Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Resensi buku- Ketika manusia dianggap besar dan Allah dianggap kecil
Judul : Ketika manusia dianggap besar dan Allah dianggap kecil
Penerbit : Momentum
Penulis : Edward T.Welch
Tebal : 277
“Takut akan manusia” adalah masalah integral manusia. Untuk dapat benar-benar memahami akar dari takut akan manusia, kita harus mulai dengan mengajukan pertanyaan :” Mengapa saya terlalu memperhatikan harga diri saya ? - atau mengapa saya perlu orang lain untuk mengganggap saya hebat?”. Bagaimana dan mengapa saya takut kepada orang lain ? Penulis membahas hal ini secara detail sebanyak 4 bab dalam buku ini. Di setiap akhir bab, penulis juga memberikan bahan renungan berupa pernyataan/ pertanyaan yang membuat kita lebih mudah untuk mengerti pembahasan yang diberikan.
Apa yang membuat kita takut akan manusia ? Menurut penulis, ada 3 penyebab yaitu : kita takut karena mereka dapat mempermalukan/ menelanjangi kita, mereka dapat menolak kita dan mereka dapat mengancam kita. Lalu, bagaimana kita bisa mengenali rasa takut tersebut ? Amatilah tindakan dari kehidupan pribadi kita yang berbeda dengan kehidupan sosial kita, adakah dosa yang dapat dengan mudah kita akui di hadapan Allah, tetapi sangat sulit kita ceritakan di hadapan orang lain ? Pernahkah kita merasa begitu tergantung dengan pemikiran orang lain atas diri kita ? ( misal : merasa tidak dihargai, khawatir akan pandangan orang lain terhadap kita), atau adakah sesuatu yang kita takuti yang mengancam diri kita ? Asumsi dunia mendukung bertumbuhnya “Takut akan manusia” , seperti : adanya penekanan akan pentingnya identitas pribadi, potensi individu dan perkembangan diri tanpa dikaitkan dengan ketaatan pada otoritas Ilahi pada zaman modernisasi, adanya asumi mengenai sifat keilahian dalam diri manusia yang berkembang pada abad ke-19 dan munculnya penekanan akan pentingnya kebutuhan psikologi sehingga mendewakan individu dalam hidup manusia. Ketika manusia dianggap besar, Allah otomatis akan dianggap kecil. Akar dari “takut akan manusia” adalah dosa. Sejak kejatuhan manusia pertama , sejak itulah “takut akan manusia” muncul dalam diri manusia. Relasi manusia dengan Allah, itulah yang akan menjadi penentu apakah manusia hidup takut akan Allah atau manusia.
Lalu bagaimana mengatasi “takut akan manusia? ”. Takutlah akan Tuhan dengan cara memahami Allah sebagai satu-satunya yang besar dan mulia dan taklukkanlah diri kepada Allah dengan perasaan hormat dan hati yang penuh ketaatan. Takut akan Tuhan tentu saja bukan sesuatu yang instan , tetapi membutuhkan suatu proses karena Iblis , keinginan daging dan dunia akan menghambat hal itu. Belajarlah dari para tokoh Alkitab yang menjadi saksi Iman dalam perjalanan hidup mereka bersama Tuhan melalui Alkitab. Penulis menggambarkan secara jelas bagaimana Kasih dan Kuasa Allah dinyatakan saat Dia memakai Musa untuk membawa umat pilihanNya keluar dari Tanah Mesir . Bagaimana Yakub yang harus berada dalam ketakutan dan akhirnya bersandar kepada Allah saat melarikan diri dari kejaran Esau. Bagaimana kesetiaan Ayub kepada Tuhan walaupun telah kehilangan semua hartanya tetapi tidak pernah mengutuk Tuhan. Bagaimana juga gambaran kasih Hosea kepada istrinya, Gomer , yang melukiskan besarnya Kasih Tuhan kepada manusia yang seharusnya tidak layak untuk mendapatkan kasih tersebut. Bagaimana Daniel dan teman-temannya yang tetap bersandar kepada Tuhan walaupun mereka akan menghadapi kematian.
Selain memahami Kuasa dan Kasih Tuhan yang demikian besar , kita juga perlu mengenal Tuhan secara benar. Renungkanlah Karya Tuhan yang begitu indah melalui firmanNya, ciptaanNya dan yang terpenting karya keselamatan yang telah diberikan kepada manusia. Tuhan begitu mengasihi manusia dan menciptakan manusia sesuai dengan gambar dan rupa diriNya. Tuhan ingin manusia merefleksikan sifat-sifat Allah dalam keterbatasan manusia. Belajarlah untuk mencari tahu apa tujuan Allah menciptakan kita. Pengenalan yang benar bahwa manusia adalah “gambar dan rupa Allah “ akan membuat kita bertumbuh dalam “Takut akan Tuhan “.
Secara fakta, manusia membutuhkan perasaan untuk dihargai, dihormati, dikasihi, dimengerti dan inilah yang disebut dengan kebutuhan psikologi manusia. Menurut pandangan umum , ada 3 kebutuhan utama manusia yaitu kebutuhan biologis ( makanan, minuman, pakaian, rumah ), kebutuhan spiritual ( pengampunan dosa, pengudusan ) dan kebutuhan psikologis ( kasih, harga diri, dll ). Lalu apa hakikat keberadaan kita ? Penulis membuat asumsi hakikat keberadaan kita sebagai wadah atau cawan yang perlu diisi dengan berbagai kebutuhan . Bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka kita akan merasa hampa.. makanya kita harus berhati-hati memilih pribadi yang akan mengisi kebutuhan tersebut. Kita dapat memandang kepada sesama atau kepada Kristus.
