Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Apakah Yesus Seorang Yogi?

Erfen Gustiawan Suwangto's picture

Pembahasan yang semakin marak akhir-akhir ini. Sesungguhnya wajar timbul motivasi untuk menghubungkan Yesus dengan kepercayaan apapun karena Yesus adalah tokoh yang sangat populer, tetapi tentu akan menjadi salah jika ini tidak disikapi secara objektif. Seperti penganut kepercayaan Gnostik yang telah kalah di Mahkamah Internasional karena telah membuat injil palsu demi mencampur ajaran Yesus dengan kepercayaan mistik lokal mereka. Mereka membuat injil yang mencatut nama-nama rasul Yesus seperti injil Tomas, injil Maria Magdalena, dsb. Sedangkan keempat injil telah terbukti ditulis oleh rasul Yesus sendiri. Bukankah kerukunan antarumat beragama / keyakinan tidak perlu dengan cara mencampuradukkan doktrin khusus dari tiap agama?. Oleh karena kita dapat dipersatukan oleh ajaran umum tiap agama dan kepercayaan, yaitu KASIH. Menyatukan doktrin khusus justru membentuk “Unity in Uniformity” tatkala kita berusaha untuk membentuk “Unity in Diversity”.

Dari umat Islam, Majelis Ulama Indonesia, melalui fatwanya tanggal 29 Juli 2005 juga telah menyatakan bahwa paham Pluralisme Radikal bertentangan dengan Islam dan haram umat Islam memeluk paham ini. MUI mendefinisikan Pluralisme Radikal sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme radikal juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Dr. Anis Malik Thoha, pakar Pluralisme Agama, yang juga Rois Syuriah NU Cabang Istimewa Malaysia, mendukung fatwa MUI tersebut dan menyimpulkan bahwa Pluralisme Radikal memang sebuah agama baru yang sangat destruktif terhadap Islam dan agama-agama lain.

Tahun 2000, Paus Yohanes Paulus II sudah menolak paham Pluralisme Radikal dengan mengeluarkan Dekrit ‘Dominus Jesus’. Dari kalangan Protestan di Indonesia juga muncul penolakan keras terhadap paham ini, dengan keluarnya buku Dr. Stevri Indra Lumintang berjudul ‘’Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini”, (Malang: Gandum Mas, 2004). Frans Magnis Suseno tokoh Katolik terkenal di Indonesia dan Direktur Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara) mendukung “Dominus Jesus” itu, dan menyatakan, bahwa “Dominus Jesus” itu sudah perlu dan tepat waktu. Menurutnya pula, ‘Pluralisme Radikal’ hanya di permukaan saja kelihatan lebih rendah hati dan toleran dari pada sikap inklusif yang tetap meyakini imannya. Bukan namanya toleransi apabila untuk mau saling menerima dituntut agar masing-masing melepaskan apa yang mereka yakini.Terhadap paham semacam itu, Frans Magnis menegaskan: “Menurut saya ini tidak lucu dan tidak serius. Ini sikap menghina kalau pun bermaksud baik. Toleransi tidak menuntut agar kita semua menjadi sama, mari kita bersedia saling menerima. Toleransi yang sebenarnya berarti menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan agama lain, dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan mereka dalam keberlainan mereka! Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan hormat penuh identitas masing-masing yang tidak sama.¨Karena itu, sebagai seorang rohaniwan Katolik, wajar jika Frans Magnis Suseno menolak keras-keras paham tersebut.

Penganut agama Hindu ternyata juga menolak paham ‘Pluralisme Radikal’. Paham ini, katanya, sebagai ‘Universalisme Radikal’. Telah terbit buku yang berjudul ”Semua Agama Tidak Sama”, terbitan Media Hindu tahun 2006. Buku yang berisi kumpulan tulisan sejumlah tokoh dan cendekiawan Hindu ini secara tajam mengupas dan mengritisi paham Pluralisme Radikal yang biasanya dengan sederhana diungkapkan dengan ungkapan ‘’semua agama adalah sama’’. Buku ini diberi pengantar oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), yang merupakan induk umat Hindu di Indonesia. Catatan ini dibuat karena ingin berbagi masukan, bukan untuk pembelaan karena pengikut Kristus tentu tidak akan pernah goyah oleh ajaran apapun karena kebenaran tidaklah perlu dibela.

