Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Paper: Sejarah dan Signifikansi Apocrypha/Deuterokanonika
- Apa itu
’Apocrypha’?
Terminologi
Apocrypha sekarang ini cenderung memiliki makna yang negatif di kehidupan orang
awam, terutama di kalangan orang Protestan. Mungkin karena kitab-kitab
Apocrypha tidak dimasukkan ke dalam kanon Alkitab yang kita miliki saat ini
kaum protestan awam memiliki pandangan miring tentang Apocrypha, sejenis
kitab-kitab sesat. Pandangan semacam ini tidak menunjukkan kebenaran melainkan
mengindikasikan kurangnya pemahaman kaum awam terhadap Apocrypha.
Terminologi
’Apocrypha’ sendiri memiliki arti yang misterius, tersembunyi atau dirahasiakan.
Kitab-kitab yang digolongkan ke dalam Apocrypha pada mulanya dianggap sebagai
cerita rakyat yang mengandung rahasia dan misteri
[1]
,
kitab-kitab yang membahayakan jika tersebar luas. Namun, sebagaimana
diungkapkan oleh Stefan Leks dalam bukunya Inspirasi dan Kanon Kitab Suci, ia
menyebutkan bahwa penggolongan kitab-kitab tersebut ke dalam Apocrypha atau
Deuterokanonika mengacu kepada penerimaan gereja atas penginspirasian
kitab-kitab tersebut. Kitab-kitab Protokanonik adalah kitab-kitab yang
penginspirasiannya sudah diterima dan diakui oleh gereja sejak pertama kitab
itu ditulis. Sedangkan kitab-kitab Deuterokanonika baru diakui dan diterima
proses penginspirasiannya oleh gereja di waktu yang kemudian
[2]
.
Jadi penyebutan Proto dan Deutero pada kedua kumpulan kitab tersebut sama
sekali tidak mengacu kepada pembagian kelas atau kualitas dari kedua kumpulan
kitab tersebut
[3]
.
Sejarah
Apocrypha dimulai dari Alexandria, Mesir, sekitar tahun 100 sM, sebagai bagian
dari awal terbentuknya Septuaginta. Aristeas, Imam Besar Yerusalem mengirimkan
tujuh puluh dua orang tua-tua ke Alexandria dengan tujuan mentranslasikan Kitab-kitab
Taurat bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani. Beberapa waktu setelah Kitab-kitab
Taurat, kitab-kitab lain dalam Perjanjian Lama menyusul diterjemahkan ke dalam
bahasa Yunani. Namun setelah masa ini, muncul tulisan-tulisan ‘baru’ yang tidak
terdapat dalam kanon kitab Perjanjian Lama milik Bangsa Yahudi dan dimasukkan
ke dalam Septuaginta
[4]
.
Kitab-kitab Apocrypha rata-rata ditulis antara abad ketiga sampai abad
pertama sebelum masehi.
Pada
abad ke empat Masehi, Jerome, atas perintah Paus Damasus mentranslasikan
Alkitab ke dalam bahasa Latin. Dalam tugasnya, Jerome menggunakan Septuaginta,
termasuk kitab-kitab ’baru’ di dalamnya, untuk menterjemahkan Perjanjian Lama
ke dalam bahasa latin
[5]
.
Jerome kemudian berinteraksi juga dengan kitab Perjanjian Lama Ibrani dan
menemukan adanya kitab-kitab dalam Septuaginta yang tidak ada di dalam kitab
Perjanjian Lama Ibrani. Jerome tidak mengeluarkan kitab-kitab ’baru’ tersebut,
namun ia mengelompokkan kitab-kitab ’baru’ tersebut dan memberi pengantar di
bagian depan.
[6]
Kitab-kitab ’baru’ inilah
yang dikenal dengan kitab Apocrypha atau Deuterokanonika.
Para
ahli yang menyalin pekerjaan Jerome seringkali tidak memperhatikan pengantar yang
ditulis oleh Jerome di depan Apocrypha. Akibatnya, pada abad pertengahan gereja
menerima kitab-kitab Apocrypha tersebut sebagai bagian asli dari Kanon Alkitab
keseluruhan. Selanjutnya, Gereja Katolik mengesahkan Apocrypha sebagai bagian
dari kanon Perjanjian Lama lewat Council
of Trent (1546).
