Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Masa Kecil, Masa Bahagia
Waktuku kecil hidup senang sekali
Mama plihara baik-baik …
Demikian potongan sebuah syair lagu, yang aku tidak tahu pasti apa judul dan siapa pengarangnya, tapi potongan syair lagu yang pernah aku dengar dan aku nyanyikan sewaktu kecil ini, sangat cocok untuk menggambarkan masa kecilku. Kebahagiaan dan perhatian mama mengantarkanku dari pengalaman satu ke pengalaman lainnya.
Waktu aku kecil, keluarga kami tinggal di tengah-tengah hutan rimba, di sebuah camp perusahaan kayu, karena bapak bekerja di perusahaan tersebut. Pekerjaan sebagai buruh tepatnya. Bukan sesuatu yang sulit atau susah baginya, karena bapak sangat menikmati pekerjaannya. Terbukti hingga sekarang kenangan-kenangan tentang camp tersebut, selalu terbawa dalam cerita-ceritanya yang membuat setiap kami selalu mengingat kesan ketika mendengarnya.
Aku sendiri memiliki kesan tersendiri tentang camp itu. Fasilitas yang cukup bagi seorang pekerja buruh di tempat itu, membuatku bisa menikmati masa-masa kecilku dengan bahagia, bersama dengan teman-teman sepermainanku.
Di tempat itu, orang tua ku tidak perlu capek-capek memikirkan untuk membayar sewa rumah, listrik dan air, karena sudah disediakan oleh perusahaan. Tidak perlu berpikir bagaimana harus membeli jika tidak memiliki uang, karena ada kantin perusahaan yang melayani bon kapan saja. Bapak juga tidak perlu memikirkan bagaimana harus berangkat dan pulang kerja, karena ada kendaraan antar jemput. Dan lagi tidak berpikir panjang tentang pendidikanku, karna meski hidup di tengah-tengah hutan rimba, perusahaan sudah menyediakan sekolah untuk anak-anak karyawan dari tingkat TK sampai SMP. Akupun tidak perlu bingung untuk mencari tempat bermain, karena halaman luas itu sepertinya memang sudah disiapkan untuk tempat bermain kami.
Halaman berkerikil luas itu, tidak hanya ada pada dataran rendah, tapi juga dataran-dataran tinggi, beberapa pohon pinus dan akasia yang berbaris rapi, membuat pemandangan terlihat indah. Dan yang tak kalah penting bagiku adalah aku tidak perlu menangis karena harus kangen sama bapak, karena bapak berangkat kerja pagi dan pulang sore hari, dan kadang-kadang siang bila pekerjaan sudah diselesaikan. Jadi sangat banyak waktuku untuk bisa bersama bapak.
Berbicara tentang bapak, sampai saat ini, pendapatku belum berubah. Bapak adalah seorang pekerja keras, tidak terlalu banyak bicara dan sangat suka menyantap makanan khususnya daging, sehingga dulu ia juga merangkap sebagai seorang pemburu. Selain berkebun, itulah salah satu hobinya, berburu mencari binatang di hutan. Aku bangga kepadanya, sekalipun sesekali aku juga kadang kesal dibuatnya, tapi itulah bapakku, satu-satunya bapak yang aku miliki dan aku sangat sayang padanya.
Satu kalimat dari bapak, yang aku pikir merupakan salah satu faktor mengapa aku bisa menyelsaikan sekolahku adalah “sekolahlah, miliki cita-cita, usahakan itu, bapak juga akan terus berusaha semampu bapak, sampai kalian dapat mencapainya”, kalimat sederhana inilah yang menjadi motivasiku, untuk terus berusaha menyelesaikan setiap tingkat sekolahku. Aku termotivasi untuk terus melanjutkan sekolahku dan berjanji tidak ingin menyia-nyiakan jerih payah bapak.
Jadi, bapak bisa dikatakan motivator pertamaku. Lebih tepatnya, Tuhan telah memakai bapak untuk menjadi motivator pertamaku.