Kembali lagi ke pertanyaan, “Apakah ajaran Yesus berhubungan dengan mistisisme Timur?” Bagi orang Kristen yang telah mendalami ajaran-Nya (apalagi orang Kristen yang juga mantan penganut mistisisme Timur), maka jelas jawabannya TIDAK. Mengapa? Karena Yesus jelas mengajarkan doa secara langsung kepada Tuhan dengan bercakap-cakap kepada Tuhan dan bukan dengan meditasi / yoga, salah satunya adalah Doa Bapa Kami yang terkenal itu. Belum lagi dari Firman-Nya yang jelas mengajarkan wahyu Tuhan dalam Taurat. Mungkin banyak yang mengira Yesus adalah pemberontak terhadap Taurat padahal Ia sendiri mengaku tidak meniadakan hukum Taurat. Ia hanya membaharui penerapan hukum Taurat yang tidak dilakukan ahli Taurat karena ahli Taurat di zaman itu lebih sibuk dengan penafsiran kaku terhadap ayat Taurat. Ia bahkan melawan iblis dengan ayat-ayat Taurat tatkala dicobai iblis di padang gurun. Jadi, anggapan kekristenan terpaku pada ayat-ayat yang ‘mati’ sangatlah keliru. Oleh karena kekristenan mementingkan inti dari ayat itu. Oleh karena itu, Alkitab diterjemahkan ke dalam banyak bahasa agar semua orang dapat membaca sehingga lebih mudah untuk mendapatkan intinya. Apabila kekristenan kaku pada ayat, tidaklah mungkin Alkitab diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Beli alat elektronik saja perlu buku petunjuk pemakaiannya, termasuk ajaran spiritualitas. Akan tetapi, tentu penerjemahan dan penafsiran juga tidak bisa sembarangan karena harus berpatokan pada bahasa aslinya sehingga sesuai konteks. Janganlah kiranya ‘kebebasan penerjemahan Alkitab’ ini tidak disikapi secara bertanggungjawab. Yang paling penting tidak kehilangan inti dari ajaran itu, dan yang lebih penting lagi adalah mempraktikkan ajaran itu dalam tindakan nyata.

Anggapan bahwa kekristenan adalah agama langit yang kaku adalah juga SALAH. Oleh karena Yesus tidak mengajarkan agama, apalagi agama langit!. Namun, kelembagaan dalam kekristenan diperlukan karena keterpaksaan. Karena Yesus mengajarkan taat pada pemerintah sedangkan pemerintah sering mewajibkan agama untuk dilembagakan, lengkap dengan atribut tempat suci, kitab suci, dll. Ini menunjukkan kekristenan tidak mengancam keutuhan suatu negara. Di sisi lain, tentu manajemen kelembagaan diperlukan untuk mengatur manusia, karena Yesus sendiri menunjuk Petrus sebagai pemimpin para rasul, bahkan menunjuk Yudas (yang akhirnya mengkhianati-Nya) sebagai bendahara.

Apakah Yesus ke India dan Tibet? Mungkin saja tetapi buktinya belum jelas. Karena dalam tayangan Discovery Channel, penduduk asli di sana saja meragukan. Bukannya tidak mungkin isu ini dihembuskan oleh orang dari luar India dan Tibet untuk maksud tertentu. Lihat saja Dan Brown yang membuat novel fiktif saja masih banyak percaya akan novel itu, terutama mereka yang selama ini pada dasarnya tidak senang dengan kekristenan. Betapa gereja sering ingin dijatuhkan. Namun, tentu karena itu semua hanya rekaan subjektif untuk memuaskan ego, maka jarang ada pengikut Kristus yang murtad setelah diserang oleh berbagai pihak secara doktrin, bahkan secara fisik. Anggaplah Yesus pernah ke Timur, ada kabar bahwa Ia ditolak karena mengajarkan Weda kepada kaum selain Brahmana padahal hanya kaum Brahmana yang berhak berdasarkan kasta. Lagipula saat usia 12 tahun, Ia telah mengajar para ahli Taurat yang usianya tentu jauh lebih tua! Kemungkinan besar yang diajarkan Yesus adalah injil, bukan Weda karena injil memang mengabarkan pembebasan. Oleh karena itu, negara yang mayoritas penduduknya Kristen menjadi pelopor demokrasi, penegakan HAM, dan emansipasi wanita tanpa harus menjadi negara agama. Oleh karena Yesus sendiri menganjurkan pemisahan agama dengan negara. Sayangnya demokrasi yang diterapkan itu berubah menjadi liberalisme yang melenceng jauh dari demokrasi dalam injil. Tetapi, terlepas dari manusianya, jelas yang diajarkan injil adalah demokrasi dan penegakan HAM yang murni tanpa berlatar belakang politik yang kerap dilakukan negara Barat.

DIMANAKAH YESUS KETIKA BERUSIA 12-30 TAHUN?

Dari deskripsi tersebut di atas, jelas bahwa semua teori yang mencari-cari “the silent period” Yesus itu, akan tinggal sebagai spekulasi cerdik belaka. Bahkan teori-teori seperti itu sebenarnya tidak akan mucul apabila kita memahami dengan baik kebudayaan dan agama Yahudi, yang menjadi latarbelakang kehidupan Yesus, “yang lahir
dari seorang perempuan yang takluk kepada hukum Taurat” (Galatia 4:4).

Mengapa Yesus hanya ditampilkan hanya kelahiran-Nya, usia 12 tahun dan baru ditulis lagi setelah berusia 30 tahun? Dari perspektif Yahudi, hal itu bukan hal yang aneh, sebab menurut budaya Yahudi seorang laki-laki baru boleh mengajar di depan umum pada usia 30 tahun.

Menurut hukum Yahudi, usia seorang anak digolongkan dalam 8 tahapan:

1) YELED, “usia bayi”;
2) YONEK, “usia menyusu”;
3) OLEL, “lebih tua lagi dari menyusu”;
4) GEMUL, “usia disapih”;
5) TAPH, “usia mulai berjalan”;
6) ULEM, “anak-anak”;
7) NA’AR, “mulai tumbuh remaja”; dan
8) BAHAR, “usia remaja”.

Dari catatan tentang kehidupan Yesus dalam Injil, kita hanya membaca tiga klasifikasi usia saja yang dimuat, yaitu bayi (YELED), usia disapih (GEMUL), ketika ia diserahkan di Bait Allah di hadapan Simeon dan Anna, dan remaja (BAHAR, 12 tahun) ketika Yesus diajak Yusuf dan Maria, kedua orang tuanya, ke Yerusalem.

Mengapa Yesus muncul pada usia 12 tahun? Karena usia 12 bagi tradisi Yahudi zaman Yesus begitu penting, karena seorang anak laki-laki Yahudi harus melakukan upacara yang disebut BAR MITSVAH (anak Hukum).

Menurut catatan Yahudi, pada usia 12 tahun Nabi Musa meninggalkan rumah putri Firaun, Samuel menerima suara yang berisi visi Ilahi, Salomo (Nabi Sulaiman) mulai menerima Hikmat Allah dan Raja Yosia menerima visi reformasi agung di Yerusalem. Dalam rangkaian ritus Yahudi itu Yesus harus melakukan ‘ALIYAH (naik) dan BEMAH (menghadap mimbar untuk menerima kuk hukum Taurat). Upacara ini dilakukan pada hari Sabat, karena itu disebut juga THEPILIN SHABAT.

Sejak abad-abad Pertengahan, usia BAR MITSVAH dilakukan pada usia 13 tahun. Menurut literatur Yahudi abad pertengahan Sepher Gilgulim, semua anak Yahudi sejak usia 12 tahun, mulai menerima ruah (roh hikmat) dan pada usia 20 tahun ditambahkan baginya NISHAMA (reasonable soul, “jiwa akali”).

Mulai usia 20 tahun tersebut seseorang harus memasuki sekolah khusus Yahudi (BET MIDRASH). Sedangkan tahapan-tahapan pendidikan Yahudi adalah sebagai berikut: MIKRA (membaca Taurat) mulai usia 5 tahun, MISHNA mulai usia 10 tahun, TALMUD pada usia 13 tahun (zaman Yesus 12 tahun); MIDRASH (madarasah) pada usia 20 tahun, dan sejak usia 30 tahun baru boleh mengajar di depan umum.

