Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Lelaki Tua dan Tiang Listrik
Ia bertanya, “Kemana saja selama ini?”
Aku tidak sedang bermimpi. Dua puluh tahun lalu ia mengejarku dengan sebilah parang, sekarang menyuruhku masuk rumahnya. Dua puluh tahun aku menghindarinya, dan sekarang ia hanya bertanya, Kemana saja selama ini?
Tiang listrik membuatnya gila.
“Tadi malam ada syukuran, makanan masih banyak sisa,” lanjutnya. “Saya pikir di rumah hanya ada ibu kalian.”
Ia tidak sedang berbasa-basi. Ia benar-benar sedang memaksaku menghabiskan sisa makanan melimpah. Ayah dulu juga sering melakukannya, sehari setelah pesta, menghentikan semua orang yang ia tahu tidak ikut makan di rumah.
“Maaf, saya tidak datang waktu ayah kalian meninggal?” lanjutnya lagi, “saya ada di kota.”
“Tidak apa-apa.”
Aku juga tidak sedang berbasa-basi. Aku tidak peduli ia tidak menghadiri pemakaman ayah tahun lalu. Bila beberapa hari lagi lelaki kecil tua ini mati, aku juga tidak bakalan menghadiri penguburannya.
Ia boleh saja tiba-tiba ramah, bagiku ia tetap tidak waras. Tiang listrik di samping jalan masuk menjadi saksi. Dulu di situ ada dinding, dinding yang sekarang sudah tidak ada. Hancur dimakan usia.
Dinding itu dulu menjadi bukti kalau ia memang gila.
***
Kami tidak bermaksud membuatnya gila dengan tiang listrik.
Kami orang-orang kampung yang begitu bersyukur masuknya listrik ke desa. Kami suka membantu. Ketika buruh dari kota membawa tiang listrik, kami ikut menggotongnya. Ketika tiang listrik sudah rebah di pinggir jalan, kami memperlakukannya sebagai milik pribadi. Menjaganya seperti menjaga benda pusaka; menjaganya supaya tidak diduduki dan diinjak orang. Seorang dari antara kami, seorang bernama Koneng, bahkan tidak hanya menjaganya dari pantat dan telapak kaki, tetapi melindunginya dari guyuran hujan dan terik matahari. Ia menyelimuti pipa besi raksasa yang ada di depan rumahnya itu dengan kain terpal.
Ketika petugas dari kota membuat tanda silang di batang pohon pinggir jalan, kami dengan penuh semangat menebang pohonnya masing-masing. Memastikan tebasan beliung tepat pada tanda silangnya. Koneng tidak hanya menebang pohon kelapa miliknya yang ada cat silangnya, ia menebangi semua pohon yang ada di depan rumahnya sampai ke pinggir sungai.
Ketika buruh dari kota menggali lubang tiang listrik, kami terheran-heran melihat bor setinggi manusia. Melihat orang-orang bertubuh terbakar matahari menduduki tiang listrik yang masih rebah, kami ikut mendudukinya sambil menonton orang mengebor tanah. Koneng tidak hanya menonton, ia melepas dua terpal yang menutupi tiang listriknya. Satunya ia jadikan tenda, satunya ia jadikan alas supaya penonton tidak menduduki tiang listrik.
Tenda dan alas membuat lebih banyak orang mengelilingi lubang galian. Bila lebih dari satu orang menonton sesuatu di bawah tenda, akan ada yang berdebat. Bila perdebatan mulai memanas, akan ada yang bertaruh. Kali ini Koneng yang menantang taruhan. Menurutnya listrik seperti air, perlu beberapa menit dari sungai sampai ke rumah setelah pompanya dihidupkan.
Ketika listrik akhirnya hidup, Koneng kalah taruhan. Tetapi ia tidak mau membayar, para pemenang juga tidak berani menagih. Taruhannya terlalu mahal, Koneng sendiri yang berkata, “Potong leherku kalau listriknya langsung sampai di rumah kalian begitu mesinnya dihidupkan.”
Semua senang listrik bisa hidup, tidak peduli gerakkannya secepat air atau tidak. Serambi menjadi terang; jalan menjadi terang (karena lampu serambi). Kecuali di depan rumah Koneng. Sebelum ada tiang listrik, jalan di sana gelap gulita, setelah ada tiang listrik, jalan itu tetap segelap kuburan. Bukan salahnya, rumahnya jauh dari pinggir jalan dan jauh dari tetangga.
Tidak ada yang bermaksud menghukumnya karena jalan yang gelap, apalagi menghukumnya karena urusan potong kepala. Kami hanya iseng, senang bisa menimbulkan bunyi keras setiap kali melewati rumahnya. Hanya satu orang yang memulai, seseorang yang menjumput batu dan melemparkannya ke tiang listrik Koneng (karena selimutnya, itu disebut tiang listrik Koneng). Koneng yang berlebihan menanggapinya, terlalu memasukkan ke hati. Ia berteriak marah sekeras-kerasnya.