Bagaimana tinjauan Alkitab atas kebutuhan psikologi dalam diri manusia? Apakah Alkitab memberikan persetujuan mengenai pentingnya kebutuhan psikologi atau malah menentang kebutuhan tersebut ? Dalam Psikologi kebutuhan modern, alasan yang wajar untuk memuji Allah adalah karena apa yang dilakukanNya bagi kita. Namun dalam Perspektif Alkitab, Allah layak memperoleh pujian karena Ia adalah Allah. Ia adalah Sumber Kasih itu sendiri. Fokusnya bukan pada kebutuhan kita yang terdalam, tetapi keberadaan Allah. Penulis menekankan satu pandangan yang penting bahwa : Yesus mati bukan untuk meningkatkan harga diri kita, sebaliknya Yesus mati untuk mempermuliakan Allah Bapa dengan menebus umat manusia dari kutuk dosa. Salib memang membawa beragam berkat dan salah satunya adalah kita tidak lagi dibuang dari hadirat Allah, tetapi memiliki hubungan yang intim dengan yang maha kudus yaitu kebutuhan spiritual kita. Kebutuhan spiritual seharusnya menjadi kebutuhan yang paling vital dibandingkan dengan kebutuhan psikologi.
Yesus adalah teladan dalam hidup kita untuk menjadikan Allah lebih besar daripada manusia. Yesus merefleksikan kuasa dan kasih Allah secara sempurna dalam hidupNya. Adalah fakta bahwa orang yang lebih mengasihi akan lebih banyak menderita. Sekalipun demikian, jalan kasih Allah adalah juga jalan yang membawa kepada kelimpahan. Seharusnya cawan kita tidak mampu menampung apa yang dilimpahkan Allah kepada kita yaitu sukacita yang melimpah saat kita boleh hidup bersama dengan Allah.
Takutlah akan Tuhan dan melakukan perintahNya.. Nikmatilah hidup bersama dengan Allah
Edward T.Welch adalah seorang konselor di Christian Couseling dan Educational Foundation di Glensidem Pennyslvaania dan seorang dosen dalam bidang Teologi Praktika di Westminster Theological Seminary di Philadephia. Dia adalah penulis bersama dari buku Addictive Behrvior dan seorang Kontributor di Journal of Bilblical Counseling.
- Yenti's blog
- Login to post comments
- 5128 reads
Keberadaan Allah
Dalam Psikologi kebutuhan modern, alasan yang wajar untuk memuji Allah adalah karena apa yang dilakukanNya bagi kita. Namun dalam Perspektif Alkitab, Allah layak memperoleh pujian karena Ia adalah Allah. Ia adalah Sumber Kasih itu sendiri. Fokusnya bukan pada kebutuhan kita yang terdalam, tetapi keberadaan Allah.
Kalau fokusnya sudah berganti, menjalani hidup memang jauh lebih mudah. Kita jadi semakin kecil.
I have it :)
Saya punya buku ini, seseorang memberikannya pada saya saat saya seringkali terlalu vocal terhadap ketidaksetujuan saya pada ajaran gereja hehehe :)
- Silent is Golden plated with Swarovski -
Mengaku Kristen- tapi bukan Kristen
Saya berpikir, buku yang dibaca akan mempengaruhi pemikiran yang dimiliki. Buku yang lebih gampang dimengerti dan penjabarannya lebih bagus adalah " God's abundant life" dibandingkan buku ini, walaupun tujuannya sama yaitu : Hidup berlimpah di dalam Allah.
Intinya : kadang-kadang kita terlalu "bangga" dengan keberadaan kita sebagai seorang Kristen, tetapi hidup kita tidak mencerminkan "Kekristenan" yang kita akui.
Jikalau dihubungkan dengan ketidaksetujuan kepada gereja, saya pikir agak kurang berhubungan , karena buku ini tidak membahas mengenai ketidaksetujuan terhadap gereja, tetapi gimana bertumbuh di hadapan Allah dalam suatu kekristenan yang sejati.
@Yenti, gereja = "Tuhan"
Mayoritas jemaat Kristen secara tidak sadar memiliki pemikiran kalau gereja = 'Tuhan'. Contohnya: lebih bela2in pelayanan di gereja daripada sekolah, mereka katakan 'melakukan pekerjaan Tuhan'. Memberi kepada gereja itu berarti memberi kepada 'Tuhan'. Mengutamakan 'Tuhan' lebih dari yg lainnya itu berarti implikasinya adalah mengutamakan gereja. Ini sekedar contoh kecil saja. :)
Jadi mengungkapkan ketidaksetujuan ajaran gereja bisa jadi dianggap menolak ajaran Tuhan atau mengecilkan Tuhan. Saya rasa pemberi buku itu juga tidak membaca bukunya dulu sebelum diberikan, dia hanya baca resensi bagian belakang buku saya yakin itu hehehe. Dia berikan itu karena perduli dg saya, amin. Hueahuea :)