Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Tuhan Pasti Tersenyum
Saya bingung karena belum mendapat donatur baru untuk menutup defisit yang akan terjadi. Tapi saya tidak bisa protes karena tahu itu hak kepsek. Mungkin kebingungan saya ini tersirat dalam beberapa blog yang saya tulis untuk situs Sabdaspace sehingga seorang BLOSAS (Blogger Sabda Space) mengirim PM meminta nomor rekening saya. Ia yang tinggal di benua lain – tidak pernah bertemu muka dengan saya – kemudian mengirim uang sehingga rencana pengurangan jumlah siswa yang menerima santunan dibatalkan (lihat “Blogger SS dan Sekolah Gratis”). Di kemudian hari BLOSAS ini mengirim uang apabila laporan keuangan bulanan yang saya imelkan kepadanya memastikan akan terjadi defisit pada 2 bulan mendatang. Ia boleh dijuluki “donatur-bayangan-penangkal-defisit”.
Namun dampak kenaikan ini tetap ada. Karena tidak ada dana tersisa saya tidak bisa lagi membagi buku tulis; tidak bisa lagi ikut memberi THR kepada para guru; tidak bisa lagi menyumbang makanan untuk perayaan Natal. Rencana perayaan Natal dulu hampir dibatalkan oleh Bu Rahmat karena tidak adanya dana. Saya menyenangi kepsek lama ini karena mau menceritakan masalahnya kepada saya. Saya membujuknya untuk tetap mengadakan dengan janji menanggung konsumsinya. Di dekat SD itu ada sebuah rumah makan ayam goreng dan pemiliknya Kristen sehingga kami bisa mendapat diskon banyak. Saya tidak bisa melupakan wajah anak-anak yang berbinar ketika acara selesai dan kotak yang berisi nasi, tahu, tempe, ayam goreng dibagikan. Mereka segera membuka kotak dan bergegas menyantapnya. Karena tergesa-gesa, sepotong ayam melompat dari sebuah kotak dan menggelinding di lantai halaman. Biar pun lantai itu kering saya tahu lantai itu sering digenangi air rob. Pemilik kotak itu segera mengambilnya dan langsung memasukkan ke dalam mulutnya sebelum saya sempat mencegahnya. Saya trenyuh melihat pemandangan ini. Semoga sesampai di rumah ia tidak kena muntaber.
Pertengahan Juni-2011 saya menemui Bu Yanti yang mengurus penerimaan uang SPP untuk menyerahkan formulir permohonan ulang beasiswa. Dia memberitahu SPP untuk tahun ajaran baru naik lagi. Segera otak saya berhitung. Santunan akan naik sekian ratus ribu rupiah, sementara jumlah donasi tidak bertambah. Jadi?
“Siswa yang disantuni bulan ini dari kelas 2 sampai kelas 6 ada 74 orang. Yang lulus 14 orang. Karena itu hanya butuh 60 lembar formulir pendaftaran ulang,” kata saya sementara sebundel formulir pendaftaran santunan baru tidak saya keluarkan dari tas.
“Formulir pendaftaran baru bagi anak yang akan naik ke kelas 2?”
“Tidak ada pendaftaran baru.”
“Berarti Juli nanti yang disantuni hanya kelas 3 sampai kelas 6?”
“Betul. Itu pun kalau dana tidak mencukupi, santunan juga tidak bisa 100% SPP. Minggu ke-3 Juli formulir ini dengan dilampiri bukti pelunasan SPP Juli saya ambil. Yang terlambat dianggap tidak mau disantuni.”
“Waktu pemulangan formulir tidak bisa diundur?”
“Mengapa?”
“Karena bulan Juli siswa harus menyerahkan uang sumbangan 1 kali SPP-nya.”
“Sumbangan untuk apa?”
“Untuk beli mebel ruang kepsek.”
