Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
"Gusti Mangunggala"
Wisma Kasepuhan kedatangan tamu dari Ereng Gunungetan. Seorang Romo hendak mempersembahkan misa pengantin di gereja Brangkali. Karena yang ada kamar di Wisma Kasepuhan, maka menginapnya ya di situ. Dan jarak gereja Brangkali dengan Wisma Kasepuhan hanya beberapa langkah saja. Jadi tidak merepotkan.
Entah dimana pengantin mengenal si Romo. Mungkin karena mereka merasa lebih sreg, lebih nyaman, lebih nges dengan si Romo Paroki Ereng Gunungetan, maka ya, maaf, Romo Paroki Brangkali tidak laku.
Bukannya tidak laku, begitu kalau Yu Warsih berpendapat. Karena mengundang Romo tamu untuk manten diperbolehkan, sementara pengantinnya kenal lebih dekat dengan romo bersangkutan, ya kenapa tidak. Tetapi, bukannya Romo Paroki Brangkali tidak laku, begitu Yu Warsih selalu kembali menegaskan.
Lha, kalau mengundang romo untuk misa kematian, boleh tidak? Begitu Kang Warto bertanya mengetes Yu Warsih. Rupanya Yu Warsih sedang cerdas. Jawabnya, “Ya tinggal pesan dulu, besok kalau Kang Warto mati mau di-misa-ni siapa? Tapi harus romo yang lebih muda, atau paling tidak lebih sehat. Nah, kalau romonya yang Kang Warto pesan meninggal duluan, nanti jenasah Kang Warto dikubur begitu saja, tanpa misa.”
Kang Warto pecaca-pecucu dibuatnya. KO! Alias knock out, alias Klepek-klepek Oraisa apa-apa!
Kalah set di depan Yu Warsih, Kang Warto memutar haluan perhatian pada sopir yang mengantar Romo Paroki Ereng Gunungetan. Nah, perbincangan justru kemudian ramai di situ. Koster Kasepuhan ini berlagak sebagai tuan rumah yang baik. Ia mengakrabi si sopir yang belakangan diketahui bernama Kang Tarno.
“Saya itu memenuhi panggilan yang sudah tersurat pada nama saya. ‘Tarno’, artinya antarno. Maka, jadilah saya supir. Tukang mengantar orang-orang,” kata Kang Tarno yang lantas tertawa bareng dengan Kang Warto.
“Gimana kesan memasuki Kasepuhan sini?” tanya Kang Warto. Ia ingat, bagaimana cara Romo Jero bertanya kalau ada tamu. Dan ternyata benar, Kang Tarno terlihat senang menjawab pertanyaan itu. “Wah, di sini adem, menyenangkan,” katanya.
Baju Kang Warto menjadi terasa sesak. Lha, bagaimana, soal adem itu kan soal tanaman yang banyak. Dan satu-satunya orang yang “paling berjasa” atas kehidupan para tanaman itu ya Kang Warto. Tapi, tentu Kang Warto menyembunyikan kebanggaan itu.
“Saya itu mengantar Romo ini mempersembahkan Misa Manten sudah kemana-mana,” kata Kang Tarno.
“Apa hobi beliau itu memang misa manten?” tanya Kang Warto demi sudah merasa akrab. Pikiran nakalnya mulai mletik.
“Hahaha… Kang, istilahmu bagus sekali. Hobi misa manten… haha…,” sambar Kang Tarno.
Diam sesaat Kang Tarno lantas berujar, “Kalau beliau tidak begitu. Di tlatah Ereng Gungungetan sana ada satu romo yang hobinya memang misa manten. Wealah betul itu.”
Lalu berceritalah Kang Tarno tentang misa manten dan romo penghobi itu. Pinternya beliau, menurutnya, adalah bisa mendekati pasangan-pasangan muda yang sebentar lagi menikah. Umurnya sudah agak tuaan sebenarnya. Tapi barangkali kesan semanak, hangat sebagai seorang ayah itu yang memikat. “Oo, semua romo di tlatah Gunungetan sudah tahu hal itu,” ujar Kang Tarno.
“Tadi kami di jalan memperbincangkan tentang hal ini. Kata romo ini,” kata Kang Tarno sambil menunjuk ke arah mobilnya. Kang Warto dibuat kaget. Untung tidak terucap, masa romo disamakan mobil.
“…tinggal melihat saat permulaan doa. ‘Gusti manunggala…’ Itu terkait dengan jumlah stipendium yang diterima,” lanjut Kang Tarno.
Menurut Romo yang ia antar, kata Kang Tarno, saat romo itu berucap, Gusti manunggala, akan terlihat berapa jemari tangan yang terbuka. “Nah, itu tinggal dihitung. Kalau jemarinya hanya dua atau tiga yang terbuka, itu artinya…, nah…!!” Kang Tarno tidak melanjutkan jelas. Tetapi lantas kedua pekerja koster itu tertawa. Artinya Kang Warto pun tahu maksudnya.
“Itu guyonannya. Jadi jumlah stipendium itu terlihat dari berapa jemari yang terbuka,” Kang Tarno memperjelas.
Darimana Romonya tahu, kan belum diberikan, begitu Kang Warto bertanya. Kata Kang Tarno, ya kalau belum ada pembicaraan kan bisa melihat jumlah bunga di altar dan sekitarnya yang dipasang. "Lha wong, kalau mantenan itu orang suka jor-joran pasang bunga. Tapi kalau untuk kepentingan lain, atau untuk pasang badan, seperti ikut koor, mengkin rumiyin, nanti dulu..." kata Kang Tarno semangat.
“Gusti manunggala-a…” ucap Kang Tarno sambil memperagakan tangannya terentang. Kepalanya meneleng ke kiri. Sama gembelengnya dengan Kang Warto kalau sedang berlagak.
“Gusti manunggala-a…” ucapnya lagi dengan merubah jumlah jemari yang terbuka.
Selagi dua orang itu memperbincangkan hal yang sensitif bagi sementara orang tersebut, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki Romo Sepuh. Kang Warto hapal langkah kakinya. Kalau sekedar di rumah saja, seringkali Romo Sepuh tidak mengenakan alas kaki.
“Welah, ramai sekali. Lagi bicara apa, Kang?” Romo Sepuh bertanya.
Kang Tarno terlihat memutih wajahnya. Mengkerut, takut ucapannya yang kurang ajar itu terdengar.
“Piye Kang, waras?” Romo Sepuh lantas menyalami. Pertanyaan seperti itu khas pertanyaan Romo Sepuh. Bahkan kadang bertanya, isih urip. Maksudnya apakah masih hidup.
“Ini Romo. Kang Tarno baru saja cerita soal stipendium romo pengantin…” Kang Warto nerocos yang membuat Kang Tarno menyikut lengannya. Jelas, Kang Tarno tidak memperbolehkan ceritanya diungkap. Tetapi Kang Warto tahu siapa dan bagaimana Romo Sepuh.
“Apa kuwi?”
Maka berceritalah Kang Warto tentang cerita Kang Tarno. Tentang guyonan romo yang misa manten. Tentang tangan yang terentang lebar, dan jemari terbuka semua atau hanya sebagian.
“Waah, n?k aku, Ini Kalau saya lo ya. Malah terbalik. Semakin banyak stipendium, malah tangan saya semakin rapat. Lha, menggenggam stipendium agar tidak jatuh…” ujar Romo Sepuh yang membuat dua koster itu lantas tertawa lebar dan keras serta lepas…
“Hahahaha….!!”
Mengakhiri sapaannya lewat celetukan yang meledakkan tawa, Romo Sepuh lantas berlalu menuju ruang kerja. Masih sambil dengan wajah cerah menyimpan tawa.
Kang Tarno, sopir tamu itu, dibuat heran. “Wealah, Romo Sepuh-mu itu luar biasa. Bisa diajak gojekan seperti itu,” Kang Tarno terus saja termangu-mangu. Di benaknya terbayang wajah Romo Sepuh di di tlatah kasepuhannya di wilayah Ereng Gunungetan.
“Hehehe… Ya, begitu Romo Sepuh,” ujar Kang Warto pendek.
- Sutriyono's blog
- Login to post comments
- 4134 reads