Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Saya Setuju dengan MUI
Menjelang Natal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat pernyataan sehubungan dengan simbol-simbol Natal, MUI menilai penampilan simbol-simbol Nataldi pusat perbelanjaan, hotel dan tempat rekreasi sudah berlebihan. Yang perlu dipertanyakan adalah ukuran untuk menilai bahwa simbol itu sudah berlebihan.
''Demi menjaga perasaan umat Islam dan umat lainnya, serta kerukunan antarumat beragama, maka MUI mengingatkan kepada para pengelola mal, hotel, tempat rekreasi, dan tempat-tempat bisnis lainnya agar arif dan peka menjaga perasaan umat beragama," kata Ketua MUI, KH Muhyiddin Junaidi, dalam siaran pers, Selasa (21/12). Berdasarkan pernyataan ini, maka ukuran yang dipakai adalah "perasaan." Jika sudah menyangkut "perasaan", maka persoalannya masuk ke wilayah abu-abu. Ada orang yang perasaannya mudah tersentuh atau istilah ABG mudah "sensi"; tapi ada orang perasaannya susah untuk tersentuh. Tidak ada ukuran yang pasti.
Meski begitu, dalam hidup bermasyarakat memang perlu tepo-sliro atau tenggang rasa. Saya setuju sekali dalam hal ini. Prinsip tenggang rasa ini didasarkan pada aturan emas: "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka." Ini adalah prinsip timbal balik. Jika saya ingin dihormati, maka saya harus memulai menghormati orang lain. Jika ingin supaya orang lain tidak memasang simbol berlebihan pada hari raya agamanya, maka mulailah dengan memberi contoh tidak memasang simbol berlebihan pada hari rayanya.
MUI mengingatkan kepada pengelola mal, hotel, tempat rekreasi, dan tempat-tempat bisnis lainnya agar tidak memaksa karyawannya yang beragama Islam untuk memakai simbol-simbol dan ritual Natal. Dalam hal ini saya setuju seratus persen. Setiap orang berhak menolak untuk tidak memakai simbol atau pakaian jika itu tidak sesuai dengan keyakinannya. Tidak ada orang yang boleh memaksa orang lain untuk mengenakan pakaian atau simbol tertentu yang bertentangan dengan keyakinannya. Pengelola perbelanjaan tidak boleh memaksa karyawan jika ada yang menolak memakai atribut yang bertentangan dengan nurani dan keyakinannya.
Namun prinsip ini juga berlaku umum. Tidak hanya berlaku pada pusat perbelanjaan. Saya mendengar kabar bahwa ada wilayah-wilayah tertentu yang membuat perda berbasis agama. Salah satu aturannya, adalah mewajibkan siswa putri untuk berpakaian sesuai agama tertentu, yang berbeda dengan agama yang dianutnya. Saya percata bahwa petinggi MUI adalah orang-orang yang memiliki keluhuran budi, khususnya dalam menunjunjung keadilan. Jika karyawan di mal tidak boleh dipaksa mengenakan atribut yang bertentangan dengan keyakinannya, maka MUI juga tidak mendukung pemaksaan pakaian kepada siswa putri ini.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin memberitahukan bahwa ada simbol-simbol Natal yang bukan simbol kekristenan. Ada beberapa hiasan, atribut dan simbol Natal yang diciptakan oleh pebisnis untuk kepentingan pemasaran. Sebagai contoh Sinterklas atau Santa Clause itu sebenarnya lebih banyak hasil rekayasa dari kaum marketing. Simbol seperti pohon natal, bunga croisant, salju, rusa kutub, kaos kaki, dll sebenarnya lebih dekat sebagai budaya Barat dibandingkan sebagai simbol kekristenan. Yang menjadi simbol kekristenan adalah salib, merpati, ikan (ichtus).
Ini adalah simbol agama KristenJadi kalau ada karyawan disuruh memakai baju atau topi Santa, itu sebenarnya karena pengaruh Barat, bukan murni dari agama Kristen.
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 5305 reads
kesan yang salah
dua hari yang lalu gue lunch di plasa senayan dengan seorang teman muslim.
plasa senayan, hari2 ini, sangat penuh dengan hiasan natal. bahkan di main hall nya, seperti juga tahun2 sebelumnya, dipasang suatu panggung bertema natal. panggung ini biasanya dipakai sebagai ajang foto-memfoto atau kalau lagi kosong, ada live music bertema lagu2 natal.
tema tahun ini kayaknya adalah "natal ala pedesaan". seperti lazimnya panggung natal, di tengah panggung ada kandang domba dan segala pernih bayi Yesus. yang menarik, unsur pedesaan nya digambarkan secara indonesia banget.... kandang domba tadi dikelilingi oleh sawah lengkap dengan padi (atau gandum?).
teman muslim gue sangat suka dengan dekorasi natal ini. cuma dia heran kenapa temanya pedesaan begitu. dia bertanya bukannya kami kaum kristen sedang merayakan kelahiran Tuhan kami, lha koq temanya malah pedesaan yang gak keren? juga kenapa ada kandang domba segala?
dia makin tertarik untuk bertanya2 pas gue bilang bahwa sebenernya, untuk tema natal, makin jorok makin bagus. makin melarat makin pas dengan situasi natal.
"kok bisa?", ujarnya mendengar jawaban gue. lalu ngobrol lah kita.
lucu yah... saking mewah bin ramainya kita merayakan natal, orang2 di luar kristen seperti temen gue ini jadi menangkap kesan yang salah.
Yesus lahir di kandang domba, dan kandangnya pun bukan kandang yang dipersiapkan untuk kelahiran seorang bayi... ditambah saat itu orang tua Yesus lagi lari dikejer2 tentara... situasinya pasti amburadul bin ancur... bagai langit dan bumi dengan cara kita merayakan natal.
inilah yang membuat temen muslim gue salah mengerti.
@pak wawan, kayaknya sudah melenceng jauh ya
pak wawan, kalo saya amati sih memang orang kristen banyak yang melenceng jauh dari inti sebenarnya natal, yaitu Kelahiran Yesus Kristus, cuma kadangkala hingar bingar yang tidak terkait seringkali menjadi yang utama muncul, seperti santaclaus, piet, dongeng2, dll.
mungkin sudah seharusnya orang kristen kembali ke hal2 utama yaitu introspeksi diri ttg makna natal (mensyukuri kedatangan juruselamat,dll).
tapi memang arus jaman terlalu memaksakan untuk menghilangkan makna natal itu dan orang-orang sekarang terlalu mengikuti arus tersebut.
ini pandangan dari saya, salam kenal sebelumnya