Sesaat saya melongo. Dulu bersama kepsek Bu Rahmat kami berusaha untuk makin meringankan beban siswa. Uang gedung bagi siswa baru tidak dipungut. Sekarang dikenai 100 ribu rupiah. Bahkan uang ujian yang 200 ribu kami usahakan bisa dikurangi dan sekarang malah naik 250 ribu rupiah. Ketika Bu Rahmat butuh mengganti lemari-lemari kelas saya minta sekolah membuat surat proposal untuk sebuah bank papan atas yang saya dengar mau mengapkir lemari-lemarinya. Sekarang ada sumbangan uang mebel yang menurut cerita siswa kelas 6 yang sebelumnya saya kunjungi rumahnya besarnya 150 ribu rupiah. Mungkin angka ini untuk mengantisipasi bila orangtua siswa menawarnya.
“Semua siswa tanpa kecuali harus menyumbang?”
“Semua siswa yang naik kelas dan lulus ujian.”
Kalau saja sebelumnya saya diberitahu rencana mengganti mebel ruang kepsek, saya akan mencarikan mebel bekas dari teman-teman yang kaya raya atau BLOSAS Joli yang pasti masih jauh lebih bagus daripada yang bisa dibeli oleh kepsek dengan uang sebanyak 5 juta rupiah. Itu pun kalau semua siswa mau melunasi pungutan ini.
“Bu, kalau saya mengundurkan waktu pengembalian formulir ini, administrasi keuangan saya akan kacau-balau. Jadi, bila gara-gara pungutan itu ada anak terlambat mengembalikan formulir ini, yaaa anggap saja itu keuntungan buat saya karena jumlah siswa penerima santunan makin berkurang.”
Minggu ke-3 Juli formulir yang saya terima ada 54 lembar. Tiga anak belum mengembalikan dan 3 anak keluar. Orangtua seorang siswa yang keluar bercerita bahwa anaknya harus keluar karena tinggal kelas 2 kali. Saya jadi ingat ketika BLOSAS Vicksion mengantar anak-anak rumah singgahnya yang berusia 12 tahun tapi belum bisa membaca abjad menemui kepsek Bu Rahmat. “Mereka boleh masuk ke sekolah ini asalkan pada saat berumur 17 tahun mereka berhasil duduk di kelas 6,” katanya membuat Vicksion senang. “Kalau saya menolak mereka, lalu mereka mau sekolah di mana?” Sekarang kebijakan ini tidak berlaku lagi.
Dari 54 siswa yang mendaftar ulang ternyata ada 2 anak kelas 2 yang tidak naik kelas. Saya menyingkirkan formulirnya ketika menyiapkan perlengkapan administrasinya menjelang tengah malam. Setiap anak punya satu kantong karton. Di situ saya tempel foto anak ybs dan contoh tandatangan kedua orangtuanya. Di dalamnya saya masukkan blangko kwitansi dan uang santunannya. Lima puluh dua kantong ini besok harus saya bagikan kepada 4 distributor yang berdomisili dalam radius tidak lebih 2 km dari sekolah. Lalu saya mampir ke sekolah menyerahkan 52 lembar pemberitahuan pengambilan santunan kepada Bu Yanti. Bu Yanti menyerahkannya kepada siswa bila ybs telah melunasi SPP. Tanpa menunjukkan lembar ‘undangan’ itu distributor tidak akan memberikan uang santunan. Ini untuk menghindari pemalsuan fotocopy kartu SPP.
Setelah semua persiapan selesai saya mengambil 2 formulir yang saya gugurkan – karena santunan tidak lagi diberikan kepada siswa kelas 2 – untuk saya masukkan ke kotak arsip. Sekilas saya melihat alamat di formulir itu, “SMP Sumber Rejo”. Saya ingat anak yang beralamat di situ tinggal bersama kakeknya yang bekerja sebagai penjaga sekolah. Kedua orangtuanya entah di mana. Tidak naik kelas adalah sebuah hukuman. Apakah saya akan menambahi hukuman itu dengan menghapus santunannya? Lalu alasan apa yang harus saya katakan kepada kakeknya sementara anak kelas 4 yang tinggal kelas santunannya tidak saya gugurkan?
