Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Tuhan Pasti Tertawa

Purnomo's picture

             Akhir Juni-2011 usai ibadah Minggu seorang teman yang bila berpapasan jalan ‘just say hallo’ mencari saya. “Aku dengar kamu mengurusi beasiswa di luar organisasi gereja,” katanya.

             “Kamu dengar dari siapa?”

              Ia menyebut satu nama yang adalah salah seorang distributor santunan SPP proyek SD Kristen Gratis. Ia bukan donatur karena proyek pribadinya sudah banyak. Yang saya tahu ia punya rumah singgah di Salatiga; menitipkan sapi di gereja-gereja pedesaan Banyumas; setiap tahun mencarikan pekerjaan bagi lulusan SMK sebuah gereja kecil di pesisir utara Gunung Muria.


              “Betul,” jawab saya.

             “Berapa jumlah anaknya?”

             “Yang di SD Tabita naik turun antara 50 sampai 80 anak.”

             “Dananya berapa?”

             “Tidak banyak. Kalau misalnya setiap anak SPP-nya 50 ribu, ya paling tinggi 4 juta sebulan,” saya lebih senang memakai kata ‘misalnya’ untuk orang yang belum saya ketahui maksudnya.

             “Dananya kamu dapat dari mana?” 

             “Dari kantongku sendiri dan beberapa teman.”

             “Siapa saja?”

             “Kamu mau ikutan?”

             “Nama yayasanmu apa?” ia malah ganti bertanya.

             “Aku tidak punya yayasan.”

             “Apa kamu tidak berpikir untuk menjadikannya sebuah yayasan?”

             “Tidak.”

             “Bagaimana kalau bergabung dengan aku. Aku baru mendirikan yayasan dengan akte notaris. ‘The Helper’. Dewan pengurusnya interdenominasi.” Lalu ia menyebut sejumlah nama yang beberapa diantaranya saya tahu adalah milyarder. “Dengan berada dalam The Helper kegiatanmu bisa cepat dikembangkan, tidak mandek, karena bisa mendapatkan dana besar.”

              “Tanpa jadi yayasan saja aku sudah sering ditawari dana besar oleh beberapa orang,” jawab saya. “Satu contoh saja. Seorang pengusaha bercerita ada SD di pinggir kota yang mau bangkrut dan ditawarkan kepadanya seharga 2 milyar. Ia mau membelinya asal aku mau mengurusinya dengan misi memberi pendidikan dengan biaya rendah kepada anak-anak marjinal. Aku menolak.”

              “Mengapa?”

              “Aku tidak suka kakiku terikat di satu tempat.”

              “Yang menawari siapa?”

              Saya tidak menjawab pertanyaannya karena sudah meraba arah pembicaraan ini.

              “Tidak etis kalau aku memberitahumu. Nanti kalau The Helper-mu sudah terbukti jalan bagus, pasti orang itu akan mencari kamu.”

               “Apa kamu tidak repot sendirian mengurusi 80 anak itu?” agaknya ia pantang menyerah.

               “Repot pasti. Tetapi ada senangnya. Proyek ini proyek pribadiku sehingga every single plan and strategy is absolutely on my own hand.

               “Kalau semua donaturmu marah lalu menghentikan donasinya, bagaimana?”

               “Kalau aku hanya bisa merogoh kantongku 100 ribu rupiah setiap bulan, ya aku turunkan jumlah anaknya dari 80 menjadi 2 orang saja. Gitu aja kok repot,” jawab saya sambil berhahahihi. Maka berakhirnya pembicaraan kami.

                Memang begitulah prinsip saya dalam melakukan kegiatan diaken bayangan. Bila itu proyek saya, maka pertama-tama harus saya danai sendiri. Kemudian saya ceritakan kepada teman-teman dekat. Jika mereka berminat terlibat, mereka akan memberikan uangnya tanpa mencampuri strategi operasionalnya. Keterlibatan mereka bisa membuat proyek ini lebih cepat berkembang dan menyusutkan ‘saham’ saya.

               Sebaliknya juga demikian bila ada teman mempunyai proyek diakonia di luar organisasi gereja atau yayasan. Seorang teman bercerita mempunyai rumah singgah di Salatiga yang menampung anak-anak yang nyaris terlantar sekolahnya karena miskin. Anak-anak ini kemudian tinggal di rumah singgah dan disekolahkan. Mereka memulai kegiatannya dengan doa pagi bersama dan mengakhirinya dengan doa malam bersama. Status mereka adalah titipan sehingga kapan saja orang tuanya bisa mengambilnya kembali. Saya ikut membantu dalam bentuk donasi bulanan tanpa sebelumnya meninjau kegiatan ini di lapangan. Ketika saya pertama kali mengunjungi rumah singgah yang terletak dalam sebuah kampung kecil, saya melihat mereka tidur seperti ikan sarden dalam kaleng karena sempitnya ruangan. Rencana membuat lantai dua tertunda karena ketiadaan dana. Saya mencarikan pinjaman tanpa bunga untuk menyelesaikan bangunan itu tanpa mencampuri rencana disainnya. Bahkan ketika dikabari bangunan lantai dua telah selesai, saya juga tidak ke sana untuk melihatnya. Kebetulan saja suatu hari saya menemani BLOSAS Iik J berkeliling Salatiga mencari tempat untuk kopdar SS sehingga bisa sekalian mampir ke rumah ini.

             Ketika teman yang sama ini menawari saya terlibat dalam proyeknya menitipkan sapi kepada pendeta-pendeta gereja pedesaan, saya menolak. Penolakan ini tidak berdampak buruk kepada hubungan kami. Bahkan kemudian ia bersedia menjadikan bengkelnya sebagai salah satu titik distribusi santunan untuk siswa SD Tabita.

              Akibat kenaikan SPP ajaran baru, saya telah berketetapan menyusutkan jumlah kelas yang disantuni dengan tidak lagi mengikutkan kelas 2 tanpa berkonsultasi dengan para donatur. Kamis 28 Juli menjelang setengah tiga dini hari seluruh perlengkapan administrasi dan uang santunan telah selesai saya persiapkan (lihat Tuhan pasti tersenyum). Empat jam lagi saya akan memberikannya kepada para distributor karena siswa akan mengambilnya tanggal 28 s/d 30 Juli. Sebelum mematikan komputer saya menyempatkan diri memeriksa transaksi di beberapa rekening saya lewat i-bank untuk persiapan membuat laporan keuangan bulanan kepada para donatur. Tanggal 5 Juli di sebuah rekening ada pemasukan 1 juta rupiah dengan catatan “beasiswa-HD”.

             Seperti BLOSAS “donatur-bayangan-penangkal-defisit” donatur HD juga tidak saya kenal. Namanya mulai tercantum dalam catatan keuangan saya setelah Hans teman gereja menyodori sebuah sampul pada bulan Desember-2006, “Ini dari temanku mau ikutan aksi diakonia kamu. Ia bukan anggota gereja kita, tinggal di Semarang, tetapi ia tidak mau diketahui identitasnya.” Setiap bulan melalui Hans ia memberikan donasinya, seratus ribu rupiah. Kemudian agar tidak merepotkan Hans saya minta pengiriman dilakukan lewat transfer antarrekening. Tetapi laporan keuangan bulanan kepada HD tetap saja saya titipkan kepada Hans karena HD tidak mau memberikan alamat imelnya. Bahkan nickname HD itupun saya ambil dari inisial nama Hans. (Dalam laporan keuangan bulanan yang saya distribusikan semua nama donatur saya tulis dalam bentuk kode yang hanya dikenali oleh ybs untuk mengaplikasikan “tangan kiri tak tahu apa laku yang kanan” agar proyek-proyek diakonia ini tidak dimanfaatkan sebagai ajang pameran kedermawanan seseorang. Ada beberapa orang yang tidak senang sehingga berhenti memberikan donasi.)

            Selama hampir 6 tahun HD telah terlibat dalam 3 proyek santunan pendidikan. Pertama dalam menyantuni beberapa remaja gereja saya, kemudian menyantuni seorang mahasiswa teologi, dan saat ini sebagai donatur SD Tabita. Selama itu ia konsisten dengan donasinya. Seratus ribu rupiah. Karena itu keesokan harinya saya menelpon Hans.

           “Hans, tanggal 5 temanmu transfer 1 juta rupiah. Ini salah kirim atau donasi untuk 10 bulan?”

           “Aku tidak tahu.”

           “Bisa kamu tanyakan?”

           “Daripada repot, sudahlah masukkan saja 1 juta dalam kas. Kalau memang nanti untuk 10 bulan, tentu bulan berikutnya dia tidak transfer lagi.”

           “Oke. Tolong beritahu dia uang sudah aku terima dan sampaikan terima kasihku.”