***
Masa kecilku terasa lebih lengkap dengan kehadiran seorang sahabat kecil. Seorang gadis cilik yang selalu setia merangkai saat-saat indah bersamaku. Mainan kami waktu itu tidak seperti mainan anak-anak jaman sekarang, yang mainannya serba dibeli. Dahulu aku dan sahabat kecilku sangat sering bermain tanah liat, membentuknya menjadi berbagai jenis benda, mengeringkannya di terik matahari, dan menjadikannya koleksi dan kami simpan di bawah balok-balok kolong rumah. Rumah panggung memungkinkan kami menyimpan mainan kami dan kami bisa berlindung di kolong rumah jika panas terik. Terkadang juga kami sering bermain lompat karet, atau layang-layang yang juga kami buat sendiri.
Ketika bermain layang-layang, seringkali benang layanganku terputus oleh angin kencang, sehingga layang-layangku terbang bebas di langit. Kalau sudah seperti itu aku hanya bisa melihat layang-layang itu hingga mengecil dan tak terlihat lagi dilangit. Saat itu yang ada dalam benakku adalah layang-layangku akan sampai di surga dan akan di mainkan oleh malaikat-malaikat. Aku sangat suka membayangkan layang-layang buatanku, dimainkan oleh malaikat-malaikat di surga, mereka tentunya juga akan melihatku sedang memandang ke atas, dan suatu saat akan berterimakasih kepadaku karena sudah memberikan mereka layang-layang.
Satu hal lagi yang paling aku senangi waktu itu, sebuah tempat yang sangat spesial. Meski mama seringkali mencubitku kalau aku berlama-lama di sana, aku tetap tidak akan merasa rugi membayarnya, sekalipun dengan 5 cubitan, 2 di tangan, 2 di kaki dan 1 di perut. Hehehehehe.
Dari tempat itu, aku bisa kembali menambah mainanku, batu-batu kecil dengan berbagai warna dan bentuk, siput-siput kecil yang meski hanya memiliki satu warna, yaitu hitam, tapi aku sudah sangat senang melihatnya berjalan bergerak jika aku masukkan di dalam toples berisi air. Kresek hitam, yang tidak pernah aku tinggalkan bila bermain ke tempat tersebut, akan selalu penuh terisi oleh batu-batuan kecil dan siput-siput kecilku, membawanya pulang ke rumah kemudian disimpan di bawah kolong rumah.
Tempat itu tidak terlalu jauh dari rumah sebenarnya, sehingga kalau dipikir mama tidak perlu takut aku tersesat dan tidak bisa pulang lagi. Hanya saja aku harus sependapat dengan mama, bahwa arus yang deras bisa saja membuat aku tidak bisa kembali lagi ke rumah.
Sungai, dengan hamparan pantai batu-batu kali itu, memang memiliki arus yang lumayan deras. Tapi justru itulah yang menjadi daya tarik bagi aku dan teman-teman. Bagian tepi sungai yang memiliki kedalaman kurang dari setengah meter itu, membuat kami sering bermain seluncuran, membiarkan tubuh kami terhanyut terbawa arus sambil duduk menikmati arus dan sejuknya air sungai di siang hari. Berjam-jam di dalam air sampai mata memerah bukan masalah, hanya saja kami perlu ingat bahwa ada singa galak yang akan menunggu kami di rumah. J
Aku baru mulai berani bermain di sungai bersama teman-teman tanpa pengawasan mama, sejak kelas 3 SD. Suatu hari mama sempat syok, mengetahui kenyataan ini. Dan semalaman aku harus terima resikonya, dengan beberapa cubitan dan omelan yang panjang, aku dilarang untuk segera tidur, hanya untuk mendengar omelannya. Itu resiko yang aku terima karena sudah berani-berani bermain di sungai tanpa ijin dari mama. Tapi aku tahu, mama tidak akan pernah membiarkan aku ke sungai tanpa ia temani, jadi kalau minta ijin dulu, pasti tidak dibolehkan. Dan itu membuatku akhirnya nekat pergi sembunyi-sembunyi dengan teman-teman yang sebenarnya tidak diijikan juga oleh orang tua mereka.
