Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Mengelola Media Gereja itu Sulit
PARA trainer dalam pelatihan penulisan biasanya akan menyatakan bahwa mengelola dan meneribitkan media gampang. Tapi menurut saya, mengelola untuk media gereja itu sulit. Hal ini didasarkan pada analisis terhadap karakteristik pembaca media ini.
Sebagian besar media intra gereja diterbitkan oleh gereja-gereja yang berada di kota. Alasannya, gereja-gereja di kota memiliki sumber daya yang memungkinkan untuk penerbitan, seperti komputer, printer, kamera, percetakan, biaya, tenaga pelaksana dll. Sementara itu, bagi gereja yang berlokasi di pedesaan,--selain karena keterbatasan dana--, mereka relatif belum memerlukan media massa, karena masih terjalin keeratan hubungan pribadi di antara anggota jemaat.
Lalu bagaimana dengan karakteristik pembaca media intra gereja di perkotaan? Anggota jemaat di perkotaan biasanya memiliki waktu yang sangat terbatas. Untuk jemaat di kota besar, bahkan lebih banyak waktu yang tersita untuk kemacetan di jalan raya dan mencari tempat parkir dibandingkan waktu untuk beribadah itu sendiri. Hari Minggu juga dipakai untuk kesempatan berkumpul di antara anggota keluarga. Ada juga yang ingin menggunakan hari libur ini untuk istirahat sepuas-puasnya setelah bekerja keras selama 5-6 hari. Maka biasanya, anggota jemaat enggan berlama-lama berada di gereja. Setengah jam usai ibadah, lingkungan gereja biasanya sudah lengang. Apalagi jika gereja tersebut menyelenggarakan lebih dari empat kali kebaktian. Anggota jemaat dipaksa untuk segera meninggalkan gereja karena pengunjung untuk ‘jam main’ berikutnya sudah berdatangan.
Hal demikian turut mempengaruhi perilaku anggota jemaat dalam menggunakan media intra gereja. Media intra gereja, biasanya dibagikan di gereja sebelum atau sesudah ibadah. Jemaat tidak mungkin membaca media tersebut di gereja karena harus mengikuti ibadah [walau kadang ada juga yang sembunyi-sembunyi membaca terutama jika khotbahnya kepanjangan dan membosankan].
Ketika media intra gereja dibawa pulang ke rumah, maka media ini harus bertarung dengan berbagai stimulus lain untuk menarik minat anggota jemaat. Pulang dari gereja, perhatian anggota jemaat biasanya sudah disibukkan dengan kegiatan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Apakah pergi ke mal, rekreasi, bersanjang ke sanak saudara atau di rumah saja. Jika tidak cukup menarik dan bermafaat bagi anggota jemaat, maka nasib media intra gereja berujung di tempat sampah atau pasar loak. Itu sebabnya, jika gereja memutuskan untuk menerbitkan media internal maka harus melakukan kajian mendalam
Paradigma Misionaris VS Paradigma Pasar
Jika sebuah gereja memutuskan untuk menerbitkan media internal, maka tindakan pertama yang tidak boleh dilewati adalah memilih paradigma yang akan digunakan oleh pengelola media. Pertama, paradigma misionaris yang berpendirian bahwa pengelola media memiliki sejumlah pesan-pesan mulia yang harus disampaikan kepada orang banyak, berapa pun biayanya. Hal ini seperti orang yang mengadakan penginjilan. Orang yang akan melakukan penginjilan biasanya tidak berharap akan mendapatkan keuntungan pribadi dari aktivitasnya. Bahkan kalau perlu dia rela berkorban harta, waktu dan tenaga demi tercapainya tujuan luhur yaitu tersebarnya kabar baik.
Demikian pula, pengelola media yang menggunakan paradigma ini juga tidak berharap akan mendapatkan keuntungan. Tujuan utamanya adalah menyebarkan informasi yang diyakininya sebagai hal yang baik. Kalau perlu pengelola media akan mengorbankan apa pun yang diperlukan demi tercapainya tujuan itu. Media yang dikelola menggunakan paradigma ini tidak peduli dengan keinginan dan kebutuhan pembaca. Seringkali, tulisan-tulisan yang dimuat itu tidak menarik pembaca, namun pengelola media tidak peduli. "Pokoknya kami memuat informasi yang baik dan bermanfaat bagi pembaca," kata pengelola media. Contoh media yang dikelola dengan paradigma ini adalah TVRI. Mereka sadar bahwa tayangannya sudah banyak ditinggalkan oleh pemirsa. Namun mereka tidak peduli. Mereka tetap memproduksi tontonan yang mengandung tuntunan meskipun tidak ada yang menonton.