[7]
Berikut adalah daftar nama-nama kitab Apocrypha:
v
1-2 Esdras
v
Tobit
v
Judith
v
Kitab Esther (tambahan)
v
Hikmat Salomo
v
Ekklesiastikus
v
Barukh
v
Surat Yeremia
v
Doa Azaria
v
Susanna
v
Bel dan Naga
v
Doa Manasseh
v
1-2 Makkabee
- Bagaimana
tanggapan gereja mengenai Apocrypha?
Ada dua
reaksi besar dari gereja terhadap keberadaan Apocrypha. Gereja Roma Katolik dan
Gereja Yunani Orthodox menerima Apocryha sebagai bagian dari kanon Perjanjian
Lama, namun kaum Protestan tetap memakai kanon Perjanjian Lama versi Ibrani. Beberapa
penulis kitab Perjanjian Baru pernah menyinggung tema-tema tertentu dari
kitab-kitab di Apocrypha. Misalnya Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma,
menyinggung kitab Hikmat Salomo (12:12,20) ketika menggambarkan umat Allah
sebagai tanah liat yang berada di tangan Allah sebagai tukang periuk. Contoh
lain adalah Yakobus menyinggung kitab Sirakh (15:11-12) ketika berbicara
mengenai pencobaan (1:13)
[8]
.
Penulis
akan memakai Vulgata sebagai titik awal perkembangan perdebatan tanggapan
gereja atas Apocrypha. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa karena
salinan dari Vulgata versi Jerome kurang memperhatikan pengantar di depan
bagian Apocrypha, salinan-salinan tersebut menganggap Apocrypha sebagai bagian
dari kanon Perjanjian Lama. Namun tindakan Jerome yang memisahkan Apocrypha
dari kitab-kitab Protokanonik itu tetap memberi pengaruh kepada penulis-penulis
lain
[9]
.
Beberapa
tokoh yang mengikuti pemisahan yang dilakukan oleh Jerome antara lain :
·
John Wyclif, menerbitkan Alkitab versi Bahasa Inggris
yang menggunakan Vulgata sebagai referensinya. Ia memberikan pemisahan antara
kitab-kitab protokanonik; dan
·
Andreas Bodenstein (Carlstadt), lewat tulisannya yang berjudul De Canonicis Scripturis Libellus (1520),
mengklasifikasikan Apocrypha menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah
kitab-kitab di luar kanon Ibrani
namun bersifat suci (holy), sedangkan bagian kedua adalah kitab-kitab yang juga
di luar kanon Ibrani dan tidak
memiliki wibawa
[10]
.
Sebagai
reaksi dari Gereja Protestan yang menolak dimasukkannya kitab-kitab Apocrypha
ke dalam kanon kitab suci, Gereja Roma Katolik melalui Council of Trentnya memutuskan bahwa kitab-kitab Apocrypha adalah
satu kesatuan dengan kanon kitab suci yang sudah ada. Kemungkinan dasar penerimaan
Gereja Roma Katolik terhadap tulisan-tulisan Apocrypha adalah pandangan mereka
yang menganggap para penulis kitab apocrypha itu sebagai ‘Orang-orang Kudus’.
Gereja
Yunani Orthodox juga menerima tulisan-tulisan Apocrypha sebagai bagian dari
kanon kitab suci. Dasar penerimaan mereka atas tulisan-tulisan Apocrypha
berhubungan dengan Septuaginta. Tujuan dari penulisan Septuaginta adalah agar
masyarakat Ibrani yang berbahasa Yunani (tidak mengenal bahasa Ibrani) tetap
dapat mengakses hukum-hukum Yahudi di Perjanjian Lama. Maka penerimaan Gereja
Yunani Orthodox terhadap Apocrypha sebagai bagian dari kanon sudah berlangsung
sejak pertama kali Septuaginta muncul. Mereka melihat Apocrypha sebagai kitab
yang memiliki otoritas. Mungkin hal inilah yang membuat mereka tidak bisa
meninggalkan Apocrypha dari kitab suci mereka.