Formulir kedua saya teliti. Kolom “nama ayah” tidak diisi. Perasaan sih dulu anak ini selalu mencantumkan nama ayahnya. Saya membuka kotak arsip mencari formulir siswa ini tahun lalu. Nama ayah dicantumkan. Ini berarti sekarang ia tidak punya ayah. Alamatnya juga tidak sama. Sekarang ia tinggal di belakang sekolah yang berlangganan rob sementara setahun yang lalu alamatnya ada di lokasi yang jauh lebih baik. Jelaslah bahwa orangtuanya bercerai.
Kawin-cerai-kawin bukan sesuatu yang aneh dalam hidup kebanyakan orangtua siswa sekolah ini. Istilah “ayah-sambungan” atau “ibu-sambungan” juga populer di antara mereka. Makanya ketika kejengkelan sudah naik ke ubun-ubun melihat keributan mereka dalam kebaktian Jumaat siang hampir meledak, begitu saya ingat amburadulnya rumah tangga mereka, kemarahan saya segera menguap hilang.
Usai kebaktian Jumaat di bulan Maret-2011 saya mencari Bu Yanti di ruang guru.
“Bu, si Ella Sabtu lalu ke Semarang. Apa dia menghubungi Ibu?”
“Setelah lulus dari sini dan pindah ke Salatiga saya tidak pernah di-SMS lagi. Kok Pak Pur tahu?”
“Saya baca status pesbuknya. Katanya: on the way to Semarang – tengok papa.”
“Anak itu memang baik kelakuannya. Hidupnya sekarang sudah lebih enak tapi tidak lupa tengok papanya.”
Waktu Ella di Semarang, dia tinggal bersama ayahnya di sebuah kamar sewaan karena ayahnya hanya berdagang barang rongsok. Orangtuanya berpisah dan ibunya tinggal di Salatiga. Setiap hari Ella merapikan kamar itu dan mencuci pakaian. Dia menjemur cucian di tali-tali yang direntangkan melintang kamar. Karena didesak terus menerus, akhirnya Bu Yanti mau memberinya privat les bahasa Inggris yang kata Ella untuk bekal di SMP nanti. Setiap Sabtu siang gadis kecil ini sendirian naik bis ke Salatiga menengok ibunya. Minggu sore baru dia kembali ke Semarang. Setelah lulus SD dia tinggal bersama ibunya dan bersekolah di SMP swasta papan atas. Tapi dia tak lupa setiap Sabtu naik bis ke Semarang menengok papanya.
“Dari pesbuk Ella, saya menemukan pesbuknya Tias,” saya melanjutkan cerita. “Tapi Tias hanya punya Ella sebagai satu-satunya friend sampai Ella menulis di wall-nya, ‘Jan-jane kowe iso pesbukan opo ora?’ (Sebetulnya kamu bisa pesbukan apa tidak?) Tias sekarang SMP di mana, Bu?”
Tias hanya 2 bulan duduk di kelas 6 karena kemudian mogok sekolah. Alasannya? Dia mau jadi bintang sinetron dan untuk itu hanya diperlukan kecantikan, bukan ijasah SD. Kepsek Bu Rahmat panik karena Tias sudah terdaftar sebagai peserta ujian akhir. Bila dia tidak ikut ujian berarti kelulusan sekolah ini tidak 100%. Bergantian guru mendatangi rumahnya untuk membujuknya sekolah lagi. Seorang BLOSAS yang merintis kebaktian Jumaat siang juga ikut membujuknya. Semua usaha sia-sia. Ketika ujian kurang sebulan Bu Yanti berhasil membujuknya sekolah lagi dengan dalih, “Syarat jadi bintang sinetron harus punya ijasah SD karena tanpa itu maka dia tidak boleh menandatangani kontrak main filem.”
“Pak Pur ini ‘gimana seh? Mau nambah cucu kok ndak tahu?” jawabnya.
“Jelasnya ‘gimana?”
“Bulan lalu Tias kirim SMS ke temannya tapi dia salah pencet sehingga nyasar ke hape saya. Dia menulis begini. ‘Nur, aku sudah pasti sama pacarku. Aku sudah hamil 4 bulan sama dia.’”