Sejak itu, setiap malam selalu ada yang menjumput batu, melemparkannya ke tiang listrik di depan rumah Koneng. Setiap malam selalu terdengar bunyi keras yang diikuti teriakan marah dan klepak sandal orang melarikan diri.
Koneng melapor polisi. Tetapi polisi menolak menjagai tiang listriknya. Menurut kabar burung, kepala polisi sendiri pernah ikut mencoba kerasnya bunyi tiang listrik Koneng.
Ia membantu Koneng dengan sebuah anjuran.
Koneng menyingkirkan batu-batu dari sekitar tiang listriknya. Menggembar-gemborkan kalau polisi yang menyuruhnya menyingkirkan semua batu yang ada di sekitar rumahnya. Menambahkan, polisi bukannya tidak mau menjagai tiang listriknya, mereka hanya minta bayaran perjam dan seteko kopi.
Anjuran kepala polisi tidak berhasil menghalangi orang iseng. Memang tidak ada satu batu pun di sekitar tiang listrik depan rumah Koneng, tetapi kampung penuh batu. Orang iseng tidak pernah keberatan membawa batu dari rumah demi keisengannya.
Koneng tidak mempercayai polisi lagi. Ia minta bantuan kepala PLN, kepala yang anak buahnya sudah kembali ke kota. Orang yang juga suka iseng, tahu semua orang menunggu listrik hidup jam lima sore, ia baru mandi ke sungai jam lima kurang seperempat. Kantornya hanya seratus meter dari puskesmas yang berhadapan dengan kantor polisi. Ia jatuh cinta pada bidan muda yang bosnya istri kepala polisi. Jadi, apa yang terjadi di kantor polisi atau PLN pasti sampai di puskesmas. Apa yang sampai di puskesmas pasti sampai di rumah kami. Karena di sana, setiap malam orang berkumpul minum tuak.
Koneng mengatakan kepada kepala PLN betapa bodohnya kepala polisi yang telah menyuruhnya menyingkirkan batu. Terlalu banyak batu di kampung. Tidak mungkin menyingkirkan semuanya. Apalagi ada batu milik Bentol, orang gila yang karena percaya jalan kampung suatu saat akan diaspal, sedikit demi sedikit mengumpulkannya dari sungai. Tumpukan batu di depan rumahnya sudah setinggi gunung.
Siang itu, sepulang dari pasar, Koneng mendirikan tiang yang di puncaknya ada lampu pijar.
Kabar menyebar, Koneng sedang memasang lampu di samping tiang listriknya. Wakil ketua RW langsung datang, takut Koneng melakukan sesuatu yang bisa menimbulkan kebakaran.
“Kamu sudah bisa menyambung listrik, ya?” katanya. “Apa tidak takut konslet?”
“Saya cuma tinggal mencolokkannya ke tempat colokan yang ada di ruang tamu,” jawab Koneng, “saya cuma membeli satu rol kabel, satu colokan dan satu tempat lampu yang itu. Pak Sukri yang menyambungkan semuanya untuk saya.”
“Mengapa tidak suruh kepala PLN saja?”
“Sudah, tetapi tidak mau. Kecuali saya mau membuat surat pernyataan, mengisi surat permohonan, membayar biaya pemasangan lampu penerangan jalan dan membayar pajak penerangan jalan segala.”
“Banyak amat syaratnya,” kata wakil ketua RW yang langsung pulang ke rumah, lalu menceritakannya pada kami, anak-anaknya.
Beberapa malam, Koneng bernafas lega. Orang yang lewat tidak melakukan apa-apa. Lampu itu menjadi bahan perdebatan di kampung. Ada yang mengatakan itu sepuluh watt, ada yang mengatakan itu dua puluh lima watt, dan ada yang mengatakannya lima puluh watt. Di malam kelima, sebelum tengah malam, seseorang melempari lampu pijar itu. Terdengar letupan kecil yang diikuti bunyi keras batu menghantam besi tiang listrik.
Batunya pasti sangat besar, bunyinya menjadi bunyi paling keras yang pernah didengar tetangga.
Kali ini, menurut cerita juga, teriakan Koneng juga merupakan teriakan paling keras yang pernah didengar tetangga. Ia tidak berteriak lagi, tetapi ia melolong.
***
Aku sangat ingin mencobanya. Mencoba rasanya melempari tiang listrik Koneng. Aku harus sabar menunggu, menunggu tujuh belasan, saat boleh keluar di malam.
Akhirnya pasar malam tiba. Aku membawa batu sendiri dari rumah.
Bunyinya sangat keras, membuatku sangat kaget. Lebih kaget lagi ketika cahaya senter langsung menyoroti mukaku.
