Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Ebeg
Ebeg, Jathilan, Kuda Lumping dalam Perspektif Kristen
Ebeg atau Jathilan atau Kuda Lumping adalah salah satu kesenian tradisional yang banyak dijumpai di masyarakat Jawa, misalnya Banyumas, Kedu dan Yogyakarta. Hal paling unik dari kesenian ini adalah bahwa pemain, bahkan seorang penonton bisa mengalami kesurupan.
Tetapi apakah kesenian Kuda Lumping hanya sekedar tari-tarian yang diiringi nyanyian-nyanyian dan juga diiringi alat musik tradisional tertentu, lalu beberapa pemain berpura-pura kesurupan agar nampak heboh dan menarik, ataukah memang ada kesenian jenis ini yang melibatkan pemanggilan roh-roh tertentu? Artikel ini akan mengungkapkan apa di balik kesenian tradisional yang disebut Ebeg atau Jathilan atau Kuda Lumping.
Sebuah tim Ebeg terdiri dari: Penimbul, yakni pemimpin Ebeg, lalu sejumlah pemain, bisa puluhan orang laki-laki "terlatih", seperangkat alat sesaji dan seperangkat alat musik tradisional terdiri: dua buah kenong (seperti gong tapi kecil dengan diameter berbeda), sebuah gong, sebuah kendang, dan sebuah seruling, lalu seperangkat kuda-kudaan dari anyaman bambu, lalu ada "barong", penthul dan cemeti.
Proses berdirinya sebuah tim Ebeg.
Sebuah tim Ebeg sejati didirikan melalui sebuah ritual tertentu. Biasanya, seorang Penimbul (sudah profesional) memimpin seluruh anggota Tim termasuk semua perangkat pendukung, mereka masuk ke sebuah area kuburan, terutama kuburan tua, misalnya sebuah kuburan di Karang Banar, wilayah Banyumas, yang konon di lokasi kuburan ada patung Ebeg, sehingga memang menjadi tempat tujuan utama tim Ebeg baru untuk memperoleh kemampuan Ebegnya agar bisa sukses. Seorang calon pemain setidaknya harus tidur di kuburan tersebut selama 4 malam, sampai suatu "Indang" (roh Ebeg?) merasukinya.
Di kuburan itu juga, Penimbul membaca mantera-mantera tertentu yang ditirukan oleh semua calon pemain, lalu ada ritual minum air putih (air kembang?) yang juga telah dimanterai, mereka menenggak air itu. Kemudian mereka juga memainkan atraksi kuda lumping di kuburan tersebut. Ritual akan disebut berhasil, jika pemain-pemainnya sudah bisa kesurupan.
Di wilayah Banyumas dan Kedu, biasanya permainan Ebeg dimulai tepat tengah hari (jam 12 an siang) hingga jelang maghrib sudah selesai. Permainan dimulai dengan tari-tarian oleh pemain yang naik kuda-kudaan bambu itu, cukup lama, dari jam 12 an hingga jam 4 petang diiringi alat-alat musik yang bersuara: "thang,.. poll,.. thang,.. burr,.. thang,.. poll,.. thang,.. burr" dengan nada menurut solmisasi : " do (tinggi), sol, do (tinggi), mi, do (tinggi), sol, do (tinggi), mi,.." terus menerus tanpa henti, dan seruling ditiup tanpa jeda (saya ngak paham benar cara meniupnya koq sampai un-interrupted).
Seorang Penimbul rupanya memiliki kepekaan atau instink kapan pemain-pemain Ebeg akan mulai kesurupan. Konsentrasi pemain cukup penting. Seorang pemain Ebeg yang sudah "jadi", maka ia sudah disertai "Indang", yang membuatnya sangat menikmati irama alunan musik Ebeg. Kalau pemain "celelekan", ha ha hi hi dan tidak konsentrasi, biarpun sampai acara selesai ia mungkin tidak akan bisa kesurupan, walaupun ia pemain yang sudah biasa kesurupan.
Ketika Penimbul sudah "membaca" saat-saat mulai untuk kesurupan, maka ia akan mengambil cambuknya, dan meledakkannya di udara dengan "thas,.. thas,.. thas,.." sementara itu beberapa anggota tim menaburkan bunga-bunga (sesaji?) dan menghamburkannya ke arah para pemain, dan mulailah para pemain Ebeg itu kesurupan,...
