Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Umar Landuk
Jembatan itu tidak pernah sepi. Bila senja tiba, penduduk pada berdatangan. Orang yang baru datang ke kota ini mengira penduduk berkumpul karena ingin melihat kota dari tempat paling sempurna, atau melihat matahari lenyap di ujung sungai. Salah! Mereka melakukannya karena hal lain dan hanya penduduk kota ini yang tahu alasannya.
Kalau orang memperhatikan, muda-muda juga mulai menggunakan tempat itu untuk bermesraan. Bila mereka berpelukan sampai jungkir-balik pun, tidak ada yang memperhatikannya. Kecuali pendatang tentunya. Tetapi bila sudah mengetahui cerita tentang jembatan itu, kepala mereka juga pasti mendengok ke atas. Seolah-olah di puncak pelengkung ada yang ingin mereka lihat.
***
Kisah ini dimulai dengan seorang bupati yang murka. Ia memarahi seorang guru yang sudah tua. Ia membentak guru yang sudah bisa berlari ketika ia sendiri masih memberaki pantatnya. Jabatan politik memang tidak mengenal umur. Bila presiden bisa memarahi bupati tua yang ketiduran, maka bupati boleh memarahi guru yang sudah bau tanah.
Ia marah karena lelaki tua itu membuat malu semua orang. Lelaki tua itu membela diri, berkata, "Bila ada tiga puluh murid dalam satu kelas, dan hanya satu yang lulus, belum tentu gurunya bodoh; karena yang satu orang itu. Tetapi bila dalam satu kelas ada tiga puluh murid dan semuanya tidak lulus. Hanya ada dua kemungkinan, semua murid bodoh atau pusat yang tolol."
Bupati tambah marah, "Mengapa kau larang guru membantu siswa?"
Jadi kau sudah tahu? batin lelaki tua itu.
Tetapi kepada Bupati ia berkata, "Untuk apa mereka melakukannya? Bahkan mereka sendiri ada yang tidak bisa menjawab soal itu."
"Mengapa tidak memberi tahu kalau mengalami kesulitan?"
Lelaki tua itu diam, membuat Bupati itu jengkel.
"Setahu saya, tidak ada kepala sekolah yang mau sekolahnya masuk televisi karena tingkat kelulusannya rendah," katanya, "Itu bukan saja memalukan, juga mempengaruhi karir."
"Karir tahi kucing," batinnya. "Tidak ada bupati yang mau kabupatennya menjadi kabupaten dengan tingkat kelulusan terendah. Bukan hanya memalukan, tetapi mempengaruhi pemilihan."
Tetapi kepada Bupati itu ia berkata, "Bapak mau tahu keadaan kami? Tiga puluh tahun lebih sudah saya menjadi guru. Kurikulum datang silih berganti, tetapi kami tetap melakukan hal yang sama. Dulu ada pelajaran Ketrampilan Agraria, anak-anak kami suruh membawa parang untuk memerangi alang-alang. Sekarang ada Muatan Lokal. Masalah kami tetap lokal, bagaimana memerangi alang-alang. Dulu kami punya laboratorium. Namanya Lab IPA. Setelah satu tahun tikus menguasainya. Padahal seharusnya tikus takut. Karena disitulah murid-murid seharusnya belajar dengan melihat isi perut mereka. Sekarang kami punya Lab Komputer, tetapi isinya tidak pernah bisa kami hidupkan di jam sekolah karena listrik hanya hidup di malam hari."
Bupati diam saja. Menyusun bantahan. Lelaki tua di depannya masih belum puas. "Bapak mau tahu tentang guru yang datang ke sekolah kami? Hampir setiap tahun kami mendapat kiriman guru yang memilih kampung kami sebagai batu loncatan. Begitu menjadi PNS mereka mengajukan surat pindah dengan berbagai alasan. Bukan alasan itu yang membuat mereka bisa pindah, tetapi uang yang memindahkan mereka. Apa yang kemudian tersisa? Hanyalah beberapa guru yang menjadi rajin menulis di papan tulis dan murid yang rajin memindahkan isi papan tulis ke buku tulisnya. Itulah standar nasional bagi kami."
"Saya tidak tahu apa maumu," jawab Bupati. "Saya tidak mau kabupaten ini mendapat malu. Ujian susulan nanti kami yang akan mengurusnya."