Dengan cerita yang aku belum tahu kebenarannya, mama pernah menakut-nakuti aku, “Ada buaya besar di sungai, ia baru saja menelan seekor anjing milik si Ani” katanya suatu hari. Itu membuat aku menyebarkan berita ini ke teman-teman yang lain, sehingga kami tidak lagi berani bermain di sungai sampai aku kelas 4 SD. Namun lama-kelamaan berita itu menjadi kabur, dan dengan keinginan yang lebih besar dari pada rasa takut kami. Kami sudah sangat ingin kembali untuk mengumpulkan batu-batu dan siput-siput kecil, serta menikmati arus dan sejuknya air sungai.
Mama yang aku dan teman-teman sudah berani lagi kembali ke sungai, hanya memberi nasehat, supaya aku dan teman-teman berhati-hati. Ia tidak lagi marah sekalap dulu, karena sudah yakin aku sudah pandai berenang. Dan itu kepercayaan pertama yang aku dapat dari mama, dengan begitu aku bisa kembali mengumpulkan mainan-mainanku dari sungai.
***
Siput-siput kecilku, bukan hanya mainan yang aku simpan begitu saja, meski setelah bosan, terkadang aku biarkan mati. Siput-siput itu aku pelihara, aku masukkan di dalam toples, kemudian memasukkan beberapa helai daun kangkung ke dalam toples.
Aku sangat senang memberhatikan siput-siput yang merayap dengan sangat lambat di dalam toples. Aku juga dapat menyaksikan mereka memakan daun-daun hijau yang aku masukkan ke toples, tanpa tahu bagaimana mereka mengunyah dan bagaimana bentuk mulut mereka. Aku hanya mengamati daun itu masuk ke dalam rumah siput, dengan begitu aku yakin siput-siput kecil itupun sedang makan, sekalipun aku tak mengetahui apakah mereka memiliki mulut atau tidak.
Tidak hanya siput yang senang aku perhatikan, aku juga memiliki beberapa ekor ikan sungai di dalam toples-toplesku. Ikan-ikan yang tahan hidup sekalipun beberapa hari tidak di beri makan. Mama selalu mengingatkanku, untuk memberi makan ikan-ikan yang tersebut, tapi aku seringkali lupa, aku hanya ingat, jika aku sedang ingin bermain dengan mereka.
Di antara ikan-ikan tersebut, ada salah satu jenis, yang membuat aku sempat benar-benar terpesona, sehingga sehari penuh aku terus saja memperhatikan toples di mana ikan-ikan tersebut berenang. Ikan ini adalah ikan yang aku dapat di dalam sebuah kubangan air hujan, di samping rumahku.
Ketika aku bermain, tidak sengaja, aku melewati kubangan itu, dan memperhatikan ada banyak ikan-ikan kecil yang berenang di sana. Dan itu menarik perhatianku, aku segera mengambil tempat untuk menangkap ikan-ikan kecil seukuran jari kelingking itu dan membawanya pulang ke rumah lalu memasukkan ke dalam toples.
Mama yang melihatku sambil lalu, karena sibuk dengan pekerjaannya, hanya berkata, “itu anak-anak kodok”. Ia pun tidak sempat bertanya, di mana aku mendapatkannya, dan bagaimana aku mendapatkannya, pertanyaan yang biasa mama lontarkan ketika aku membawa sesuatu pulang ke rumah.
Aku tak peduli, dengan apa yang mama katakana. Yang jelas saat ini, aku senang bisa membawa ikan-ikan itu ke rumah, dan memperhatikan mereka berenang di dalam toples, tanpa protes dari mama.
Inilah hal yang menabjukan yang aku maksud, selang beberapa hari, ikan-ikan dalam toples itu menyembulkan kaki di antara badan dan ekornya.
Menyadari hal yang sangat luar biasa itu, pandangan mataku seperti tidak pernah lepas dari toples, aku terus memperhatikan dan ingin memastikan bahwa bagian yang menyembul pada tubuh ikan tersebut benar-benar kaki ikan. Dan aku berpikir ini adalah temuan baru, dan akulah yang orang pertama yang mengetahuinya, dan aku ingin segera memberi tahu mama, bahwa aku telah menangkap ikan berkaki.