Penolakan
Gereja Protestan terhadap Apocrypha sebagai bagian dari kanon didasari pada
penelitian yang dilakukan terutama terhadap Septuaginta (seperti Jerome). Dari
penelitian ini muncul fakta bahwa ada perbedaan antara kitab-kitab dalam
Septuaginta dengan Kitab Suci versi Ibrani. Ada kitab-kitab yang terdapat dalam
Septuaginta namun sama sekali tidak ada dalam kanon Kitab Suci Ibrani. Penemuan
ini mempengaruhi banyak gereja Protestan saat itu untuk mengeluarkan
kitab-kitab Apocrypha dari kitab suci mereka dan kembali kepada bentuk asli
dari kitab suci.
Jadi,
kaum Protestan mengeluarkan kitab-kitab Apocrypha dari kitab suci bukan karena
memandang kitab-kitab tersebut mengandung ajaran-ajaran sesat. Namun penolakan
terhadap status kanon Apocrypha merupakan sebuah bentuk semangat sola
scriptura yang sudah ada, bahkan jauh sebelum Martin Luther.
- Apa
signifikansi dari Apocrypha?
Tidak
dapat memungkiri fakta bahwa Alkitab lebih banyak diam mengenai masa-masa antar
perjanjian. Alkitab tidak memberikan banyak informasi mengenai masa-masa ini.
Padahal masa-masa ini merupakan masa-masa yang penting untuk kedatangan Yesus
(Injil) bagi bangsa Yahudi dan seluruh dunia.
Di
dalam empat abad masa peralihan perjanjian (Intertestament) ini, seringkali diimpulkan
bahwa Allah tidak berbicara kepada umatNya sama sekali. Memang setelah
Maleakhi, alkitab tidak mencatat nabi-nabi yang muncul sebagai penyambung lidah
Allah dengan umatNya, namun bukan berarti Allah tidak berbuat apa-apa dalam
masa ini. Bukan berarti Allah “membisu” pada masa-masa ini.
Fakta-fakta
sejarah sendiri menunjukkan bahwa empat abad masa peralihan perjanjian ini
bukanlah masa-masa yang kosong. Namun pada masa-masa inilah Allah tetap ‘beraksi’.
Apocrypha
adalah saksi dari iman bangsa Yahudi dalam masa intertestamen, masa dimana
dunia politik dan budaya sedang bergejolak hebat. Dan pada masa-masa inilah
iman mereka benar-benar ditantang untuk tetap setia kepada Allah YAHWEH. Secara
politik, bangsa Yahudi ada di bawah kekuasaan Romawi yang begitu ketat terhadap
penyembahan terhadap kaisar. Dan secara budaya, bagaimana kebudayaan Hellenisme
saat itu telah masuk dan bahkan bercampur dengan kebudayaan Yahudi sendiri.
Melihat
angka tahun penulisan kitab-kitab Apocrypha, maka kitab-kitab ini sudah pasti
mencerminkan sedikit banyak latar belakang kondisi bangsa Yahudi pada saat itu.
Dan disinilah keunggulan kitab-kitab Apocrypha, memberikan gambaran yang tidak
diberikan oleh alkitab.
Melihat
fakta ini, adalah bijaksana untuk tidak begitu saja membuang kitab-kitab
Apocrypha. Memang kitab-kitab tersebut tidak dapat diakui sebagai bagian dari
kanon kitab suci. Namun kitab-kitab ini, tidak bisa dipungkiri, telah
memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kekristenan terutama dalam
masa-masa intertestamen. Kitab-kitab apocrypha memang tidak memiliki otoritas
untuk dijadikan referensi perumusan doktrin. Namun kitab-kitab Apocrypha adalah
saksi dari kesetiaan dan pengorbanan bangsa Yahudi yang hidup pada masa intertestamen.
Daftar Pustaka
deSilva, David A. Introducing the Apocrypha. Michigan:
Grand Rapids, 2002.
Filson, Floyd V. Which Books Belong In The Bible?. Philadelphia:
The Westminster Press.
Harrington, Daniel J. Invitation to the Apocrypha. Michigan:
Grand Rapids, 1999.
Leks, Stefan. Inspirasi
dan Kanon Kitab Suci. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Metzger, Bruce M. The Oxford
Annotated Apocrypha.New York: Oxford University
Press, 1977.
[5]
“Vulgate”, Microsoft ® Encarta ® Reference Library 2005. © 1993-2004 Microsoft
Corporation. All rights reserved.
gRaCe
- Novitrip's blog
- 10548 reads