Lelaki tua itu sudah membaca pernyataan Bupati di koran: Saya akan segera berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait. Saya yakin, kami bisa memaksimalkan angka kelulusan saat ujian susulan nanti.
"Kalau saya menolak?"
"Terserah!" jawabnya. "Saya bisa mengurusnya."
Lelaki tua itu tahu, jika tidak ada yang mendiktekan jawaban, berarti ada yang tangannya pegal menghapus dan membuat bulatan baru di lembar jawaban tanpa bisa ia halangi.
***
Kabar menyebar cepat. Ada orang mau meloncat dari puncak Jembatan Lengkung. Penduduk berdatangan. Mereka ingin menonton orang mau bunuh diri. Itu belum pernah ada yang melakukan sebelumnya.
Di tengah sengatan matahari, seluruh kota bergerak ke satu titik, maskot kota.
Seseorang naik menyusul lelaki tua yang sudah duduk bersila di puncak pelengkung jembatan. Ia bukan negosiator. Ada orang yang menyuruhnya naik untuk membujuk lelaki tua di atas supaya mau turun.
"Nama saya Bajoi," katanya, "boleh saya tahu nama Bapak?"
"Akan saya katakan kalau sudah ada orang televisi ke sini," jawabnya.
Lelaki tua itu pernah melihatnya di televisi. Pemimpin pembajak berkata, "Kirim reporter atau satu persatu penumpang pesawat ini saya tembak."
Dua puluh menit, dua orang lagi ikut naik ke puncak Jembatan Lengkung. Satu orang membawa mikrofon satunya menyusul membawa kamera. Keduanya dari stasiun televisi yang membanggakan kecepatannya meliput bencana. Stasiun yang bersemboyan, "Di sini bencana, di sana bencana, di mana pun bencana, kami yang pertama."
Dua meter dari lelaki tua itu, orang yang memegang mikrofon berbalik. Setelah juru kameranya siap, ia berkata, "Pemirsa, sekarang saya berada di puncak Jembatan Lengkung, maskot kota ini. Saat ini saya bersama pria tak dikenal yang mau bunuh diri."
Setelah menelan ludah, ia melanjutkan, "Pagi ini, kota bersukacita. Penduduknya boleh berbangga menjadi provinsi dengan tingkat pelanggaran nol persen. Ujian Nasional tanpa catatan pelanggaran. Presiden yang biasanya hanya menelpon peraih nilai tertinggi, sekarang berniat menelpon seluruh rakyat. Beliau sangat terkesan. Daerah yang dulu terisolasi, daerah yang dulu kekayaannya dikuras tanpa mempedulikan penduduknya, sekarang bangkit, bahkan masuk sepuluh besar."
Kembali ia menelan ludah, "Dalam rangka merayakannya, kota ini mengadakan serangkaian kegiatan bertemakan 'Kami bisa, kalian pun bisa'. Puncak perayaan jatuh pada hari ini, yaitu ucapan selamat dari presiden melalui satelit yang disiarkan secara langsung sehingga seluruh penduduk provinsi ini bisa mendengarnya dari televisi masing-masing. Namun, saat seluruh rakyat menunggu teleconference gubernur dengan presiden, seorang pria tidak dikenal malah memanjat ke puncak Jembatan Lengkung."
Ia berbalik, membelakangi juru kamera yang satu tangannya memegang kamera dan satu tangan memegang tangga pijakan di atas balok pelengkung jembatan.
"Selamat siang, nama Bapak siapa?"
"Umar Landuk."
Dengan tangan yang masih memegang erat baja tempat berpijakan, ia kembali menghadap kamera. Berkata, "Pemirsa, ternyata bapak ini bernama Umar Landuk."
Kepalanya kembali ke depan, "Apakah yang menjadi alasan Bapak mau bunuh diri?"
"Siapa yang mau bunuh diri?"
"Lho, ngapain Bapak di sini?"
"Kalian mau tahu? Seperti katamu, penduduk bersukacita karena sepuluh besar ujian nasional itu. Katamu, kami telah bangkit dari keterbelakangan, telah mengejar ketinggalan. Kalian mau tahu yang sebenarnya terjadi di hulu sungai? Sudah berapa tahunkah ujian nasional? Selama itu, saya harus mencari guru yang bisa menjawab soal, supaya tidak dipermalukan. Tahun ini tidak saya lakukan. Dan bupati marah-marah, mengatakan saya mempermalukannya, mempermalukan semua orang."