Ketika aku benar-benar sudah yakin bahwa apa yang aku lihat adalah benar-benar ikan yang memiliki kaki, dengan melihat beberapa bagian jari-jari kecil yang ada di bagian tersebut, aku akhirnya memutuskan untuk memberitahu temuanku itu kepada mama. Aku berharap mama setuju dengan pendapatku, bahwa ikan tersebut adalah sejenis anak ikan duyung-duyung.
Dengan sangat senang dan agak sedikit gugup, aku menemui mama, sambil membawa toples yang aku sembunyikan di belakangku, “ma, aku punya kejutan” kataku dengan nada senang dan senyuman puas.
Mama dengan penasaran bertanya “apa itu?”
Dengan segera aku memperlihatkan toples yang aku sembunyikan di belakangku “aku menemukan ikan berkaki” kataku dengan girang.
Mama memperhatikan apa yang aku maksudkan.
Melihat ikan-ikan berkakiku, mama hanya tersenyum dan tidak terlihat terkejut atau terpana dengan temuan baruku itu.
“itu namanya berudu” kata mama kemudian.
Aku heran, karena mama ternyata sudah tahu, sebelum aku memberi tahunya.
“apa itu berudu?” tanyaku akhirnya, penasaran dengan penjelasan mama, masih berharap bahwa mama akan mengatakan bahwa berudu adalah sejenis ikan duyung-duyung yang aku pikirkan tentang ikan-ikan berkaki itu.
“berudu, itu anak kodok” kata mama pula.
Mama kemudian menjelaskan bagaimana berudu akhirnya menjadi kodok.
Dari situ aku akhirnya tahu, bahwa ikan berkaki adalah berudu, dan berudu adalah anak kodok.
Meski cerita tentang ikan berkakiku tidak menjadi kejutan buat mama, tapi setidaknya, aku masih bisa memberi kejutan kepada teman-temanku.
Kejadian ini sama seperti cerita ketika aku sempat bermain-main dengan ulat-ulat daun yang hidup di dalam gulungan daun pisang. Bagi orang-orang yang tak terbiasa, mungkin ini permainan yang aneh. Tapi inilah salah satu permainan yang aku mainkan bila berada di kebun bersama mama.
Ketika melihat gulungan daun-daun pisang, aku kemudian mengambil dan membukanya. Awalnya aku kaget, karena ternyata yang ada di dalam gulungan itu adalah ulat yang seperti dilumuri pupur. Aku segera membuang daun pisang tersebut dan berlari kepada mama.
Mama yang tahu aku sedang ketakutan, bertanya “ada apa?” Tanya mama.
“ada ulat dalam gulungan daun pisang” kataku.
Mama tersenyum, kemudian berkata “itu ulat yang makan daun pisang, anaknya kupu-kupu”
Aku heran, bagaimana mungkin kupu-kupu bisa punya anak ulat.
Dengan perasaan heran, akupun bertanya kepada mama “memang kupu-kupu anaknya ulat?”
Pertanyaanku membuat mama menjelaskan bagaimana, ulat menjadi kepompong, dan kepompong menjadi kupu-kupu. Aku lumayan puas dengan jawaban mama, meski aku belum tahu pasti kebenarannya.
Dari penjelasan mama, akhirnya setiap jika ke kebun aku selalu memperhatikan gulungan-gulugan yang ada di daun pisang. Dan ketika sudah ada daun yang nampak kekuningan, aku mengambilnya dan membuka. Benar saja, aku tak lagi melihat ulat di dalamnya, tapi sesuatu yang lain, berbentuk seperti ulat tapi tak jelas terlihat kepalanya. Dan aku yakin, inilah yang mama maksud dengan kepompong.
Dari kejadian itu, aku tidak lagi takut sama ulat-ulat yang ada di dalam gulungan daun pisang, karena aku tahu, kalau ulat-ulat tersebut adalah anaknya kupu-kupu yang cantik.
Dari kejadian-kejadian seperti itu, aku telah mendapatkan pelajaran yang jauh lebih dulu sebelum aku mengetahuinya di kemudian hari di bangku sekolah. Dan itulah keberuntunganku ketika bermain dengan mainan-mainan yang unik.
