Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Bertemu Mayat Korban Wedhus Gembel Gunung Merapi
Kita ini Wedhus sementara Gembelnya Yesus, kalau ada Wedhus Gembel turun dari puncak Merapi semua orang lari tunggang langgang menyelamatkan diri, tapi kalau Wedhus Gembelnya turun dari sorga apakah kita lari ketakutan juga? Tentunya bagi yang mengasihi Yesus akan semakin besar merindukan-Nya untuk turun ke dunia menjemput kita dan bersama naik "Wedhus Gembel" untuk terbang ke angkasa tanpa rasa takut sedikit pun.
Saya menengok jam tangan, waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB, saya pun pamit untuk pulang setelah ngobrol cukup lama di rumah teman yang beralamat di Des Grogol Solo Baru. Sepeda motor kupacu pelan, malam mulai mendingin, untuk menyingkat waktu saya melewati desa Kwarasan, walau sepi tapi lebih cepat untuk pulang ke rumah. Ketika di depan Kampus ATW (Akademi Tehnik Warga) depan Kuburan Daksinoloyo Danyung ada seorang perempuan melambaikan tangan ke arahku. Tanpa ragu saya
menghentikan motor di depannya.
"Ada apa bu?" seorang perempuan setengah baya dengan kerudung hitam, mengenakan daster bermotif kembang kecil-kecil menatapku lekat.
"Mas, tolong antarkan aku pulang, suamiku tidak bisa menjemputku karena sakitnya kambuh." katanya kalut. Saya tidak menanyakan kenapa tidak naik Angkuta, sebab di daerah tersebut memang tidak di lewati kendaraan umum, apalagi malam begini.
"Rumahnya mana bu?"
"Klaten mas." begitu selesai menjawab ibu itu langsung naik sadel sepeda motorku tanpa menunggu jawabanku. Klaten cukup jauh dari sini, sekitar 36 Km kalau sampai ke kota. Tanpa menunggu lagi langsung kularikan sepeda motor ke arah Klaten, tinggal jalan lurus saja. Karena jalan sudah sepi, motor kupacu dengan cepat, lampu merah tak kuhiraukan.
"Saya ngebut bu, mumpung jalan sepi biar cepat sampai." kataku tanpa menunggu persetujuannya.
Setengah jam kami sudah sampai ke kota Klaten, motor kupelankan dan kuhentikan tepat di depan Gereja Jago.
"Ini sudah sampai Klaten rumahnya ibu mana? Jangan-jangan nanti kelewatan?"
"Masih jauh mas, rumah saya di desa Kemalang."
"Kemalang arah Gunung Merapi?"
"Betul mas," jawabnya datar. Ah masih 15 Km lagi menuju Pabrik Gula Gondang ke arah kanan naik terus. Lumayan jauh. Motor pun kupacu lagi dan tak sempat mampir ke rumah teman yang bertempat tinggal di belakang Gereja Jago itu, lagian hari sudah begini malam untuk bertamu jelas kurang layak, tapi saya yakin pasti beliau belum tidur kalau ada di rumah, paling lagi online.
Jalanan naik menuju Kecamatan Kemalang masih lengang setelah bencana Gunung Merapi beberapa hari lalu memporak-porandakannya. Hutan-hutan yang dulu menghijau nampak ludes terbakar. Leleran magma muntahan Merapi begitu ganas menghancurkan semua kehidupan. Tiga bukit yakni Kendil, Kukusan dan Segelap sudah tak ada lagi, rupanya sudah rata dengan tanah.
"Rumah ibu di sebelah mana?" tanya saya. Saya heran apakah masih ada rumah yang utuh setelah bencana itu? Sementara bau abu belerang masih tercium amis terbawa angin yang semilir. Saya lihat puncak Merapi masih mengepulkan asap dan tidak kelihatan sosoknya.
"Itu mas," katanya sambil menunjuk ke arah rumah yang nampak masih utuh dan terlihat ada kerlip lampu yang begitu terang di antara kegelapan tempat itu. Dan hanya rumah itu yang nampak terang, rumah-rumah yang setengah utuh pun sepertinya belum disentuh penghuninya, atau mungkin masih di pengungsian.
"Lho rumah ibu tampaknya tidak begitu rusak kena material vulkanik?" tanya saya keheranan, padahal rumah di sebelah kiri dan kanannya hancur tidak karuan.
"Iya mas, berkahe sing Kuwasa, kami semua selamat dari terjangan Wedhus Gembel," jawabnya kemudian turun dari sadel sepeda motorku yang tepat kuhentikan di depan rumahnya.
"Mas silahkan mampir dulu? Ibu buatkan teh hangat"
"Ndak usah bu, sudah terlalu malam,"
"Itu suami saya, kenalkan dulu," kata sang Ibu sambil menunjuk seseorang yang keluar dari samping rumah. Ia datang menghampiriku. Sedikit heran, katanya tadi sakit kok bisa berjalan? Ah, mungkin sakit ringan saja, pusing kepala atau demam, batinku mengira-ira.
"Ayo mampir dulu mas!" sahutnya ramah. Ia pun mengulurkan tangan untuk menyalamiku dan aku menyambutnya. Namun, begitu ia tarik tangannya, ada yang tertinggal di genggamanku. Ya, telapak tangannya masih kugenggam, sementara ia diam memandangiku. Lolongan Anjing mendadak meraung dari kejauhan, menyentak malam yang begitu sepi itu.
Tiba-tiba bulu kudukku meremang dahsyat, rumah yang semula nampak utuh itu kini sudah rata dengan tanah. Bapak dan ibu itu sudah hilang dari pandangan, spontan kulempar potongan tangan itu dengan ketakutan yang amat sangat. Sepeda motor kupacu turun dengan kecepatan penuh di sela cucuran keringat dingin yang mengucur.
Semoga Bermanfaat Walau Tak Sependapat
__________________
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat
2 user menyukai ini
- Tante Paku's blog
- Login to post comments
- 5139 reads
Serial Misteri Gunung Merapi
Andy, lanjutkan
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat
Tepeeeeeee
“The Roots of Violence: Wealth without work, Pleasure without conscience, Knowledge without character, Commerce without morality, Science without humanity, Worship without sacrifice, Politics without principles.” - M. Gandhi
Hannah serem.
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat
Kirain Tulisan Komedi Biasa
eeeh, taunya cerita serem, sampe ngikutan merinding
Rusdy, merinding
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat
skip
eha
Ternyata Evylia Hardy
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat