Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Lelaki yang Ususnya Terburai
Ia berteriak-teriak di pintu neraka, mengira begitu mati langsung disambut tujuh bidadari. Bukan! Ia disambut setan merah bertanduk dan bertombak mata tiga yang langsung menendang pantatnya sehingga terperosok jatuh ke lubang neraka.
"Ia langsung masuk neraka," kata seseorang, "Tuhan bahkan tidak mau mengadilinya, langsung melemparkannya begitu saja ke neraka,"
"Astaga!" yang lain berseru, "Ususnya terburai keluar."
"Ia mati di Solo," kata seseorang yang kukenal.
Ia tahu aku pernah tinggal di Solo. Itu sebelum aku kembali ke daerah asalku, menjadi pegawai negeri. Pekerjaan yang membuatku masuk neraka.
"Dari mana kau tahu?" tanyaku.
"Sebelum kau sampai, ia berteriak kalau harus masuk surga karena mati di Solo demi perjuangan."
Tubuh itu terkapar sambil mengeliat kesakitan. Usus-ususnya terburai keluar melalui lubang besar menganga di perutnya. Entah apa yang membuat perutnya bisa berlubang seperti itu. Usus-usus itu saling melilit seperti sekumpulan cacing raksasa dalam berbagai ukuran saling membelit, warnanya putih kemerahan karena campuran darah dan cairan perut. Entah apa yang ia lakukan sehingga Tuhan tidak mau menutup perutnya yang menganga itu.
Ia berusaha bangkit.
Ia angkat kepalanya dengan bertopang pada kedua tangannya. Melihat usus-ususnya sendiri menjulur keluar, ia kembali rebah. Kedua tangan itu ia gunakan untuk memasukkan kembali isi perutnya. Setelah itu ia kembali berusaha bangkit, tetapi isi perutnya kembali keluar. Kudatangi ia. Kubantu berdiri sehingga kedua tangannya bisa menahan usus-usus yang mau keluar itu.
Entah apa yang ia lakukan di Solo sehingga Tuhan begitu murka.
"Kamu dari Solo, ya?" kataku.
"Aku gugur di sana," jawabnya.
"Aku rindu Solo," kataku, "mau cerita tentang Solo?"
"Nggak," jawabnya.
Ia meninggalkanku begitu saja, pergi dengan kedua tangan masih menahan usus-ususnya agar tidak terburai keluar. Ia tidak mempedulikan aku, padahal aku benar-benar ingin tahu keadaan Solo sekarang. Masih seperti dulukah Tirtonadi, Solobalapan, Sriwedari, Jurug, Pasar Triwindu, Pasar Legi dan pasar Klewer?
Dulu, aku ingin melihat Solo sebelum mati. Itu tidak pernah kesampaian. Lima tahun lembar kehidupanku ada di sana. Aku suka main ke Terminal Bis Tirtonadi. Menikmati suasananya, menikmati kehidupan malam di sana. Menonton bis yang berhenti untuk menurunkan penumpang; menonton tukang becak dan ojek yang berlarian mendekatinya. Tirtonadi memang penuh cerita. Sebelah timurnya tidak pernah sepi orang lalu-lalang atau sekedar duduk di warung tenda. Sebelah baratnya tidak pernah kehilangan sosok-sosok bencong yang mangkal di antara pusara yang mau dijual.
Waktu berlalu. Tanpa hari, tanpa siang, tanpa malam.
Melihatnya setiap saat berjalan sambil memegangi usus-ususnya yang terburai, aku malah makin ingat Solo. Dulu ada orang gila yang setiap hari berjalan kaki tanpa tujuan menyusuri jalanan kota itu. Aku juga mulai penasaran, apakah penghuni neraka yang satu ini menjadi hantu di Solo. Aku tahu kuntilanak, perempuan berpunggung bolong. Aku tahu hantuen, perempuan yang menjilati darah orang melahirkan, perempuan yang kepalanya bisa terbang bersama isi perut yang menyala terang di langit malam. Bisa jadi, di Solo sudah muncul hantu berperut bolong yang gentayangan sambil memegangi isi perutnya.