Terkadang tim menyediakan duri-duri, seperti duri pohon salak dan digelar di tengah lapangan. Ketika pemain Ebeg kesurupan, mereka bisa berguling-guling di atas hamparan duri, padahal bertelanjang dada, namun mereka tidak terluka,...
Di wilayah Kedu, biasanya permainan Ebeg juga dilengkapi sebuah "palang" yakni semacam meja dari bambu dengan ketinggian antara 1,5 m s/d 2 m . Ketika pemain Ebeg sudah kesurupan, beberapa diantaranya naik ke palang-palang bambu setinggi itu, mak "clingkrik" melompat begitu tinggi.
Kadangkala beberapa penonton yang terhanyut dengan tontonan Ebeg, mereka ikut kesurupan, ada yang meminta kuda-kudaan, ada yang minta barong, dan sebagainya.
Seorang teman saya, aku sebut saja dengan pak Haryono, adalah pemain Jathilan (Ebeg versi Magelang-Yogyakarta). Dia paling khawatir jika sedang berada di jalan raya, kalau mendengar gamelan Jathilan "thang,.. poll,.. thang,.. burr,..". Pasalnya pernah kejadian, tiba-tiba dia merasa sangat menikmati irama "panggilan" itu, dan tiba-tiba saja ia tidak sadarkan diri (orang-orang melihatnya berlari menuju ke sumber suara, yaitu arena Jathilan, lalu naik kuda lumping sebagai seorang yang sudah kesurupan). Tahu tahu setelah ia sadar, tubuhnya merasa pegal-pegal seperti habis kerja keras. Bayangkan, kalau sedang berada di jalan raya, dalam keadaan "trance" itu, bisa saja ia menabrak atau ditabrak kendaraan yang sedang meluncur.
Untuk mengakhiri permainan Ebeg, biasanya roh yang merasuki akan berkata: "Uwis, aku wis kesel, aku meh mulih". Lalu seorang Penimbul menolongnya keluar, atau ia sendiri yang ngeloyor pergi. Namun ada kalanya, ada roh yang tidak mau pergi, ngeyel, maka dalam kasus seperti ini biasanya dipaksa oleh Penimbul dibantu oleh Penimbul yang lain (biasanya Penimbul bisa lebih dari satu orang).
Untuk menyadarkan seorang pemain Ebeg yang kesurupan, bisa dilakukan oleh pemain Ebeg lainnya (yang sedang tidak kesurupan), namun kemampuan terbesar untuk menyadarkan, biasanya adalah Penimbul. Jika "Indang" tidak mau pergi sendiri, mutlak dibutuhkan bantuan temannya, sesama pemain, atau bentuan seorang Penimbul. Untuk Indung yang "ngeyel", jika pemain yang kesurupan itu tidak ditolong menyadarkannya, ia bisa gila.
Handai taulan yang dikasihi Tuhan, setelah kita tahu apa di balik permainan kuda lumping sejati, yang memang melibatkan pemanggilan roh-roh tertentu yang disebut " indang " , maka praktek-praktek tersebut dilarang Tuhan. Berikut ayatnya:
Kuduslah kamu bagi-Ku, sebab Aku ini, TUHAN, kudus dan Aku telah memisahkan kamu dari bangsa-bangsa lain, supaya kamu menjadi milik-Ku. Apabila seorang laki-laki atau perempuan dirasuk arwah atau roh peramal, pastilah mereka dihukum mati, yakni mereka harus dilontari dengan batu dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri." (Imamat 20:26-27)
Jika dirasuk arwah saja sesuatu yang Tuhan benci, apalagi sengaja mengundangnya. Jadi, perlukah Kristen melestarikan budaya bermain-main dengan roh ini?
Sumber:
Bincang-bincang dengan seorang teman yang kakeknya seorang Penimbul Ebeg di Banyumas.
- mujizat's blog
- Login to post comments
- 7095 reads
mana?
Mana perspektif Kristennya, mas Muji?
salam hangat,
rong2
Lagi Belajar
perspektif
Tani Desa
Minta Mujizat
"Saya lulus sarjana Pendidikan Teknik Elektro tahun 1986."