Dan aku bersyukur bahwa mama, tidak memarahiku untuk memperhatikan mainan-mainan itu, selama tidak membahayakan bagi diriku.
***
Masa-masaku di camp berakhir hanya sampai kelas 5 SD, karena kelas 6 SD bapak pindah kerja tempat, tapi masih pada perusahaan yang sama.Hanya saja karena tempatnya jauh dan bapak hanya pulang sewaktu-waktu, membuat mama memutuskan untuk membawa kami, mama, aku dan dua adikku, untuk pulang dan tinggal di kampung bersama nenek, karena kampung nenek tidak jauh dari camp, hanya 2 jam perjalanan menggunakan perahu.
Sepertinya kepindahan kami sudah direncanakan oleh bapak, karena ketika kami pindah ke kampung, kami sudah bisa menempati rumah kami sendiri, yang sudah bapak bangun jauh hari sebelumnya, sekalipun rumah itu belum selesai semuanya.
Dan perpindahan ini, membuat aku sedih karena harus berpisah dengan sahabat kecilku dan teman-teman lainnya. Dan ini berarti juga harus harus menghadapi suasana baru. Meski sering pulang ke kampung, aku masih belum terbiasa dengan suasana di sana. Aku harus menyesuaikan diri, terutama dengan bahasa daerah yang tidak pernah aku pakai, sekalipun sudah sering mendengar mama mengucapkannya apabila sudah marah-marah. Mama dan bapak memang sama-sama orang dayak, hanya saja bahasa mereka berbeda, itu membuat kami akhirnya menggunakan bahasa Indonesia.
Penyesuaian bahasaku ternyata tidak butuh waktu lama, dalam waktu beberapa bulan, aku sudah bisa mengucapkan bahasa daerah, sekalipun masih kaku. Hal ini dikarenakan, di rumah, nenek tidak terlalu bisa bahasa Indonesia, dan di sekolah hanya guru-guru yang menggunakan bahasa Indonesia, selebihnya teman-temanku semuanya menggunakan bahasa daerah, meskipun sedang di dalam kelas.
Jenis permainanku di kampung sedikit berbeda. Karena sepupuku kebanyakan laki-laki dan mereka sekelas denganku, maka mereka akhirnya jadi teman bermainku. Penyesuaian yang tidak terlalu sulit, karena aku menyukai petualangan. Aku sering di ajak mengetek burung dengan ketapel, menangkap burung dengan pulut, membuat jerat untuk binatang-binatang kecil, seperti burung dan tupai, dan yang tidak hilang adalah berenang di sungai.
Ada sebuah pengalaman lagi yang baru dan lebih seru. Diawali pada rasa penasaranku pada sebuah Goa, yang jaraknya kurang lebih 1,5 Km dari kampung.Tempat bersarang burung-burung wallet. Dan goa itu, bukan milik siapa-siapa, jadi siapa saja boleh ke sana. Tidak ada yang berminat untuk memiliki goa itu, karena sarang-sarang burung walletnya tidak memiliki kualitas yang baik, lebih banyak terdapat lumut-lumut sarang dari pada sarang aslinya.
Sepupu-sepupuku sudah beberapa kali ke sana. Mereka pergi untuk mengambil sarang, sekalipun tidak berkualitas, ada saja penadah yang mau membeli dengan harga murah. Itulah salah satu alasan yang membuat sepupu-sepupuku bisa sampai ke tempat itu.
Untuk yang satu ini, mereka sama sekali tidak pernah mengajakku, karena mereka tahu mamaku akan memarahi mereka kalau mengetahuinya. Dari cerita-cerita yang aku dengar dari mereka, tentang tempat itu, membuat aku ingin melihat langsung, mengambil sarang-sarang burung, membersihkannya, dan menjualnya pada penadah, lumayan kalau ada uangnya, bisa buat jajan pikirku. Dan lagi aku benar-benar penasaran dan sangat ingin tahu bagaimana goa batu yang sebenarnya.
Hingga suatu hari, sepupu-sepupuku berencana untuk pergi ke sana. Mereka terlihat mulai mempersiapkan senternya masing-masing. Aku tahu bahwa aku tidak akan pernah dibawa ke sana, sehingga aku juga tidak memaksakan diri ingin ikut. Aku hanya diam dan memperhatikan mereka bersiap-siap.