“Ah, yang benar saja.”
“Nanti waktu pulang coba Pak Pur mampir ke rumahnya.”
“Enggaklah. Nanti ibunya mengira saya punya saham. Saya juga takut sama bapaknya. Ia masih kerja di pemotongan hewan ‘kan?” Sebelum memulai proyek SD Kristen Gratis ini Tias termasuk salah satu siswa yang saya datangi rumahnya untuk memetakan profil sosial para siswa SD ini. Dalam kegiatan ini saya juga bertemu dengan bibi siswa yang menikah pada waktu duduk di kelas 1 SMP.
Menjelang setengah tiga dini hari baru saya mematikan komputer dan printer. Kantong dan perlengkapan administrasi untuk dua anak yang mogok di kelas 2 itu telah siap untuk ikut dibagikan. Saya tidak tega mencoret nama mereka dari daftar santunan.
Ketika berbaring di tempat tidur baru terasa betapa lelahnya tubuh ini. Tetapi saya merasa tentram dan damai. Pasti, Tuhan sedang tersenyum.
(30.08.2011)
Catatan: nama orang dan tempat telah disamarkan.
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 3776 reads
Berhutang pada anda purnomo..
Salah satu dari X-1 kami berhutang pada anda pak:
Tak terbayang betapa bingungnya ketika Widi (sebut saja begitu), harus mencarikan sekolah buat adiknya, padahal dia baru saja keluar dari pekerjaannya yang menjanjikan untuk memenuhi panggilan jiwanya melayani di gereja penuh waktu, belum lagi datangnya masalah keluarga yang bertubi-tubi.
setiap pintu sudah diketuk dalam kepanikan, hingga akhirnya pintu terakhir... keluar seorang pria tua, dengan tenang dia menjawab "... coba nanti saya bantu cari jalan keluarnya... tapi tetap berusahalah terlebih dahulu"
.........................
.........................
Beberapa hari berlalu, setiap pintu yang bisa diketuk, masih terus diketuk, tapi belum juga ada yang terbuka
Hingga beberapa hari kemudian
".................. posisi dimana?"
".................. di ........................"
"Saya mau serahkan uang sekolahnya............."
...............................
Segera kutemui Widi.
"Ini dari "pak tua" itu"
"Tuhan baik sekali, aku tidak membayangkan kalau jumlahnya tepat seperti yang kami butuhkan, sungguh! ..........?"
Wajah tampan yang biasanya tersenyum itu tiba-tiba bercampur dengan ekspresi yang tidak terkatakan dipadu pula dengan mata yang berkaca-kaca
"Sudahlah.... bersyukurlah... dan kita harus tetap berusaha... "
Terima kasih pak!
Tidak ada yang bisa dikatakan lebih lanjut... pria tua itu , Ketika berbaring di tempat tidur baru terasa betapa lelahnya tubuh ini. Tetapi saya merasa tentram dan damai. Pasti, Tuhan sedang tersenyum.
Ya. Tuhan pasti tersenyum... Terima kasih yang terdalam dari hati terdalam kami...
X-1 - 3 (Widi)
mari gila bersama-sama dengan warna merah, kuning, hijau, dan biru..
Naluri & nurani
@x1, thx for your sharing.
Membayar uang sekolah anak sendiri adalah naluri,
membayar uang sekolah anak orang lain adalah nurani.
Salam.
urus memberi tanpa belas kasihan
saya juga tersenyum, bila baca tulisan anda :)
detail dalam perencanaan, matang dalam pelaksanaan.
saya sering print tulisan-tulisan anda, dan bagikan ke team kespel gereja, juga kadang ceritakan ulang apa yang dilakukan seorang purnomo.
Ah, bila si Purnomo tak jual mahal, pengin undang dia ke Solo untuk menceritakan sendiri "Bagaimana jurus-j". Sayangnya si beliau pelit dan pemalu, joli pernah di tolak beberapa tahun lalu (sungguh menyebalkan).