Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Foto-foto Inspiratif
Akhir-akhir ini saya sedang kesengsem dengan hobi fotografi. Bulan Agustus 2010, saya memutuskan untuk membeli kamera DSLR jenis entry level (bahasa lugasnya: "Yang paling murah"). Ini adalah mimpi puluhan tahun yang menjadi nyata.
Tahun 1993, saya mengambil mata kuliah Fotografi yang diajar oleh Kanjeng Raden Mas Tumenggung Roy Suryo Udoro. Sejak itu, saya kesengsem dengan dunia potrek-memotrek. Sayangnya, karena perekonomian saya berada sedikit di atas garis kemiskinan, saya tidak tega menuntut dibelikan kamera oleh orangtua. Lagipula biaya pembelian film dan cetak masih terbilang mahal bagi saya. Biaya beli film, cuci dan cetak satu rol saja setara dengan uang jadup (jatah hidup) selama sebulan. Untuk menyiasatinya, maka saya selalu menawarkan diri menjadi seksi dokumentasi di berbagai kepantiaan. Salah satunya saya pernah jadi fotografer Kejuaraan Catur Mahasiswa tingkat Asean.
Ketika menjadi jurnalis, saya mendapat kesempatan untuk melampiaskan hobi mat kodak ini. Karena awak redaksi hanya 3 orang, maka kami tidak mengenal pembagian tugas antara jurnalis dan fotografer. Semuanya dirangkap-rangkap: Ya jadi jurnalis, ya jadi fotografer, ya jadi redakturnya. Di kantor ada dua jenis kamera SLR, yaitu Yasica dan Nikon. Untuk ukuran saat itu, penampakan kamera Yasica cukup mentereng. Bisa untuk gaya-gayaan karena sudah ada motor drive-nya dan lensa zoom. Jadi kalau selesai menjepret saya tidak perlu mengokang lagi. Selain itu, dalam memotret tidak perlu maju-mundur karena sudah ada lensa zoom. Tapi untuk hasil, kamera Nikon yang lebih jadul justru lebih bagus. Ukurannya lebih kecil, tapi justru lebih berat karena bodinya dan komponen di dalamnya terbuat dari logam. Lensanya juga terbuat dari kaca, bukan plastik.
Ada pengalaman lucu saat saya mewawancarai seorang pendeta yang saat itu sedang naik daun di Solo. Ini adalah tugas pertama saya sebagai jurnalis di media itu. Dengan menumpang bis umum dan menumpang becak, saya sampai di gereja itu. Sambil menunggu narasumber, saya menyiapkan alat perekam dan kamera. Blaik! Sekretaris redaksi lupa memasukkan lampu kilat ke tas kamera. Celaka dua belas! Apa yang harus aku lakukan? Tanpa lampu kilat mustahil saya bisa mendapatkan foto yang jelas di ruangan yang berpenerangan seadanya itu?
Saat wawancara sedang berlangsung, saya memutar otak bagaimana cara menyiasati "kecelakaan" ini. Dengan harapan yang tipis, tak urung saya ambil juga foto hamba Tuhan ini dengan membuka diafragma lebar-lebar. Saya tidak mungkin menambah bukaan dengan kecepatan lambat karena hamba Tuhan ini banyak sekali bergerak selama wawancara berlangsung. Saya semakin gelisah. Keringat dingin mengalir meski berada dalam ruangan yang dingin.
Usai wawancara, tiba-tiba saja saya nyeletuk, "Bagaimana kalau saya memotret bapak di luar ruangan dengan latar belakang gereja?" Ternyata hamba Tuhan itu menyambut antusias. Barangkali dia ingin menunjukkan kesuksesan gerejanya yang dulunya bekas gedung bioskop itu. Dengan cahaya matahari, maka diafragma bisa diatur sempit sehingga DOF (Depth of Field) lebih lebar. Foto narasumber kena, backgroundnya juga kena. Hufff....saya pun mengambil napas lega. Setelah pamitan, saya dihantarkan oleh tukang becak ke terminal Tirtonadi, Solo. Sepanjang perjalanan, kami mengobrol. Ternyata tukang becak ini adalah anggota jemaat yang pendetanya saya wawancara tadi. Sebelum masuk terminal, saya minta tukang becak itu berpose sejenak. Hasilnya? Di majalah, foto tukang becak ini justru ditampilkan lebih besar daripada hamba Tuhan yang sukses ini. Ha..ha..ha
Enaknya menjadi jurnalis juga bisa pergi kemana-mana atas biaya kantor. Suatu kali, saya ditugasi kantor meliput penampakan Yesus di Kopeng. Dengan bersepeda motor saya melintasi jalan Jatinom-Boyolali. Tiba-tiba, mata saya terpaut bangunan unik. Ada warung berbentuk bola di pinggir jalan. Saya sempatkan berhenti untuk mengambil foto satu jepretan. Saat itu sedang demam piala dunia. Foto itu saya kirim ke majalah Gatra dan dimuat. Honornya lumayan besar.
Zaman dulu, memotret dengan kamera analog tidak bisa seroyal dengan memakai gadget digital. Zaman sekarang selesai menekan tombol rana, kita bisa langsung memeriksa hasilnya. Kalau tidak suka, langsung hapus. Kita juga bisa mengambil gambar sebanyak-banyaknya asalkan kapasitas kartu memori masih cukup. Zaman dulu, fotografer harus benar-benar berhitung dengan cermat. Satu jepretan yang salah berakibat pemborosan. Dengan jatah 36 frame, fotografer harus mengambil keputusan cepat, tapi benar. Dia harus yakin bahwa pengaturannya sudah benar karena dia tidak bisa melihat langsung hasilnya. Jika setelah dicetak hasilnya tidak memuaskan, biasanya fotografer tidak bisa mengulang lagi momentum itu. Itu belum terhitung uang uang terbuang sia-sia karena foto tersebut tidak terpakai. Saya pernah ditegur oleh atasan saya karena sangat royal mengambil gambar saat meliput pemakaman Kapolda Irian Jaya yang meninggal karena kecelakaan pesawat. Saya akui saat itu saya memang emosional sehingga menggunakan banyak frame, padahal yang digunakan tidak banyak.
Saat ini, dengan kemajuan teknologi digital, maka dunia fotografi mengalami terobosan yang luar biasa. Orang "biasa" pun bisa memotret. Namun bagaimanapun juga faktor "the man behind the gun" masih berlaku. Meski dengan perkakas yang murah, jika seseorang menguasai teknik fotografi, maka hasilnya setara dengan hasil pemotretan dengan kamera super mahal.
Karena belum genap setahun menggunakan DSLR, saya masih tertatih-tatih untuk menekuni kembali hobi fotografi. Semua foto ini adalah hasil jepretan saya. Saya sudah menambahkan kata-kata inspiratif.
Karena listrik mati, saya bingung harus berbuat apa. Iseng-iseng, saya jepret lilin.
Bangunan ini banyak ditemui di wilayah Klaten. Saya memotret bangunan ini di kecamatan Wedi, sambil sepedaan santai
Biji apa ini? Ini adalah biji anturium yang sempat menjadi bunga primadona pada tahun 2006. Sekarang hampir tak ada nilainya sama sekali.
Foto ini saya ambil dari dalam mobil saat menjadi relawan tanggap bencana erupsi Merapi
Ini adalah foto bunga rumput radius 9 km dari puncak Merapi. Awan panas menghanguskan wilayah di sekitar rumput ini. Namun hanya dalam 2 bulan, rumput ini bersemi kembali.
Foto atas dan bawah ini saya ambil samil berolahraga menggowes sepeda
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 8904 reads
Tantangan buat Om Pur
Bagaimana kalau Om Pur mencoba memotret kereta api dengan segala manusia yang terlibat dalam aktivitasnya? Pasti akan menarik untuk melihat dunia ular besi dari sudut pandang lensa Om Pur
Allah itu kasih
Koleksi Foto Sepur Saia
Jarang Hunting
Saya itu jarang mengkhususkan pergi ke suatu tempat untuk memotret atau istilahnya tukang jepret "hunting foto." Kalau hunting ya cuma sekitar rumah saja. Selebihnya, kalau pergi jauh saya membawa peralatan perang yaitu kamera foto dan kamera video. Apa saja yang menggerakkan hati dan memikat mata ya saya jepret. Jadi, kemungkinan besar saya tidak akan memotret kereta api jika memang tidak sedang bepergian naik kereta api. Maaf, saya tidak melayani tantanganmu he..he..he..
Kalau Anda melihat foto-foto saya, itu adalah jurnal visual aktivitas saya.