            Sabtu 20 Agustus 2011 saya datang ke SD Tabita untuk menyerahkan 54 lembar ‘surat undangan mengambil santunan’ kepada Bu Yanti karena santunan bulan itu bisa diambil dari tanggal 22 sampai dengan 24 Agustus. Dia tidak ada di kelasnya. Kelasnya diajar guru lain. Saya ke ruang guru dan bertanya kepada guru yang ada di sana.

           “Pak, Bu Yanti apa sudah pulang?”

           “Belum. Bu Yanti ada di ruang kepsek.”

           “Sedang rapat dengan kepsek?”

           “Bu Yanti sekarang kepsek, makanya ada di ruang kepsek.”

           “Ooooooooo. Lalu Pak Iman – kepsek sebelumnya – pindah ke mana?”

           “Jadi kepsek SMP Tabita.”

           Saya pergi ke ruang kepsek. Bu Yanti sedang menutup meja kerjanya dengan selembar plastik dan mengeratkannya dengan staples besar. Saya menyalaminya.

          “Congratulation Ibu kepsek baru. Sebagai seorang kepsek mbokyao jangan merendahkan citra seorang kepala sekolah. Masa meja kerja kepsek ditutup plastik bermotif kembang seperti meja warung tenda saja.”

          “Jangan mengejek ah.”

          Sambil menyodorkan bundel-bundel surat undangan saya berkata, “Ijinkan saya menyuruh kepsek. Tolong buatkan tabel seluruh siswa kelas 2 yang mencantumkan namanya, nama ayah, nama ibu dan alamatnya. Usahakan paling lambat Rabu minggu depan sudah selesai dan diberikan kepada Bu Tri distributor santunan yang rumahnya dekat sekolah ini. Hari Kamis pagi saya akan ke rumahnya untuk mengambil laporan pembagian santunan Agustus.”

          Mengapa mendadak saya merubah keputusan saya untuk tidak lagi menyantuni siswa kelas 2? Malam sebelumnya setelah selesai mempersiapkan semua perlengkapan administrasi pembagian santunan Agustus saya membuka i-bank. Tanggal 3 Agustus kembali HD mengirim 1 juta rupiah. Berarti HD menaikkan donasi bulanannya sebanyak 900 ribu rupiah dan itu cukup untuk menyantuni seluruh siswa kelas 2. Tidak menambah jumlah penerima santunan akan menyebabkan menumpuknya saldo donasi sampai 10 juta rupiah dalam setahun. Dan ini tidak saya sukai karena bisa menimbulkan kesan negatip dari pembaca laporan keuangan. Selain itu, bisa mendorong saya membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak esensial.

          Melihat wajah Bu Yanti berbinar saya berkata, “Saya tidak janji apa-apa lho. Hanya minta daftar anak saja kok. Saya permisi, Bu.”

        “Sebentar, Pak. Duduk dulu sebentar. Ada yang mau saya bicarakan.”

         Saya duduk di kursi tamu. Masih meja kursi yang lama. Agaknya pungutan uang mebel ruang kepsek sebesar 1 kali SPP tidak sepenuhnya sukses.

        Dia menyodorkan sepucuk surat. “Dari orang tua Sulistianingsih. Minta disantuni lagi.”

         Saya ingat Sulis adalah seorang dari 2 siswa yang dalam tahun ajaran lalu saya coret namanya dari daftar santunan karena selama 4 bulan berturut-turut santunannya tidak diambil. Yang lain, Retno, yang alasan ibunya, “Sekarang Retno mendapat beasiswa penuh dari Sekolah Minggunya. Jadi kami tidak berani mengambil santunan dari pihak lain.” Bukan main! Ketika saat ini sudah dianggap lumrah dan tidak salah (karena banyak yang melakukannya) menjadi Sugmacker – bukan saudaranya Schumacer yang dari Jerman tapi Sugih Macak Kere (kaya berias miskin) – masih ada orang miskin yang berprinsip seperti itu.

          Sedangkan Sulis? Sudah tidak mengambil santunan, SPP juga tidak dia bayar. Cerita Bu Yanti, suatu hari ibunya dipanggil karena sudah beberapa bulan SPP belum dibayar. Ibu Sulis mengiba-iba minta Bu Yanti bersabar karena ia belum punya uang. Saat itu mereka berbicara di halaman sekolah karena sedang jam istirahat. Ada seorang siswa yang berjalan di dekat mereka kemudian berhenti dan berkata, “Bohong, Bu Yanti. Ibunya Sulis ini baru beli mio baru.” Apa jawab ibu Sulis atas komentar kurangajar ini? “Tidak Bu, saya tidak beli mio baru. Sungguh, saya tidak punya uang. Mio itu kreditan.”

