Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Orangnya? Atau Isi Kotbahnya?

yujaya27's picture

Di dalam pembicaraan singkat dengan seorang teman setelah persekutuan mengenai kotbah yang disampaikan, saya bilang harus dibedakan pembicara tamu dengan pembicara tetap dari dalam gereja itu sendiri, dalam hal ini bukan maksud saya membuat diskriminasi, tetapi mau tidak mau kita tidak bisa menyamaratakan pembicara tamu dengan pembicara tetap, saya jadi ingat seorang hamba Tuhan pernah mengucapkan kalimat ini: “hamba Tuhan (anak manusia) lebih dihargai di gereja (tempat) lain daripada di gereja (tempat) asalnya”, saya rasa ada benarnya juga walaupun tidak 100% seperti itu. Ada beberapa hal/alasan kita tidak bisa menyamaratakan keduanya

1. Style menyampaikan kotbah pembicara tetap yang sudah dikenal, sedangkan pembicara tamu baru pertama kali, biasanya segala sesuatu yang baru pertama kali, rasanya lebih wah, kepuasan akan menurun setelah merasakan beberapa kali (hukum ekonomi?)

2. Pembicara tamu bebas dari asosiasi ataupun persepsi dari pendengar/jemaat, tidak ada beban dalam hal ini, sedangkan untuk pembicara tetap, jemaat sudah melihat, mengenal lebih dekat, sehingga bisa saja sudah ada asosiasi dan persepsi di dalam jemaat, di sini akhirnya akan timbul istilah menjadi batu sandungan, apa yang disampaikan di mimbar, tidak sama dengan perbuatannya.

3. Pembicara tetap yang sudah melayani lama, bisa mengalami kekeringan, kehabisan ide atau bahan, keadaan tersebut menjadi lebih buruk karena jemaat menuntut suatu inovasi/perubahan, makanya tidak heran ada Sabathical leave, sebagai sarana untuk refreshing. Pembicara tamu lebih mudah dalam menyiapkan materi, bisa me-recycle materi yang disampaikan di tempat lain dengan modifikasi seperlunya.

Gereja-gereja tertentu memberikan aturan ketat kriteria hamba Tuhan yang bisa menyampaikan kotbah (Firman Tuhan) di mimbar, haruslah seorang pendeta, atau paling tidak seorang hamba Tuhan yang senior, sebelumnya saya setuju mimbar sebagai tempat menyampaikan kotbah haruslah dijaga, tidak bisa sembarangan orang, tetapi jika hanya berdasarkan kriteria harus pendeta atau yang senior, sepertinya terlalu sempit, dan tidak relevan lagi dengan zaman sekarang, jabatan pendeta atau senioritas tidak menjamin 100% baik atau buruknya kotbah yang disampaikan. Di samping kriteria jabatan pendeta dan senioritas, kriteria lainnya adalah karakter dan hidup orang tersebut, di sini pembicara dalam akan mempunyai beban lebih berat, dibandingkan menjadi pembicara luar di tempat lain.

Frasa "Batu Sandungan" di atas, biasanya selalu diartikan secara negatif, padahal tidak selalu begitu, saya jadi teringat sebuah tulisan PlainBread di Sabda Space ini, untuk jelasnya silahkan lihat tulisan dan komentarnya di http://www.sabdaspace.org/yesus_adalah_batu_sandungan . Jadi frasa “batu Sandungan” tidak selalu berkonotasi negatif, Tuhan Yesus tidak bersalah menjadi batu sandungan bagi orang-orang Farisi, ahli-ahli taurat dll, karena orang-orang tersebut merasa “melek melihat”, padahal buta dan tersandung sendiri karena kebebalan mereka.

Dari sisi pendengar, jikalau seorang pembicara menyampaikan Firman Tuhan yang tidak sesuai dengan perbuatannya, sebagai pendengar jangan kita langsung bilang pembicara tersebut menjadi batu sandungan, ada baiknya kita lihat diri sendiri terlebih dulu, apakah benar-benar sudah “melek/melihat”, supaya tidak tersandung sendiri seperti orang-orang Farisi, jadi fokkuskan kepada isi kotbah yang disampaikan bukan kepada orangnya.

Dari sisi pembicara, karena saya seorang pendengar awam, bukan pembicara, apalagi pembicara professional, maka bagi saya sederhana saja

• Seorang pembicara harusnya menjiwai kotbah yang disampaikan, message yang disampaikan sesuai dengan iman yang dipegangnya, adalah sangat aneh jika berkotbah tentang Predestinasi, tetapi dia memegang Free Will, atau yang lebih parah lagi berkotbah tentang Yesus, Anak Allah, Juru Selamat, tetapi dia mempunyai pemahaman Yesus hanyalah manusia biasa etc.

• Pesan lebih penting dari cara penyampaian. Ada pembicara yang menyampaikan kotbah bagus sekali, banyak leluconnya, sangat menghibur, tetapi tidak ada pesan pengajarannya, ataupun jika ada pesannya, tidak lebih sama persis dengan yang ditulis di dalam Alkitab, ini seperti kita nonton film, kita sudah tahu alur cerita dan arah setiap adegannya sampai ke bagian endingnya. Ada juga pembicara yang penyampaiannya jelek, kaku dan serius, tetapi isi pesan pengajarannya jelas, dan bisa dirasakan dia menggali dan merenungkan juga untuk dirinya sendiri, saya lebih suka yang ini.

• Semakin terkenal ayat yang dibaca untuk sebuah kotbah, maka akan semakin sulit untuk menyampaikannya, karena ayat tersebut sudah sangat populer, hampir setiap orang tahu maknanya, bahkan anak-anak di sekolah minggupun sudah tahu, jadi semakin perlu digali dan dicari dari perspektif baru. Contohnya kotbah Natal, Paskah, perumpamaan anak yang hilang etc. Hal ini juga sering dialami oleh para guru sekolah minggu di dalam menyampaikan pesan/cerita kepada anak-anak, ahhh… jadi ingat pembinaan sekolah minggu beberapa tahun yang lalu ada membahas hal ini juga :)

Jadi gimana... Lihat orangnya? Atau isi kotbahnya?

 

Singapore 24 November 2015

guestx's picture

lihat relevansinya

tak jadi masalah mendengarkan satu ayat atau perikop disampaikan belasan atau puluhan kali. pengkhotbah yang baik akan bisa mengaitkan ayat/perikop dengan isu yang relevan bagi para pendengarnya, membukakan pemahaman baru dan menggugah motivasi untuk berkomitmen mengikut Firman Tuhan berdasarkan ayat/perikop tersebut. bukan sekedar menjelas-jelaskan arti kata dan latar belakang ayat tersebut - itu memang akan membosankan.

lihat orang atau isi khotbah ?

kalau tak kenal orangnya, ya konsentrasilah pada isi khotbah.

kalau kenal orangnya dan tahu bahwa dia tak konsisten dengan apa yang disammpaikannya, saya pilih meninggalkan atau "menutup" kuping (demi sopan santun). mereka yang mengajar Firman Tuhan tapi nyata-nyata tak hidup sesuai dengan ajaran yang disampaikannya, sebenarnya sedang menghina Firman Tuhan dan mereka yang mendengarkannya.

__________________

------- XXX -------

yujaya27's picture

@Guestx, tq komennya

Setuju orang dan isi kotbah harus konsisten, hanya sulitnya setiap kita ini manusia berdosa, masih hidup bergumul dalam kelemahan kita, hamba Tuhan sekaliber apapun (termasuk rasul Paulus) pasti ada kelemahannya, hanya masalahnya diketahui atau tidak.