------------
Communicating good news in good ways
@PK: ..jeprat-jepret forever.... :)
Dalam semua aktivitas, entah sekedar hobi atau untuk cari uang, mesti ada semacam brotherhoodnya. Thus ada komunitas sepeda onthel, mancing, motrek, nyari abg (meskipun yang satu ini negatif, tapi kenyataannya memang ada ), de el el. Meski belum sekelas mas Wawan (dulu cuma pernah jadi wartawan tabloid kampus, itupun awalnya karena sebagai syarat untuk menerima beasiswa, hehe), begitu ketemu artikel fotografi di bloge mase, serasa bukan berinteraksi dengan orang asing.
Sekarang ini tak dinyana malah perkara jepret menjepret inilah yang jadi lahan cari uang. Meski kadang ribet juga menjawab orang-orang yang mengenal saya, tamatan teologia kok jadi tukang moto? Ada yang bilang saya kurang beriman, ada yang bilang saya tidak serius menekuni panggilan melayani, walau tidak sedikit juga yang mengerti kalau saya harus bekerja untuk anak-anak kami dengan segala modal yang ada dari Tuhan untuk kami.
Memang bener mas, mahalnya minta ampun soal urusan gear fotografi. Saya sendiri banyak tertolong barang-barang sisa alm. bapak saya, yang seandainya kalau beli sendiri, sampai lebaran monyet pun mungkin nggak akan terbeli dengan kondisi ekonomi kami yang sekarang ini.
"..Zaman sekarang selesai menekan tombol rana, kita bisa langsung memeriksa hasilnya.."
Yup. Setuju juga mas. Kata mbah-mbah fotografi, katanya itu yang bikin banyak fotografer era sekarang nggak semumpuni jaman dulu. Njepret dulu, belajar belakangan. Dulu-dulu paling wartawan sport yang sering pake continous servo (jepret beruntun). Kalau pake kamera sejenis F4/F3, sekian detik sudah habis 1 rol (bunyinya sudah kayak senapan mesin ). Selain momen sport, memang harus ekstra hati-hati.
Selalu ada kenikmatan tersendiri menikmati foto-foto indah, sampai kadang mau ngomen pun sulit. Mengingatkan pada Siapa yang menciptakan keindahan itu. God must be A great Artist...
(...shema'an qoli, adonai...)
Lone Fotografer
Dalam nyata saya ini lone fotografer. Saya tidak pernah hunting bareng dengan fotografer lain. Kalau ketemu fotografer-fotografer lain, saya memilih menyimpang dan menyendiri. "Seekor elang tidak terbang berkelompok. Elang terbang sendiri."
Tapi kalau di dunia maya, saya mendapat sahabat-sahabat yang sama-sama suka fotografi. Selain kang Ebed, ada juga pak ndito Dyan Sunu "Gagap Rasa", Cuk Riomandha, mbak Andriyani, mas Joko dan ada beberapa nama lagi. Dunia maya membuka kesempatan untuk berekspresi dan berjejaring.
Saat ini, saya masih menekuni fotografi ini sekadar sebagai hobi. Saya belum berpikir untuk "mengkaryakan" kamera. Paling-paling ya jadi fotografer yang "disegani", maksudnya dimintai tolong memotret dengan imbalan sego (nasi) sepiring...ha..ha..ha..
Setelah menekuni fotografi ini saya merasakan sekarang lebih 'sadar' terhadap lingkungan sekitar. Kalau dulu melihat secara makro, maka sekarang mulai peduli pada detil. Dalam bahasa lugas, matanya lebih jelalatan mencari subjek bagus.
Saya setuju dengan kang Ebed. Melihat dunia melalui viewfinder dapat membuat kita menjadi kagum akan keindahan ciptaan Tuhan. Foto ternyata dapat digunakan sebagai media untuk memuliakan Tuhan.
------------
Communicating good news in good ways
keren potonya.. pak
keren poto2 nih... dicetak aja...(kalo ga mau repot cetak banyak pake digital print aja beberapa)... trus dijual... bisa dapet duit tambahan kan? <otak duit & bisnis>
mari gila bersama-sama dengan warna merah, kuning, hijau, dan biru..
Terimakasih untuk sarannya.
Terimakasih untuk sarannya.
------------
Communicating good news in good ways
Bagi2 Hasil
Kalo yang ngejepret pak pur sih, hasilnya pasti manteb semua. Gallery-nya dimana nih? Facebook? Flickr? Bagi2 donk.
Link-nya ada di depan matamu,
Link-nya ada di depan matamu, Rusdy
Klik tulisan "Pamer Foto"
------------
Communicating good news in good ways