Dari tahapan-tahapan pendidikan Yahudi pada zaman Yesus serta latar belakang agama dan budayanya, jelas bahwa spekulasi-spekulasi mengenai 18 tahun kehidupan Yesus yang hilang, sama sekali tidak mempunyai landasan sejarah. Jadi, kemana Yesus selama 12 tahun sampai 30? Jawabannya, berdasarkan data-data Injil sendiri (Matius 13:55; Markus 6:3), Yesus menjalani kehidupan sebagaimana layaknya anak-anak Yahudi dan ia bersama keluarganya bekerja di Nazaret sebagai tukang kayu.

Mengapa kisah kehidupan-Nya baru dicatat setelah usia 30 tahun? Karena memang demikianlah lazimnya kehidupan orang Yahudi, sedangkan usia 12 tahun juga disinggung karena sebagai usia BAR MITSVAH.

Alkitab cukup memberikan informasi bahwa sejak kecil hingga berusia ± 30 tahun, Yesus Kristus tinggal di Nazaret :

* Lukas 2:51
Lalu Ia pulang bersama-sama mereka ke Nazaret; dan Ia tetap hidup dalam asuhan mereka. Dan ibu-Nya menyimpan semua perkara itu di dalam hatinya.

Dengan ini Alkitab merujuk bahwa usia 30 tahun merupakan usia yang sering dirujuk dalam Alkitab untuk seseorang memulai “tugas”nya. Yusuf mulai menjadi penguasa muda Mesir saat berusia 30 tahun. Orang Yahudi yang “wajib tugas” ditentukan mulai usia 30 tahun hingga 50 tahun (Bilangan 4), Daud mulai menjadi raja saat berusia 30 tahun. Maka, adanya spekulasi-spekulasi Yesus sampai di India untuk belajar yoga bersama guru-guru dari Timur jauh, adalah fiksi yang hanya menarik didengar, ketimbang dibuktikan secara historis.

Ada juga anggapan bahwa Yesus tidak menderita saat disalibkan karena telah belajar Yoga. Ini kesalahan yang sangatlah besar! Ia sudah menderita sebelum disalibkan, dalam hidup sehari-harinya Ia pernah marah, menangis, dsb karena ulah manusia. Inilah prinsip dasar kekristenan bahwa Tuhan itu berkepribadian, tidak seperti ketuhanan dalam prinsip kepercayaan Timur di mana kesempurnaan itu digambarkan sebagai kelepasan dari semua hal-hal yang sifatnya emosional. Di Taman Getsemani, Yesus sampai berkeringat darah, yang dalam dunia medis hal ini bisa terjadi akibat ketakutan yang luar biasa. Ia juga jatuh berkali-kali sepanjang perjalanan dalam membawa salib-Nya ke Bukit Golgota. Akhirnya, Ia berteriak menjelang kematian-Nya yang menunjukkan betapa menderita-Nya Ia. Ini dasar kekristenan yang menjadikan umat Kristen memegang teguh iman-Nya walau diintimidasi sekalipun karena tidak pernah ada tuhan lain, nabi, atau avatar yang berkorban sedemikian besar bagi manusia. Kita yang harusnya disalibkan, tetapi Tuhan yang Suci malah yang berkorban. Ada anggapan juga bahwa umat Kristen ‘memaksa’ dalam menginjili padahal itu justru menunjukkan ketidakegoisan karena ingin agar rekan-rekan yang lain juga mengetahui Kabar Baik ini. Namun, apabila memang ada pengikut Kristus yang menjadi batu sandungan, itu tentu perihal lain yang terlepas dari kebenaran injil itu sendiri.