“Jangan lari kamu anak setan,” umpatan itu keluar hampir bersamaan dengan sinar yang mengarah mukaku, “anak iblis, kecil-kecil sudah kurang ajar.”
Aku tidak menunggu, langsung mengambil langkah seribu.
Kudengar ia mengejar, mengatakan sesuatu tentang parang. Aku tidak berhenti untuk memastikannya.
Besoknya sepulang sekolah, ibu bertanya apa yang kulakukan tadi malam.
“Nonton lomba joget dan melihat orang lempar gelang,” jawabku santai.
Ia terus mendesak. Aku menceritakan apa yang kulihat di pasar malam kemarin.
Akhirnya ibu berkata, tadi pagi Koneng datang ke rumah. Bercerita kalau gara-gara pasar malam, semua orang yang berangkat menontonnya selalu melempar tiang listrik di depan rumahnya. Tidak tahan lagi, Koneng bersembunyi di balik tunggul kelapa. Dengan parang terhunus menunggui orang-orang yang melempari tiang listriknya.
Aku memahami arah pembicaraan ini, tetapi tidak terlalu cemas. Aku bisa membantah. Tadi malam Koneng tidak berhasil menangkapku. Bisa saja ia salah melihat orang, karena hampir semua anak seumuranku menonton pasar malam.
Ibu menatapku.
Aku balas menatap. Sesuatu yang hanya berani kulakukan bila sedang merasa di atas angin.
“Koneng berkata, ‘muka anak yang aku lihat tadi malam memang tidak jelas, tetapi aku melihat dengan jelas cahaya senter yang memantul dari kacamatanya.’”
Aku tidak berani membalas tatapan ibu. Hanya ada satu anak yang memakai kacamata di kampung ini.
***
Bagiku Koneng tidak hanya gila, tetapi tukang mengadu. Bagi orang kampung, ia benar-benar gila setelah memasang dinding yang mengelilingi tiang listriknya. Dinding itu membuat tidak ada lagi yang iseng melempari tiang listriknya, karena memang tidak kelihatan.
Tidak ada yang berniat melempari dinding papan itu karena bunyinya tidak sekeras lemparan tiang listrik. Lalu generasi berganti, hiburan berganti. Orang melupakan tiang listrik itu, melupakan Koneng yang pernah gila. Aku juga lupa sehingga sekarang lupa menghindari rumahnya. Padahal selama ini, setelah kejadian itu, kalau ke pasar aku melewati jalan kecil yang melewati kuburan. Kalau memang terpaksa, itu hanya dua kali, aku melewati rumahnya sambil pura-pura melihat ke arah sungai.
Aku hanya bisa kaget ketika ia menghentikanku, mengundangku masuk ke rumahnya. Bertanya, “Kemana saja selama ini?”
Aku tidak bisa menolak undangannya. Ketika aku pamitan, ia menyerahkan serantang makanan untuk ibu. Berpesan, walaupun sudah tinggal di kota, jangan lupa sering-sering pulang menjenguk ibu yang sekarang tinggal sendirian.
“Terima kasih,” jawabku.
Ia mengantarku sampai ke pinggir jalan. Melepas kepergianku.
“Mah, tadi aku disuruh Koneng makan di rumahnya,” kataku sambil menyerahkan pemberian Koneng.
“Masih ingat ia sama kamu,” kata ibu, nadanya mengatakan Koneng tidak hanya sekedar ingat, tetapi ingat anak yang ikut melempari tiang listriknya.
“Kalau yang itu kayaknya sudah lupa,” jawabku sambil menahan senyum.
Ibu tersenyum.
Ada sesuatu di senyumnya, bukan tentang Koneng.
“Memangnya kenapa, Mah?”
“Hanya ingat ayahmu,” jawabnya, “waktu kamu berangkat malam itu, ayahmu sudah menebak, kamu bakalan melempari tiang listriknya Koneng.”
“Kenapa nggak diingatin supaya jangan macam-macam?”
“Karena kalau dilarang, kamu malah pasti akan melakukannya.”
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 3895 reads
adoohh cerita ini..
Jadi kangen kampung nun jauh diseberang..
Bless all of Us..
Orang di "seberang"
Terima kasih,
Orang-orang yang pernah tinggal di "seberang" menyadari bahwa tokoh-tokoh dalam cerita ini memang hidup di sebuah kampung.
Menyadari kalau Koneng, polisi, kepala PLN, dan orang-orang kampung itu memang ada, mereka melempari tiang listrik di depan rumah orang, hanya karena orang itu terlalu menanggapinya.
Hansip Tiang Listrik
Di kompleks perumahan saya jaman jadul dahulu, setiap jam hansipnya 'mengentungi' tiang listrik setiap jem, bikin nggak bisa tidur :(