Reporter itu sudah menarik mikrofonnya ketika lelaki tua itu berkata, "Sekaranglah saya mempermalukan semua orang. Tetapi biarlah semua orang tahu."
"Pemirsa, kita kembali ke studio."
Drama itupun berakhir. Lelaki tua itu, Umar Landuk turun. Di bawah, polisi sudah menunggunya. Cerita ini belum berakhir. Orang-orang televisi itu seperti segerombolan anjing pilek yang tidak bisa mencium. Anjing yang mencari tulang dengan telinganya. Telinga mereka selalu tegak supaya bisa mendengar kucing yang sedang menjilati tulang. Lalu mereka menggonggong sekeras-kerasnya sehingga kucing itu lari ketakutan. Setelah kucingnya pergi, mereka saling menggonggong, memperebutkan tulang bekas si kucing. Tahu gonggongan anjing? Wawancara dengan para pengamat pendidikan; wawancara dengan siswa yang yakin tidak bisa menjawab soal, tetapi bisa merasakan tangan Tuhan; wawancara dengan kepala sekolah yang kepalanya diburamkan.
Gongongan anjing itu berlangsung beberapa hari. Tiada hari tanpa cerita kecurangan ujian nasional yang dilakukan dengan sistematis. Tiba-tiba seorang pejabat tinggi kentut dalam sebuah acara, lalu televisi isinya hanya pembicaraan tentang layak-tidaknya orang yang tidak bisa mengontrol kentutnya jadi pejabat negara. Cerita kentut itu berhasil menenggelamkan kisah tentang Umar Landuk.
Semua orang melupakannya.
***
Provinsi merayakan hari jadinya. Orang kantoran dan anak sekolahan menghadiri apel di halaman Kantor Gubernur. Ada desas-desus, ada orang gila duduk di puncak Jembatan Lengkung.
Siapa?
Umar Landuk.
Ah biasa.
Nanti ia turun sendiri.
Cuma cari perhatian.
Biar masuk televisi lagi.
Tiga hari kemudian, bau bangkai begitu menyengat di atas Jembatan Lengkung. Tidak ada yang terlalu memperhatikan. Semua mengira seseorang melempar bangkai tetapi bangkai bukannya terlempar ke sungai tetapi tersangkut salah di salah satu baja penahan jembatan atau di pipa saluran air. Sumber bau baru ditemukan sehari kemudian, ketika cairan menjijikkan mulai menetes dari puncak pelengkung jembatan. Orang mulai memperhatikan puncak jembatan dari dekat pom bensin. Dari situ puncak jembatan begitu jelas, pelengkungnya yang berbentuk busur tampak seperti pelangi. Di puncak busur itulah nampak seonggok benda.
Ketika polisi naik, mereka menemukan tubuh Umar Landuk terbaring di sana. Angin yang tidak bertiup keras membuat mayatnya tidak berguling.
Sejak hari itu, orang mulai berkumpul di Jembatan Lengkung. Begitu senja tiba, tanpa ada yang menyuruh, mereka berdatangan ke jembatan. Seolah-olah memperhatikan pemandangan dari atas jembatan atau melihat matahari terbenam. Apakah itu karena tidak ada tempat hiburan lain selain di atas jembatan yang menjadi maskot kota? Bukan! Itu karena mereka percaya, kalau ada orang mati tidak wajar, apalagi matinya seperti cara Umar Landuk mati, tempatnya mati akan menjadi tempat berhantu. Orang-orang itu tidak ingin jembatan mereka, Jembatan Lengkung, maskot kota, menjadi jembatan angker.
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 4543 reads
@AP: dilematis...
"...Hampir setiap tahun kami mendapat kiriman guru yang memilih kampung kami sebagai batu loncatan. Begitu menjadi PNS mereka mengajukan surat pindah dengan berbagai alasan. Bukan alasan itu yang membuat mereka bisa pindah, tetapi uang yang memindahkan mereka..."
Dilematis memang bro AP. Sekian lama mengajar, tidak kunjung diangkat jadi pegawai tetap. Honor minim. Padahal waktu dan tenaga terkuras. Eh, sekarang malah Akta IV Mengajar sudah tidak berlaku lagi. Syukur-syukur kalau masih bisa tembus PNS. Gagal? Coba terus. Tapi kalau sudah "tutup usia"? Mau tidak mau, supaya periuk tetap mengepul, apa pun asal halal dikerjakan..
"..Keduanya dari stasiun televisi yang membanggakan kecepatannya meliput bencana. Stasiun yang bersemboyan, "Di sini bencana, di sana bencana, di mana pun bencana, kami yang pertama.."
Sama bro AP. Dilematis juga. Beberapa waktu lalu pas bencana lahar dingin Merapi, saya dan beberapa teman fotografer freelance meluncur ke lokasi. Ada satu keluarga, yang terkena musibah, yang saya foto (setelah permisi lebih dahulu tentunya). Saya sempat dikerubungi, kirain mau digebuk. Orang lagi sengsara kok situ malah jeprat-jepret. Setelah nego-nego sebentar, akhirnya saya diperbolehkan juga.Terus-terang, foto-foto saya memang niatnya for sale. Tapi satu wakil keluarga itu bilang, fotonya mau diminta, untuk diemail ke keluarganya nun jauh di sana, supaya mereka tahu kondisi sanaknya yang sedang remuk redam tertimpa bencana. Bingung saya. Sempat mau bilang, untuk ukuran segini sekian Rupiah, lebih besar lagi sekian, full size sekian. Tapi sampai saya memberikan file yang dimaksud, tak pernah sampai niat saya untuk mengatakannya. Nggak sampai hati juga.
Saya paham, stasiun televisi mana yang bro AP maksudkan. Di satu sisi, bagaimana kita tahu perkembangan berita (terutama bencana) yang ada di sekitar kita, kalau tidak karena jasa mereka. Tapi kok kesannya jadi agak kurang sensitif dengan penderitaan orang lain ya? Terlalu diekspos (imho lho ya). Mana tampaknya jadi komersil banget lagi. Tapi nek ora komersil yo piye?
Nice article, bro AP...
(...shema'an qoli, adonai...)
@AP: jembatan
pak guru, jembatan, kematian dan bupati....
Mantafff
".... ...."
Maksudnya apa??
Salam Ap,
Ap mau tanya neh ... maksudnya masyarakat ngumpul begitu senja datang apa???
Supaya hantunya gk berani gentayangan ya?? .... :p
Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...
@ebed_adonai:Tentang yang
@ebed_adonai:
Tentang yang pertama, itu memang dilematis. Saya gak berani banyak komentar.
Tentang stasiun televisi yang itu, saya sudah menghapus channel itu dari televisi di rumah. Saya merasa lebih nyaman. Ternyata begitu caranya. Kalau gak suka, hapus saja.
@Miyabi:
Thanks.
Ngomong-ngomong saya menyukai blog kamu yang bercerita tentang "Bulan di Atas Kuburan"-nya Sitor Situmorang. Mengetahui tentang puisi itu dari buku "Proses Kreatif"-nya Pamusuk Eneste. Sebenarnya baru dengar nama Sitor Sitomorang itu dari buku itu juga. Maklum, sekolahnya di STM, paling sering buat alasan supaya tidak masuk pelajaran bahasa Indonesia. Dan tentang puisi, membaca puisi di depan kelas menjadi momok menakutkan bagiku ketika SD dan SMP.
@ely:
Hallo ely,
Pertanyaan yang sulit dijawab, karena ini hanya fiksi. Di jembatan itu orang berkumpul untuk rekreasi saja. Setiap sore tempat itu menjadi seperti pasar dan di malam hari, lampu berwarna-warni dinyalakan sehingga tempat itu menjadi penuh warna.
Waktu ke sana, ketika memandang kota dari tempat ini, tiba-tiba ada ide. Jadilah cerita ini.
Jadi, [dalam cerita ini] orang-orang berkumpul itu supaya hantunya Umar Landuk tidak gentayangan. [Dalam kenyataan] orang-orang berkumpul di jembatan itu karena kota memang kelihatan dari situ dan jembatan ini memang cukup indah. Sebuah jembatan yang dari jauh tampak seperti pelangi karena "pelengkung baja"-nya yang dicat warna merah.
fiksi
fiksi tradisi ... hehehehe :)
Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...
Nice writing style
You've a great talent in writing, bro.