Apakah pengabaran injil berlatarbelakang politik? Mengabarkan Tuhan yang disalibkan dan mengajarkan kasih tanpa syarat, adalah suatu hal yang tidak menguntungkan secara politik! Salah-salah malah menambah musuh dan diintimidasi. Namun, hal ini tidak menjadi halangan apabila itu memang suatu kebenaran. Apakah injil diubah? Walau ada pengikut Kristus yang menjadi batu sandungan seperti para pejuang perang salib, tetapi tidak ada yang berani mengubah bahwa Yesus mengajarkan KASIH, bukan perang. Tentu ini pemeliharaan Tuhan terhadap injilnya. Jika umat Kristen ingin mengubah injil, tentu yang paling pertama diubah adalah penyangkalan bahwa Yesus disalib. Mengapa? Karena mengabarkan injil tentang Tuhan Yang Disalibkan tentu adalah kekonyolan bagi orang lain. Namun, kenyataannya hal-hal tersebut tidak diubah karena memang itu kenyataannya! Bahkan banyak aib para nabi pun ditulis, termasuk kisah Nabi Daud yang berselingkuh! Skandal yang lain juga banyak tertulis. Itu semua menunjukkan objektivitas injil supaya bisa menjadi pelajaran bagi manusia. Hanya Yesus yang sempurna di dalam injil, sedangkan nabi yang lain juga ditulis memiliki banyak kekurangan. Begitu juga fitnah terhadap Rasul Paulus memalsukan injil, sangatlah tidak berdasar. Oleh karena sebelum menjadi penginjil, Paulus adalah perwira Romawi yang membunuh orang-orang Kristen. Ketika ia bertobat, ia malah balik menjadi penginjil, bahkan dihukum mati karena penginjilannya. Apabila ia mau, maka ia bisa saja terus naik pangkat dengan membunuh lebih banyak orang Kristen. Lantas mengapa ia menjadi penginjil yang tidak ada keuntungan dari segi politik maupun ekonomi? Karena ia mengetahui kebenaran dari injil itu sendiri sehingga membelanya sampai mati walau tanpa dengan kekerasan tentunya.

Banyak juga anggapan yang keliru, terutama perihal ajaran Kristen juga digabungkan dengan kepercayaan lain. Kekristenan menghargai budaya lokal asalkan budaya tersebut tidak dijadikan wahana penyembahan terhadap leluhur, dsb. Banyak gereja yang seperti ini, misalnya Gereja Kristen Jawa, HKBP, dll. Mungkin inilah yang menyebabkan ajaran Kristen ’seolah-olah’ juga hasil percampuran ajaran kepercayaan lain. Termasuk juga tradisi pohon Natal, dsb yang merupakan ‘penghargaan’ terhadap budaya lokal Eropa. Karena itu banyak aliran Kristen karena Yesus memang tidak mengajar ritual, tidak mengajar berapa kali harus berdoa, tidak mengajar berapa kali harus ke gereja, tidak mengatur masalah bentuk fisik gedung gereja atau masalah musik. Patokan suatu gereja dinamakan gedung gereja hanyalah ajarannya yang tetap mengajar bahwa Yesus sebagai satu-satunya Tuhan dan Juruselamat yang telah mati menebus dosa manusia, serta akan kembali di akhir zaman untuk menghakimi alam semesta. Selebihnya dapat dilihat kekristenan tidak pernah mensakralkan tempat karena yakin Tuhan bersemayam di hati manusia, dan justru manusia adalah gereja sejati. Gedung gereja hanyalah sarana perkumpulan umat seiman untuk saling menguatkan dan bersilaturahmi. Jadi jangan heran ada kebaktian di mall, auditorium, hotel, bahkan lapangan sepak bola! Simbol salib dll juga hanyalah lambang belaka. Malah gereja yang di mall/hotel tidak ada lambang salibnya.

Anggapan bahwa Yesus mengajarkan reinkarnasi dan karma juga keliru. Banyak ayat yang disalahtafsirkan termasuk ketika Yesus mengatakan bahwa Yohanes Pembaptis adalah Nabi Elia yang datang kembali. Ayat itu hanya kiasan karena ketika orang banyak menanyakan kepada Yohanes Pembaptis secara langsung, dengan tegas Yohanes Pembaptis berkata, “Bukan.” Lagipula Nabi Elia tidaklah mati sebelumnya, ia diangkat langsung ke surga dan akan turun lagi ke dunia sebelum kedatangan Yesus yang kedua kali. Padahal reinkarnasi mengandung pengertian manusia itu mati kemudian akan lahir menjadi manusia lagi di masa datang. Kekristenan hanya mengenal inkarnasi, yaitu ketika Allah menjelma menjadi Yesus Kristus, dan itu pun hanya terjadi satu kali saja. Ayat ketika Yesus berkata, “Aku dan Bapa adalah Satu.” juga sering disalahtafsirkan padahal artinya adalah Yesus adalah Allah itu sendiri.