Setelah siap dengan perlengkapan masing-masing, mereka akhirnya berangkat. Dan aku hanya melihat saja kepergian mereka dengan perasaan kesal.
Entah bagaimana, tiba-tiba muncul ide untuk mengikuti mereka diam-diam dari belakang. Dengan modal nekat dan rasa penasaran yang besar, aku akhirnya mengikuti mereka dari belakang secara diam-diam. Tapi di tengah-tengah perjalanan, aku akhirnya berteriak, ketakutan karena sudah ketinggalan agak jauh dari mereka yang sudah tak terlihat lagi olehku.Itu membuat mereka kaget dan sangat marah padaku.Tapi karena sudah pertengahan jalan, mau tidak mau aku dibawa juga.
Menyusuri jalan setapak yang membelah hutan, bukan sesuatu yang baru bagiku, aku sering melakukannya jika ikut bersama mama dan nenek ke ladang. Dengan beberapa gerutuan dari sepupu-sepupuku, aku hanya berdiam, dan berharap mereka segera berhenti untuk mengomeliku.
Setelah melewati beberapa anak sungai kecil, kami akhirnya tiba pada goa yang kami tuju. Aku sangat senang bisa melihat dan memasuki goa tersebut, kini aku dapat menikmatinya secara langsung, dan ini melunasi semua rasa kesalku setelah melewati perjalanan panjan dan omelan yang juga panjang.
Kami mulai menjelajahi setiap dinding goa untuk melihat sarang-sarang burung yang bisa kami jangkau. Mulut goa tidak terlalu besar, hanya sebesar 2 pintu rumah kalau digabung, tapi ketika berada di dalam, aku dapat melihat, bahwa tempat itu luas dan memiliki jalan yang bercabang-cabang dengan lantai tanah lembab. Semakin ke dalam, semakin tanah tempat kami berpijak semakin terasa becek, tahi-tahi kalelawar dan burung-burung wallet memenuhi lantai goa.Kegelapan terasa semakin nyata, aku tak punya senter, sehingga harus terus mengikuti salah seorang sepupuku dari belakang. Ketika senter di matikan, tidak ada cahaya sama sekali, gelap gulita, aku tak dapat melihat, hanya dapat mendengar suara.
Entah, mengapa tadi aku memilih mengikuti dia, di antara sepupuku, dialah yang terkenal suka jahil. Ya, dia memulai aksinya, pada sebuah sisi goa, ia mematikan senter dan sama sekali tidak mengeluarkan suara. Membuat aku sempat merasa seperti di dalam sebuah ruangan hampa dan jorok seorang diri, aku tak ingin bergerak, karena tak tahu bagaimana bisa melangkah di dalam gelap. Aku berteriak memanggilnya, tapi hanya pantulan suaraku yang ku dengar menyahutku. Ketakutan yang sangat membuat aku, akhirnya tak tahan dan menangis. Mendengar suaraku yang ketakutan, sepupuku yang lain, akhirnya merasa terganggu, dan menemuiku. Aku bersyukur karena akhirnya aku melihat cahaya kembali. Meski ia sempat memarahiku, tapi aku tetap bersyukur, karena ia mau menemuiku, dan akhirnya di dalam goa, aku terus bersamanya hingga akhirnya kami keluar, dan membawa sarang-sarang burung yang kami ambil.
Perjalanan pulang, lebih menegangkan. Bagaimana tidak, dari kejauhan kami mendengar suara teriakan seekor beruang. Tidak ada satupun di antara kami yang berani, kami lari ketakutan. Beberapa di antara kami ada yang hampir menabrak pohon kayu ketika mencoba untuk berlari ketika menuruni bukit. Entah bagaimana dalam ketakutan itu kami masih bisa tertawa ketika melihatnya hampir terjatuh dengan wajah pucat. Sesampai di rumah baju kami, semua basah oleh keringat. Sungguh pengalaman seru yang pernah aku alami.
Dan sampai saat ini, mama belum tahu kalau aku pernah ke goa itu.
Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...
- ely's blog
- Login to post comments
- 3915 reads