan itu gambar jalan, teriak Bonie sebelum Bu Fatmawati bertanya. Bonie memang anak paling sok pintar yang pernah kukenal, tetapi kali ini Bu Fatmawati membuat hidungnya kembang kempis.
Bu Fatmawati lalu memenuhi bagian bawah papan tulis dengan garis-garis seperti huruf "w" yang tak terhitung. Ini padi di sawah anak-anak, katanya, siapa yang pernah melihat sawah? Kami semua mengangkat tangan. Ia mengatakan tidak mungkin kami pernah melihat sawah, padi di belakang kampung bukan sawah tetapi ladang. Sawah hanya ada di Pulau Jawa.
Ia menyuruh kami meniru gambar di papan tulis.
Hari itu teman-teman kebanyakan mendapat nilai sepuluh. Aku cukup puas dengan nilai sembilan. Setelah itu, selama dua tahun, aku menggambar pemandangan yang sama: gunung, matahari, jalan dan sawah. Baru di kelas empat, gambarku sedikit berubah. Aku menghiasi dua gunung mulus itu dengan pohon-pohon yang hanya tersisa tunggulnya.
Di kelas empat pula, aku merasakan apa yang namanya bogem mentah. Bu Eni yang mengajar kesenian berkata, Kalian jangan hanya menggambar pemandangan, hari ini masing-masing harus melukis wajah teman sebangkunya. Setelah bertatapan dengan Ikong, aku memenuhi buku gambarku dengan sebuah bulatan. Kembali kami bertatapan, kuperhatikan mata, hidung dan mulutnya. Aku lalu menggambar dua bulatan sebesar kelereng, satu bulatan sebesar biji durian, dan satu bulatan sebesar belimbing telunjuk. Begitu pantat Bu Eni lenyap di pintu, sebuah tinju mendarat di mukaku.
"Hei, jangan melamun saja. Apa saja lagu nasional yang kamu hafal?"
Tidak satupun lagu nasional yang bisa kuhafal. Aku hanya ikut membuka mulut ketika ia mengajarkan lagu Satu Nusa Satu Bangsa di kelas tiga.
"Ayo jawab!" ia mulai membentuk.
Aku menggeleng sambil menunduk.
Aku sudah tahu cara menghafal pelajaran. Baca keras-keras sampai titik, tutup buku, pejamkan mata, ucapkan kembali tanpa melihat buku, dan ulang terus sampai hafal. Bu Rati pernah berkata, kalau sudah mengulang sepuluh kali dan masih belum hafal, orang itu sendiri yang bodoh. Aku sudah menghafal lagu dengan cara ini, tetapi hafalanku langsung hilang begitu mendengar suara nyanyianku sendiri.
Berarti aku bodoh.
"Masa tak satupun? Apa yang kamu pelajari dalam pelajaran kesenian selama enam tahun ini?" kata Pak Andut.
Aku makin menunduk, ia membuatku merasa menyia-nyiakan enam tahun. Aku tidak ingin membuatnya menganggap sama sekali tidak tahu lagu nasional. Jadi kukatakan, "Kalau Lagu 'Dari Sabang Sampai Meraoke", saya hafal sampai bagian 'itulah Indonesia.'"
"Halah, anak baru bisa ngomong pun bisa langsung hafal kalau yang itu," kata Pak Ludie.
Apakah ia ingat dirinya sendiri yang mengajari lagu itu? Ia bukan guru kesenian, hanya guru kelas yang menjadi guru kesenian. Ia tidak pernah menjadi guru kelasku, hanya sekali ia menjadi guru kesenianku, ketika aku kelas tiga. Bu Fatmawati yang kembali menjadi guru kelasku sakit seminggu, Pak Ludie menggantikannya, termasuk mengajar kesenian. Ia menggambar guling miring di papan tulis, bagian paling atasnya ia tulisi kata "Sabang". Di kanan guling ia gambari bulatan seperti mangkok rusak. Di bawah mangkok rusak ia gambari guling rebah, dan di kanannya ia gambari bulatan seperti huruf "k". Di ujung paling kanan, ia gambari bulatan kepala ayam dan tulisan "Merauke" di tempat paling bawah. sambil menunjuk mangkok pecah, ia berkata, kita tinggal di sini. Ia katakan kami bersaudara dengan orang-orang di pulau guling miring, pulau guling rebah, pulau "k", dan pulau kepala burung. Kami juga bersaudara dengan orang-orang di bulatan-bulatan kecil yang ia tambahi di antara bulatan-bulatan besar. Dengan gambar itu, ia ajari kami lagu Dari Sabang sampai Meroeke/Berjajar pulau-pulau/Sambung menyambung menjadi satu/Itulah Indonesia.