Mujizat yang dilakukan Yesus juga bukan hasil dari pertapaan-Nya di padang gurun selama 40 hari atau selama ‘masa hilangnya’. Pengikut Kristus juga bisa melakukan mujizat itu sampai sekarang tanpa meditasi/ yoga! Banyak kesaksian para mantan pemimpin spiritual Timur yang sekarang menjadi Kristen dalam bentuk DVD / youtube, antara lain Pdt. Daud Toni dan Pdt. Theodores Tabaraka. Pdt. Daud Toni bahkan bisa berpindah tempat dalam waktu sekejap tatkala dia belum bertobat dan masih menjadi ahli kebatinan, seperti yang dilakukan Satya Sai Baba (spiritualis yang dipuja di India sekarang).

BAGAIMANA PANDANGAN KRISTEN TENTANG KEPERCAYAAN LAIN?
Orang zaman dahulu yang mencari jalan spiritualitas di jalan lain selain Yesus, tidaklah bersalah karena belum pernah mendengar injil. Penghargaan tetaplah tinggi karena bagaimana pun mereka juga berkehendak baik mencari jalan keselamatan, bahkan juga berdasarkan keyakinan itu juga merumuskan ajaran-ajaran moral demi kebaikan alam semesta. Namun, setelah injil tersebar ke seantero dunia maka keselamatan di dalam Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan tetapi disebarkan dengan tidak memaksa oleh karena manusia diciptakan dengan kehendak bebas. Apabila tetap berbeda keyakinan di zaman sekarang, maka semua harus kembali ke ajaran umum semua keyakinan, yaitu kasih. Kasih berdasarkan pada altruisme dan volunterisme yang menjadi ‘The Golden Ethic of Human Being’, serta harus dipegang oleh seorang atheis sekalipun. Tentunya kasih yang juga diterapkan dalam kerjasama nyata di berbagai bidang seperti kesehatan, pendidikan, dsb.

Yang sangat disayangkan adalah apabila ada orang Kristen yang memiliki paham pluralisme radikal ini. Oleh karena berarti ia telah meremehkan kematian Tuhan yang diyakini umat Kristen sebagai Penebus. Tidaklah mungkin kematian Tuhan itu sia-sia dan tidak mungkin Ia sengaja datang ke dunia untuk bertamasya! Biarlah orang lain menganut pluralisme radikal karena memang beberapa keyakinan mengajarkan paham itu, tetapi apabila orang Kristen juga menganut paham ini, jelas ia tidak layak lagi sebagai pengikut Kristus. Seperti Yesus pernah bersabda, “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga.” (Matius 10:32-33)

Dari semua pembahasan di atas, jelas Kristen bukanlah agama tetapi spiritualitas juga. Bahkan ‘pencapaian kesadaran’ dan ‘pembebasan terhadap agama’ yang dirindukan oleh kaum spiritualis Timur justru ada dalam Yesus Kristus. Apabila menganggap kekristenan sebagai kemunduran justru salah. Secara fakta saja kekristenan muncul di abad yang lebih baru, belum lagi ajaran tentang Allah yang disalibkan untuk menebus dosa manusia. Justru apakah kaum spiritualis Timur berani ‘keluar dari zona nyamannya’ untuk menerima semua masukan ini. Mengikut Yesus sangatlah sederhana. Sebagai contoh tatkala penjahat yang disalibkan di samping Yesus mengaku Yesus sebagai Juruselamatnya, maka Yesus berkata kepada orang itu, “Hari ini juga engkau bersama dengan Aku di dalam Firdaus. ” Sesederhana itu! Jadi, menganggap Yesus sebagai penganut kepercayaan mistisisme Timur bukanlah kemajuan, tetapi kemunduran karena mistisisme Timur mengajarkan ritual, dsb. Sedangkan penjahat yang di samping Yesus itu masuk surga bersama Yesus di saat detik terakhir kehidupannya tanpa sempat ia berdoa, dibaptis, berbuat amal, memperbaiki karmanya, meditasi, dll. Ini juga yang menjadi bantahan bahwa yang disalibkan itu Yudas oleh karena tidak tertulis dalam catatan manapun bahwa Orang Yang Disalibkan itu berteriak dirinya adalah Yudas, tetapi malah mengampuni orang yang menyalibkannya. Bahkan orang Romawi yang tadinya membunuh orang-orang Kristen malah sekarang menjadi negara dengan penganut Kristen terbesar. Padahal Roma memiliki banyak filsuf yang logis dan mengerti sejarah yang benar. Kiranya Tuhan memberkati kita semua.