Suatu ketika, ia tersandung sehingga perut menindih usus-ususnya. Kutolong ia. Kubalikkan badannya, kubantu memasukkan usus-usus itu ke dalam perutnya.
Itu menyentuh hatinya.
Kutanya apakah Stasiun Solobalapan masih ada.
"Masih," jawabnya sambil merapikan isi perutnya.
"Dulu aku sering lewat sana. Kalau ke Jogja aku naik Prameks, turun di Solobalapan. Lalu naik becak ke Nusukan, aku tinggal dekat rel yang menuju Semarang."
Ia tidak tampak tertarik.
Kuperhatikan isi perutnya. Usus-ususnya malang melintang dalam berbagai ukuran. Besar, kecil dan sedang. Sisa-sisa darah masih menempel di permukaannya, bercampur dengan segala kotoran yang juga ikut menempel di situ. Kupikir ususnya tampak seperti rel kereta, dan lambungnya mirip gerbong raksasa. Jadi kulanjutkan, "Aku suka melihat palang kereta yang turun kalau ada kereta mau lewat. Aku selalu menutup mata supaya bisa menebak arah datangnya. Dari kiri atau dari kanan. Aku juga suka mendengar suara wanita dari pengeras suara yang mengatakan bahwa menurut undang-undang, kereta api boleh lewat seenaknya."
Ia semakin tidak tertarik.
Ia berusaha bangkit. Kubantu, kuletakkan kedua tangan di bawah ketiaknya. Kuangkat tubuhnya.
Ia berdiri.
"Malam-malam aku suka terbangun gara-gara kereta lewat. Tetapi setelah tinggal bertahun-tahun dekat rel, aku bahkan tidak sadar lagi ada rel dekat tempat tinggalku," kataku.
Ia diam saja.
"Persis seperti yang kita alami di sini," lanjutku, "karena terbiasa, kita merasakan sakit seperti bernafas saja. Sakit itu kita rasakan, kita bawa kemana-mana, tetapi tidak akan membunuh kita lagi."
Ia tatap lubang menganga di perutnya. Kupikir ia langsung mati begitu perut itu sobek, tetapi Tuhan tidak mau ia keenakan. Entah apa yang ia lakukan sehingga harus dihukum seperti ini. Tidak perlu kuhibur, ia pasti mampu melewatinya. Di sini, di tempat ini, bila masih belum mengerti, ia akan memahami arti keabadian.
"Dulu aku begitu mengenal Solo. Bahkan kalau sekarang aku terlempar ke Solo, dan kota itu tidak berubah. Aku langsung tahu apakah jatuh di Pasar Kliwon, Banjarsari, Jebres atau di Laweyan."
Ia hanya mendengarkan.
"Begitulah aku mengenal Solo," lanjutku. "Kamu?"
"Bagi kami, " jawabnya. "Solo tempat yang benar untuk gugur."
Pemilihan kata-kata yang aneh.
Ia meninggalkanku. Kuikuti, kusejajarkan langkah kami.
"Tahu simpang lima dekat Solobalapan?" tanyaku. "Dari arah Nusukan, kalau lurus terus akan melewati Pasar Legi hingga mentok tembok Mangkunegaran. Kalau menyerong ke kiri—dari simpang lima itu—akan melewati bekas pasar barang bekas. Masih ada orang jualan sepeda bekas di situ. Itu tembus di belakang Pasar Legi. Kalau ambil yang belok kiri, akan melewati Margoyudan hingga tembus ke daerah Palur. Kalau ambil yang kanan, akan melewati Solobalapan dan tikungan di depannya, lewat Pasar Nongko dan berujung di sudut tembok Mangkunegaran."
Ia diam saja.
"Aku suka pergi ke simpang lima itu, baru kemudian memilih kemana menggenjot sepedaku."
Usahaku sedikit berhasil.
Ia menoleh, "Aku pernah lama berdiri di simpang lima itu."
Siapapun pasti pernah.
Makanan pasti menarik. Apalagi bagi yang ususnya bocor.