Kata-kata selanjutnya aku sudah lupa.
Kepala Pak Andut dan Pak Ludie bergerak mendekati kepala Bu Fatmawati, mereka berbisik-bisik.
"Kamu duduk saja dulu, dengarkan teman-temanmu menyanyi sambil kamu hafal lagunya," kata Pak Andut setelah kepala mereka berpisah.
Duduk di bangku tidak membuatku tenang. Rudi menyanyikan lagu Garuda Pancasila, Lela menyanyikan lagu Satu Nusa Satu Bangsa, Memei menyanyikan lagu Rayuan Pulau Kelapa. Baru Doli yang menyanyikan lagu kebangsaan, itupun hanya membuatku tahu bagian pertamanya memang bukan Indonesia Raya. Kalau saja boleh mencatat lagunya, mungkin aku masih bisa menyanyikannya. Tetapi kemarin aturan ujian sudah jelas, tidak boleh menyontek.
Kembali kudengar namaku.
"Sudah hafal?" tanya Pak Ludie.
Aku menggeleng.
Tadi malam aku berkata pada Ibu, aku takut tidak lulus karena tidak bisa menyanyi. Ibu berkata ia mau mengajari aku menghafal lagunya. Aku ceritakan kalau guru berkata, karena ujian, soalnya masih rahasia, jadi lagunya juga masih rahasia. Ibu menghiburku dengan berkata, tidak mungkin murid tidak lulus hanya karena tidak bisa menyanyi. Buktinya ayah bisa lulus walaupun tidak bisa menyanyi. Ibu juga berkata ia cukup senang bila aku tetap berani maju, walaupun tidak pernah bisa menghafal lagu.
Selama ini aku tidak terlalu kesulitan dengan nilai kesenian. Ulangan kesenian tidak terlalu sulit. Aku sudah bisa menggambar dua gunung untuk ulangan praktek, dan bisa menghafal nama pengarang lagu nasional untuk ulangan teori (Menghafal pengarang lagu aku memang bisa, hanya menghafal lagunya yang aku tidak bisa). Baru di kelas lima pelajaran kesenian sedikit berbeda, kami mulai belajar seni musik dengan menggambar garis-garis tegak yang ujungnya berbentuk buntut lebah. buntut-buntut itu harus digambar dalam garis yang jumlahnya harus lima. Buntut-buntut yang kubuat tidak pernah sebagus punya teman-teman, tetapi Bu Anggie tidak pernah memeriksanya. Ia hanya menggantung gambar besar di papan tulis, lalu meninggalkan kami untuk menggambarnya sampai bel berbunyi. Gambar-gambar itu sudah berwarna kuning, pasti kakak-kakakku pernah memakainya dan menggambar sengat lebah yang sama. Bu Anggie juga yamg mengajariku lagu Do re mi fa sol la si du. Ia bahkan pernah memaksaku mengulang lagu itu seratus kali. Seratus kali pula teman-teman tertawa karena bagian du si la sol fa mi re du-nya menurut mereka sangat lucu.
Selain itu, aku sama sekali tidak pernah kesulitan dengan pelajaran kesenian.
"Kalau hanya mematung seperti ini," kata Pak Ludie, "bagaimana kamu bisa lulus?"
Aku makin menunduk. Ingin menangis, tetapi kutahan. Lebih baik tidak lulus daripada menangis di depan kelas, seumur hidup teman-temanku akan mengingatnya.
"Kamu mau nyanyi lagu apa?" tanya Bu Fatmawati lembut.
Aku berjanji, kalau sudah besar, aku membeli kue dan mendatangi rumahnya.
Aku menggeleng, pertanyaannya membuatku lebih sulit menahan air mata. Satu kata lembut lagi, walaupun bibir kugigit, air mata tidak akan bisa kutahan.
"Nilai kamu pasti jatuh," kata Pak Ludie, "hanya gara-gara tidak hafal lagu, nilai kesenianmu akan menjatuhkan nilai rata-rata ijazah."
Aku bersyukur bila bisa lulus tanpa harus menyanyi.
