Kelompok elit Saduki sudah musnah ratusan tahun lalu, namun mengapa Tuhan Yesus memperingatkan kepada murid-muridnya tentang hati-hati terhadap ragi orang Saduki dan orang Farisi (Mat 16:11), apakah karena kelompok elit tersebut sudah musnah corak pemahamanya ikut punah juga? Ternyata tidak, malah berkembang ikut menjadi larut dalam adonan-adonan pemahaman orang-orang Kristen, walau baik orang Saduki maupun orang Farisi bersaing sengit untuk perebutan kekuasaan, namun mereka bersatu untuk melawan Tuhan Yesus.
Corak pemahaman orang Saduki sebenarnya bertolak belakan dengan corak pemahaman orang Farisi, namun hebatnya mereka bisa menyatu seolah-olah tidak ada perbedaan yang signifikan demi “mengempur” Tuhan Yesus dan berusaha untuk mencari kesalahan-kesalahan Tuhan Yesus dalam pengajaran, perbuatan dan tutur katanya, sebisa mungkin demi “membunuh karakter” Tuhan Yesus mereka, tidak mempersoalkan jurang pemisah pemahaman diantara mereka, walau disatu peristiwa, baik orang Farisi dan orang Saduki berselisih paham tentang kebangkitan orang mati.
Namun lebih esensial, apakah hal tersebut yang dimaksud oleh Tuhan Yesus ? bukan sekedar itu saja, namun lebih dari itu, ada pemahaman-pemahaman yang dapat menghamirkan atau mensinkritismekan ajaran Firman itu sendiri
Namun kesamaan antara pemahaman orang Saduki dan orang Farisipun ada diantaranya, sama-sama demi kelangengan status kekuasaan, pengaruh atau dominasi melakukan segala cara bahkan cara-cara menjebak ataupun mencari-cari kesalahan yang sama sekali bukan subtansial dan mengada-ada saja, seperti contoh disaat orang Saduki bertanya kepada Tuhan Yesus dengan sembarangan dan asbun mengenai seorang istri yang memiliki beberapa orang suami, dan ketika meninggal menjadi istri siapakah dia?, dengan mudah Tuhan Yesus menjawab, bahwa memang kelak di kerajaan Sorga manusia tidak lagi hidup kawin dan mengawinkan (Mar 12:20-25).
Memang ciri orang pemahaman orang Saduki hanya menganggap FIrman Tuhan adalah 5 Kitab Musa saja, sedang kitab-kitab lain buat mereka bukanlah dalam “level” Firman Tuhan, relevansinya dengan pemahaman kondisi saat ini, bahwa ada orang-orang Kristen yang menjadi “hakim” atas Alkitab, dengan melakukan “standarisasi” lewat rasio, sehingga segala sesuatu “harus” terjelaskan dengan logis dan rasional, inilah ragi orang Saduki, mencoba menjelaskan segala sesuatu secara rasional, kebangkitan orang mati tidak rasional, keberadaan pribadi dan kuasa supranatural seperti malaikat dan iblis pun tidak rasional.
Namun “aneh”nya keberadaan Tuhan buat mereka adalah “rasional”, padahal secara implisit penjelasan kisah Henokh seharusnya bisa menjadi kunci bagi suatu dimensi supranatural yang adalah hakekat Tuhan itu sendiri, yang lebih mengenaskan lagi ketika jelas terulis di Kej 19 mengenai kedua malaikat yang akan meluluh-lantahkan Sodom dan Gomora, berarti 5 kitab Musapun tidak sepenuhnya mereka percayai.
Bagaimana corak memahami pemahaman orang Saduki ini ;
1. Pemahamannya cenderung menihilkan dimensi supranatural, hampir sama dengan orang Saduki, orang Kristen tersebut percaya Tuhan tapi tidak mempercayai adanya iblis ataupun melakukan metafora lagi terhadap sosok iblis kemudian iblispun tidak memiliki suatu kuasa apapun.
2. Pemahamannya cenderung mencoba untuk memberikan suatu penjelasan ilmiah terhadap suatu fenomena supranatural yang jelas-jelas adalah fenomena supranatural.
3. Pemahamanya cenderung mengikuti corak teologi liberal, yang mencoba melakukan suatu rasionalisasi Firman akan kondisi-kondisi manusia, bukan menanggap Firman sebagai suatu otoritas tertinggi yang harus ditaati dan dilakukan.
4. Biasanya argumentasi yang diberikan adalah argument skeptikal belaka, tanpa dapat menguraikan lebih lanjut dari sudut Firman Tuhan, namun seolah-olah bicara tentang Firman, namun satu ayatpun tak tersertakan dan tak terbahas sama sekali
Kemudian bagaimana pemahaman orang farisi ? pemahaman orang Farisi sangat jelas mempengaruhi denominasi Kristen yang mengatur sedetil-detilnya umat denominasinya, jangan minum ini, jangan makan itu, jangan sentuh ini dan itu, dsb, namun sama sekali tidak pernah menjelaskan apa hubungannya antara peraturan-peraturan tersebut dengan konteks dalam Alkitab, lebih lanjut ciri-ciri pemahaman orang Farisi :
1. Pemahamannya cenderung literal, kurang dapat mengkaitkan pemahaman yang ada dengan konteks kerohanian sehingga sulit untuk menemukan relevansi dalam pemahamannya ini
2. Pemahamannya cenderung legalistik dan formalistik, segala sesuatunya hanya berdasarkan peraturan-peraturan belaka, tanpa dapat mengurai esensi mengapa peraturan tersebut tertulis dan diberikan.
3. Biasanya argumentasi yang diberikan adalah argument pemaksaan, tanpa mau mengurai atau membuka suatu ruang pemahaman yang baru, ekslusif dan parsial (tanpa melihat secara komprehensif)
Apakah dalam seorang Kristen dapat tercampur aduk kedua pemahaman tersebut atau sekaligus menganut kedua paham tersebut?, tentu saja dimungkinkan karena itulah Tuhan Yesus berpesan hati-hati terhadap ragi orang Farisi dan orang Saduki, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menyikapi pemahaman-pemahaman ini dapat menjadi suatu ragi di ranah publik? Tentu solusinya adalah terhubung erat dengan gereja lokal dan membangun kebiasaan baik untuk bersaat teduh membaca Firman dan meminta hikmat dari Tuhan saja.
Sehingga dalam pemahaman yang benar dan baik, orang-orang percaya dapat memberikan jawab bahwa memang pemahaman orang Saduki dan orang Farisi adalah, ya dan amin, hanyal sebuah ragi yang dapat menghamirkan seluruh adonan, atau sinkritisme yang dapat membuat terombang-ambingnya pemahaman orang-orang percaya lainnya