Weleh, kebetulan nih, saya jadi bisa minta petunjuk:
Bang muji, rangkaian saya yang ini (<- klik) suka ngadat sendiri. Ceritanya, ada yang OK2 aja, tapi ada beberapa yang suka redup sendiri (kalau lagi kepanasan), padahal rangkaiannya identik.
Facts:
- Ada beberapa yang lampunya meredup kalo batere drop dibawah 1.2V di udara yang panas (tapi ada beberapa yang tidak)
Catatan: Ini komen kok nggak nyambung banget yak?
Rusdy, rangkaian elektronik,...
Wah, gambarnya manual banget.
Ok bang, Muji paling demen rangkaian control,...
Baru speed reading,...
Itu rangkaian apa? Baterai charger? Model hybrid? Sel Surya plus PLN?
Nanti saya pelajari bentar, ini baru tahu kalau sampeyan tanya, dan saat ini Muji baro mo beli jack, jack, jack untuk sound system gereja, persiapan natalan besok Sabtu, 18 Des 2010. Sekarang tgl 15 Des 2010.
Secepatnya kujawab tuntas, bila perlu pakai message.
He he he
Tani Desa
@Rong rong, maaf modem saya ngadat,..
Mana perspektif Kristennya, mas Muji?
Muji:
Maaf mas Rong-rong, tadi modem internet saya bermasalah, lemot banget. Ini sudah saya lengkapi .
Salam,
Tani Desa
@Rusdy, anda kreatif
Setelah saya sempatkan baca blog anda, oh, ternyata rangkaian lampu otomatis pakai sel surya dan batere isi ulang, non PLN (?). Kalau siang lampu mati, tapi batere terisi oleh solar cell, tapi kalo malam lampu hidup sendiri (koreksi jika Muji salah).
Notasi rangkaian Muji modif dikit, biar mudah ngasih komen.
Tebak-tebak buah manggis, prinsip kerjanya sbb?
Transistor Q2 plus aksesoriesnya bekerja sebagai osilator mirip Hartley dengan tujuan hasilkan teg output lebih tinggi dari Vcc2 yang hanya 1,2 V padahal D3 (LED) butuh tegangan at least 1,5 Volt, anda manfaatkan tegangan ggl (kejut) oleh sebab bekerjanya sinyal denyut osilator Q2 tersebut. Sungguh gagasan yang kreatif.
Sementara Q1 sebagai soft switch. Kalau mode siang, Vcc1 hasilkan tegangan kira-kira 2 Volt, Q1 mendapat forward bias lewat R1 dan R2 . Muji tanya: napa ngak dibikin simpel saja pakai sebuah R sebesar 4k7 atau 3k9? Ataukah kerjanya Q1 kritis banget?
Lanjut,...
Oleh bias itu, Q1 akan konduksi, meng short base-emitor Q2 sehingga men-disable Q2, karena itu praktis Q2 OFF, sehingga tegangan (arus) dari Vcc 1 hanya mengisi batere isi ulang Vcc2 secara maksimal, itulah mode "siang".
Lalu kalau malam, ngak ada cahaya, solar cell "tidak" hasilkan tegangan (arus), basis Q1 ngak dapat bias, Q1 jadi OFF, maka Q2 dengan bebasnya bekerja menghasilkan pulsa-pulsa kontinue, yang frekwensinya ditentukan induktansi efektif trafo plus nilai positive feedback yang ditentukan nilai R3 dan C1.
Osilator semacam itu akan bekerja mencapai titik saturasi, benar-benar ON dan OFF pada Q2, akibatnya pulsa yang dihasilkan bisa mencapai 2 x Vcc2. Oleh karena itu, secara sederhana, rangkaian itu akan menghasilkan tegangan output kotor kira-kira sebesar 2,4 Volt.
Haa,..
Anda memilih diode bagus, 1N5818 yang memiliki tegangan forward pada kaki-kakinya cukup rendah, sekitar 0,33 V untuk arus lewat 100 mA. Pemilihan yang cerdas. Hal itu akan mengurangi rugi tegangan yang ngak perlu, baik pada pengisian baterai, maupun pada tegangan output yang masuk LED.
Saya rasa, gangguan dapat terjadi oleh akurasi nilai-nilai C, karakter LED, dan mungkin juga hFE transistor. Sudah diukur?
Muji belum sempat nyoba rangkaiannya. Coba kalau besok liburan.
Salam,
Tani Desa