"Aku suka makanan di Solo," kataku, "aku paling suka makan nasi liwet dengan ayam dan kuah yang banyak sehingga setelah itu aku bisa muntah kekenyangan. "
"Makanan terakhir yang kusantap di Solo," balasnya, "satu nasi bungkus dengan kerupuk."
"Nasi kucing?" tanyaku. "Aku dulu juga suka ke hik. Sialnya uangku habis lebih banyak kalau makan di situ. Karena gorengan dan segala macam sate kubantai semua."
Ia diam saja.
Kulirik perutnya. Nasi sebungkus dan kerupuk itu pasti masih ada dalam lambungnya.
"Sekarang makanan di Solo mahal, ya?" tanyaku. Ia hanya makan nasi bungkus ditemani kerupuk, sedangkan aku membicarakan makanan yang malah harus kumuntahkan. Mungkin kata-kataku menyakiti hatinya.
"Aku ke Solo bukan untuk mencari makan," jawabnya.
"jadi ngapain di Solo?"
"Berjuang."
Apakah ada perang di Solo? Aku tidak tertarik. Aku hanya ingin tahu apakah Pasar Triwindu yang dipindahkan ke Sriwedari sudah kembali ke Triwindu lagi? Kalau sudah, apakah barang-barang bekas dipajang rapi, tidak sesemrawut sebelum pindah? Apakah pasar menjadi lebih ramai karena kerapiannya? Kesemrawutanlah yang membuatku menyukai Pasar Triwindu.
Ia bilang tidak tahu.
Aku tanya apakah pasar buku bekas dekat Gladak masih ada. Ia juga bilang tidak tahu itu, tidak tahu itu di mana. Kuberitahu letaknya. Dari arah Nusukan, di simpang lima dekat stasiun, lurus sampai mentok tembok Mangkunegaran. Belok kiri, lalu belok kanan menyusuri tembok. Lurus terus sampai tembus Slamet Riyadi. Belok kiri lagi sampai di ujungnya. Sebelum benteng belok kanan, masuk gerbang Kraton. Pasar Buku bekas itu di depan alun-alun kraton. Kubilang, aku suka mengubrak-abrik buku bekas di situ.
Ia katakan, tidak akan menyia-nyiakan hidupnya untuk sesuatu yang tak berguna, seperti melihat buku-buku tidak bermutu. Ia bukan hidup untuk itu. Ia juga tidak akan pernah mau makan sampai muntah kekenyangan. Hanya orang tolol yang melakukan hal seperti itu.
"Jadi untuk apa?" tanyaku.
Ia pun bercerita.
Ceritanya dimulai dari simpang lima dekat Stasiun Solobalapan. Lama ia berdiri di situ sebelum membulatkan tekad mengambil salah satu jalan. Persis yang kulakukan sebelum mengayuh sepeda mengelilingi Solo. Aku tidak memahami sepenuhnya cerita itu. Tetapi akhirnya aku mengerti mengapa Tuhan begitu marah sehingga melemparkannya ke neraka langsung dengan perut terganga dan usus-usus yang terburai.
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 6161 reads
UUN - Ujung2nya Neraka
Ternyata yang tak berarti dan yang berarti sama-sama ke neraka yah
@Rusdy: Saya nggak ngerti
Maksudnya dengan yang tak berarti dan yang berarti itu apa ya?
Maksudnya
Maksudnya, di mata si 'usus yang terburai', dia udah melakukan hal-hal yang 'berarti' (nggak makan kekenyangan, dll). Eeeh, ternyata dia masuk neraka juga.
Sedangkan, yang makan kekenyangan, ternyata di neraka juga
Maksudnya
Maksudnya, di mata si 'usus yang terburai', dia udah melakukan hal-hal yang 'berarti' (nggak makan kekenyangan, dll). Eeeh, ternyata dia masuk neraka juga.
Sedangkan, yang makan kekenyangan, ternyata di neraka juga
Alkitabiah
Kira-kira alkitabiah nggak?
Gugur karena kelaparan ya?
Tidak
Ide cerita ini muncul gara-gara wall Fb-ku penuh dengan gambar "mengerikan" itu.