Mereka berunding sebentar. Kelas begitu hening sehingga bunyi psit-psit itu terdengar jelas. Pasti anak-anak yang duduk paling belakang pun bisa mendengarnya.
"Kalau kamu tidak hafal satu lagu nasional pun," kata Bu Fatmawati setelah dua kepala menjauh dari kepalanya, "kamu mau menyanyi lagu apa sekarang?"
Inilah pertanyaan yang sudah kutunggu-tunggu dari tadi. Ada satu lagu yang benar-benar kuhafal. Bu Ira, guruku di kelas satu yang mengajarkannya. Lagu itu begitu mudah, aku bahkan tidak harus menghafalnya. Hanya perlu menambah angka-angka yang dinyanyikan.
"Satu tambah satu," jawabku.
Ada tawa dari arah belakang. Aku tidak bisa melihat siapa-siapa saja yang tertawa. Aku hanya bisa melihat wajah ketiga guruku. Bu Fatmawati sama sekali tidak berusaha menahan cekikannya. Aku langsung memutuskan tidak jadi memberinya kue saat ia menjadi nenek tua.
Hari itu, di Ujian EBTA, Evaluasi Belajar Tahap Akhir, aku menyanyikan kembali lagu yang kupelajari di kelas satu.
Satu ditambah satu sama dengan dua
Dua ditambah dua sama dengan empat
Empat ditambah empat sama dengan delapan
Delapan ditambah delapan sama dengan enam belas
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 5556 reads
Kepala goyang
Cerita menarik AP, jadi ingat juga, duluuuu ya jaman dahulu kala, hal menyanyi di depan kelas juga menjadi momok bagiku. Karena selalu di ketawain teman sekelas bila maju ke-depan bukan karena nggak hapal lagu maupun syair-nya, tetapi karena kepalaku selalu bergoyang-goyang
Teknik bercerita yang masih sulit saya tiru.
Kembali saya takjub dengan teknik bercerita AP. Bahannya amat sangat sederhana: kebodohan si "aku" dalam ujian menyanyi. Tetapi anyaman cerita-cerita lainnya yang dimasukkan memancing rasa ingin tahu "the end"nya karena dengannya AP membangun tahapan klimak tanpa tergesa. Dan pada akhir cerita selalu saja AP memberikan kejutan.
Aku langsung memutuskan tidak jadi memberinya kue saat ia menjadi nenek tua.
Ketika belum sempat saya menurunkan keterkejutan saya membaca dendamnya, saya harus tertawa membaca lagu yang dibawakan si "aku." Ya, pantesan saja Bu Fatma tertawa. Saya saja yang tidak hadir ikut tertawa.
Saya masih belum berhasil mengadopsi teknik bertutur AP ini.
Thx telah berbagi ilmu.
Salam.
Hahahahahaha!
Hahahahahaha!
Ap : Its like driving a car
Min ga pernah berhasil dengan hapalan lagu. Walo, Min beruntung, punya suara yang bagus. (hehe) Nah, min masuk ke paduan suara dan koor gereja. Tingkat kesulitan lagu gereja agak beda dengan lagu biasa. Karena kalimat untuk satu lagu yang dibagi menjadi 4 suara, biasanya katanya bisa diulang atau di penggal di bagian bagian tertentu. Menghapalnya bisa sangat susah.
Biasanya, min saat latihan setiap weekend di gereja, min mendengar dan menyanyikan. Mendengar, lalu mengingatnya. Dengan mendengar dan menyanyikan, otomatis min bisa menguasai hapalan lagu itu. (Seperti driving car, uda automatically hapal stepnya).
But kalo disuruh tuliskan liriknya, habes lah... ingatan akan liriknya ga akan muncul. Tapi ketika berbaris di barisan, dengan intro dan musiknya, kalimat demi kalimat lirik lagu akan begitu sj keluar. ^^
Min baru tahu min bs bernyanyi itu pas SMP. Pas SD min benci suara min. Aneh. Dunno why.
@All: Terima Kasih
@joli:
Saya bisa membayangkan rasanya harus menghadapi ujian menyanyi yang menjadi momok.
Bagi saya itu masih menjadi momok. Sampai sekarang tidak suka kalau ada acara "permainan" di "persekutuan", apalagi kalau yang kalah dapat hukuman menyanyi atau apa.