          Setelah sekilas saya membacanya surat itu saya  masukkan ke dalam tas. “Masih ada orang lain yang lebih pantas disantuni, Bu. Ada yang lain?”

        “Begini. Ada yang ingin saya tanyakan. Saya berencana menghidupkan kembali vocal group anak-anak untuk nantinya tampil di gereja-gereja dekat sekolah.”

        “Aduh, maaf Bu. Proposal yang dulu sudah dihanguskan karena terlalu lama diberikan kepada saya. Dana yang dulu disiapkan untuk kegiatan ini sudah dialihkan untuk kegiatan lain,” jawab saya.

              Pernah seorang pendeta sepuh saya minta memimpin persekutuan Jumat siang. Waktu ia tiba di sekolah, kelompok vocal group sedang berlatih di ruang TK dan ia menguping dengan wajah heran.

            “Anak-anak ini indah suaranya,” katanya kepada saya. “Ketepatan not dan ritmenya bagus, suaranya juga bening. Kelompok ini pantas ditangani dengan serius.”

            Beliau adalah the singing priest. Kegemarannya menyanyi membuat ia diminta oleh beberapa gereja untuk melatih paduan suara. Dalam berkotbah ia juga senang menyelinginya dengan menyanyi sambil memetik gitar.

           Kebetulan BLOSAS “donatur-bayangan-penangkal-defisit” mengirim uang walau kas belum defisit dengan catatan “untuk kegiatan di luar SPP”. Karena itu saya minta sekolah membuat proposal pembinaan vocal group ini dengan target dalam 1 tahun tampil 12 kali di 4 gereja terdekat. Tetapi walau ditagih setiap minggu proposal ini baru diberikan setelah hampir 3 bulan.

           “Saya tidak minta bantuan dana, Pak,” kata kepsek baru ini. “Saya sudah mengumpulkan orangtua siswa untuk membahasnya. Saya ingin mereka terlibat dalam bentuk patungan uang bila vocal group ini tampil di gereja. Tetapi seorang ibu – yang Muslim – berkata suaminya punya mobil panther untuk kerja dan hari Minggu bisa dipakai untuk kegiatan ini. Jadi saya tidak memerlukan uang untuk transportasinya.”

          “Lalu yang ingin Ibu tanyakan?”

          “Suatu kali saya berencana membawa anak-anak menyanyi di gerejanya Pak Pur. Apa perlu audisi sebelum tampil?”

          “Memangnya mau Indonesia Idol?”

          “Biasanya gereja besar tidak mau penyanyi pemula tampil dalam ibadahnya.”

          “Enggak, di gereja saya enggak perlu audisi. Ibu kirim surat saja agar bisa dijadwalkan.”

          “Nanti saya buat suratnya.”

          Saya menyalaminya berpamitan. Di pintu langkah saya terhenti. Saya berbalik.

          “Bu Yanti, untuk tabel yang saya minta tolong sekalian dicantumkan nama siswa kelas-1.”

            Lho, mengapa keputusan saya berubah lagi? Jika kelas-1 ikut disantuni tambahan dananya dari mana? Bukankah ini keputusan yang impulsif dan tidak rasional?

          Inilah senangnya mengurusi proyek diaken bayangan. Proyek ini proyek pribadi saya sehingga every single plan and strategy is absolutely on my own hand. Mau impulsif mau permisif mau tidak rasional mau dianggap kabur visi misinya, suka-suka sayalah.

          Bwahahahahahaha.

          Tuhan pasti tertawa.

 

                                                                     (30.08.2011)

 

Catatan: nama orang dan tempat telah disamarkan.

teograce's picture

i like it

 

“Suatu kali saya berencana membawa anak-anak menyanyi di gerejanya Pak Pur. Apa perlu audisi sebelum tampil?”

“Memangnya mau Indonesia Idol?”

 

membaca kalimat di atas sungguh membuat saya tersenyum.. :) like these statements.. :D

__________________

-Faith is trusting God, though you see impossibility-

Purnomo's picture

Album foto

Motif penutup meja kepsek ternyata sudah diganti. Jangan-jangan kepsek baca blog ini.
ruang kepsek.

Ini cafetaria sekolah.
kantin.

Yang tidak punya uang jajan, duduk-duduk aja
melamun

Ini preschool playgroun yang
gersang.