@purnomo:
Stephen King mengatakan teknik in media res 'di pertengahan segala sesuatu' merupakan teknik kuno yang banyak dipakai orang. Ia sendiri tidak menyukai teknik ini, menurutnya in media res yang mementingkan aspek kilas balik sangat membosankan dan membuat cerita jadi dangkal, mengingatkannya pada film tahun 40-an dan 50-an. Ia lebih menyukai cerita yang jalan ceritanya lurus, bukan menoleh ke belakang.
Saya selalu mengingatnya, berusaha menghindari flashback.
Dan awalnya, cerita ini saya tulis "lurus". Saya ceritakan pengalaman "Si Aku" dari kelas dua sampai kelas lima ketika mengikuti pelajaran kesenian. Tetapi saat ceritanya "jadi", saya rasakan ceritanya begitu datar dan membosankan. Empat halaman berisi pengalaman anak SD belajar kesenian di kelas satu sampai kelas enam?
Saya putuskan merombaknya. Enam tahun itu harus terjadi dalam jangkauan waktu seorang anak maju ke depan kelas sampai menyanyikan sebuah lagu. Satu-satunya cara hanya dengan menggunakan teknik in media res yang memungkinkan kita menoleh ke belakang.
Mengapa harus ada enam tahun? Mengapa harus menoleh ke belakang? Saya membutuhkan beberapa cerita pendukung, saya membutuhkan sebuah latar belakang. Tanpa cerita-cerita itu, tidaklah masuk akal ada anak yang boleh menyanyikan lagu "Satu Tambah Satu" saat ujian akhir sekolahnya.
Bila Pak Pur menemukan anyaman-anyaman yang memancing rasa ingin tahu itu, bila Pak Pur menemukan saya membangun tahapan klimaks tanpa tergesa, itu karena saya menghabiskan sepuluh hari untuk menyelesaikan cerita ini. Begitu pulang kantor, saya langsung menghidupkan komputer, mengenang beberapa kejadian di masa lalu.
Cerita ini ada dalam delapan file. Pertama saya tulis sampai selesai apa yang ada di kepala. Saya ketika di program pengolah teks sejenis Notepad (tanpa format). Besoknya saya mulai dari awal lagi, dengan menambah angka 2 di ujung nama file. Ketika cerita ini saya anggap "selesai", itu sudah file ada empat file.
Itu belum selesai. File keempat saya "paste" ke pengolah kata yang ada formatnya. Saya edit lagi dari awal, termasuk menambah huruf miring, indentasi, dan lain-lain. Ketika cerita ini benar-benar selesai, itu ada di file yang kedelapan.
Mengapa saya lakukan itu untuk sebuah blog? Bukankah ini hanya sebuah blog? Saya pikir saat paling menyenangkan dalam menulis cerita adalah ketika memolesnya. Saya menikmatinya. Ketika cerita itu saya baca dan terasa tidak ada lagi yang mengganjal, saat itu saya merasakan sebuah kepuasan.
@PlainBread:
Selama bergabung, senang bisa membuat Anda tertawa.
@minmerry:
Kalau saya, saya tidak benci dengan suara saya walaupun sampai sekarang masih satu lagu yang saya hafal, "Satu Tambah Satu". Kalau mendapat tugas "MC" di persekutuan kantor, selama empat tahun ini saya memilih lagu "Bapa Engkau Sungguh Baik". Bukan karena saya hafal, tetapi lagu itu dikenal oleh semua teman. Jadi saya tidak harus memimpin mereka menyanyikannya. Kalau menyanyi, sekarang saya tidak sekedar membuka mulut, sudah bisa ikut menyanyi, walaupun hanya saya sendiri yang bisa mendengarnya.
@AP Saya yang terima kasih
Selain karena sudah membuat saya tertawa juga karena tulisan anda mengingatkan saya, bagaimana awalnya saya bisa suka membaca.
terima kasih
terima kasih telah berbagi,
saya kira saya yang paling buruk dalam hal menyanyi. saya jadi teringat waktu ujian EBTA saat SMP, menyanyikan lagu garuda pancasila.
Di bagian akhir lagu ada baris yang diulang-ulang, tetapi dengan permainan nada yang berbeda sehingga lagu akhirnya berhenti. Saya kehilangan kontrol atas melodi, akhirnya syair "ayo maju... maju. ayo maju... maju" saya nyanyikan berulang-ulang tanpa bisa berhenti.
seisi kelas terbahak, sejak saat itu saya berpikir saya tidak bisa menyanyi.