Kedua, paradigma pasar yang berkebalikan dengan paradigma misionaris. Dalam paradigma ini dikelola dengan menuruti kehendak dan selera pembaca. Mereka akan memuat informasi apa saja, asalkan itu memuaskan pembaca. Jika pembaca sedang menyukai gosip, maka pengelola akan menyuguhkan gosip. Jika pembaca sedang menyukai olahraga, maka mereka akan menyajikan informasi olahraga. Jika pembaca sedang menggemari kuliner, maka mereka akan menulis tempat makan yang enak. Begitulah, selera pasar (baca:pembaca) adalah raja. Kadang-kadang informasi yang disajikan tidak bermutu, tapi karena memang disukai pembaca, maka apa boleh buat. Misalnya, anjing milik Agnes Monica melahirkan enam anak. Informasi ini tidak ada manfaatnya bagi masyarakat, tapi tetap saja dimuat karena disukai pembaca. Kalau dimuat di tabloid maka penggemar Agnes Monica rela membelinya.
Demikianlah, pengelola media internal gereja sejak awal harus sudah membuat kesepakatan dengan pemimpin gereja tentang paradigma yang akan diambil. Jika paradigma misionaris yang diambil, maka gereja harus bersedia nomboki jika media internal tidak laku dan keuangannya mengalami defisit. Jika menetapkan selera pasar, gereja tidak perlu ambil pusing dengan pendanaannya karena pengelola media yang akan mencari pendanaan. Akan tetapi pemimpin gereja juga tidak boleh kebakaran jenggot jika ada tulisan di media tersebut yang tidak "ngristeni." Hal ini adalah langkah kompromi supaya media tersebut bisa tetap "hidup."
Bisakah dibuat jalan tengah? Bisakah media dikelola dengan menampilkan bacaan yang bermutu tetapi tetap didanai secara swadaya? Dalam praktiknya, media bisa saja menggunakan kombinasi di antara keduanya, tetapi pengelola media harus tetap memilih hanya satu paradigma. Sebab hal ini akan mempengaruhi perumusan kebijaksanaan pada tingkat operasional.
Menetapkan Visi
Pada kenyataannya, banyak media internal gereja yang dibuat karena latah. Karena melihat gereja tetangga telah menerbitkan media, maka gereja itu ikut-ikutan melakukan hal yang sama. Kondisi ini akan menyebabkan media internal hanya seumur jagung. Seperti pepatah, "Sekali berarti, sesudah itu mati." Atau ada yang memplesetkannya sebagai majalah "Tempo." Maksudnya tempo-tempo saja terbitnya.
Visi adalah sebuah kondisi ideal yang ingin kita wujudkan. Visi dapat dipahami sebagai arah yang hendak dituju. Jika seseorang tidak persis arah yang hendak dituju maka ia tak akan pernah sampai ke suatu tujuan.
Bagi beberapa orang, visi itu bisa mirip seperti wahyu yang "dibisikkan" oleh Tuhan kepada seseorang saja. Seseorang yang telah mendengar “bisikan” itu kemudian menularkannya kepada orang banyak untuk bersama-sama mewujudkannya. Akan tetapi visi juga dapat dirumuskan berdasarkan kondisi nyata saat ini yang masih mengecewakan. Melihat itu, kita lalu memimpikan sebuah kondisi ideal, dan merancang sebuah tindakan. Tujuannya adalah mengubah kondisi sekarang yang belum ideal, menjadi kondisi yang ideal.
Memilih Rute
Jika visi (tujuan) sudah ditetapkan, maka langkah berikutnya adalah memilih rute. Kalau kita sudah menetapkan Jogja sebagai tujuan perjalanan, maka kita dapat memilih rute untuk menuju ke sana. Dari Wonosari ke Jogja, ada tiga pilihan rute: Rute selatan (lewat Panggang), rute tengah (lewat Gading), atau rute utara (lewat Nglipar). Rute mana yang paling tepat yang dapat kita tempuh untuk mencapai tujuan?
Dalam perencanaan media, kita harus memilih rute untuk mencapai visi itu. Pemilihan rute itu harus menjawab pertanyaan ini.
1. Pertanyaan yang menyangkut profil media: siapa pembacanya, artikel macam apa yang akan disajikan, berapa halaman, bagaimana format fisiknya, sudut pandang yang akan direpresentasikan, bagaimana pembiayaannya.
2. Perencanaan yang menyangkut perorganisasian media: bagaimana mendapatkan artikel/isi media, bagaimana bekerja dengan para jurnalis/penulis, bagaimana penjadwalan kerjanya, bagaimana struktur organisasinya pendukungnya.
Kedua perencanaan di atas sama-sama penting. Tanpa yang pertama, kita bisa terjebak menghasilkan media yang tidak dibaca. Tanpa yang kedua, kita bisa gagal menepati deadline atau bahkan gagal terbit reguler.
Ada baiknya, sebelum mulai menerbitkan media, kita menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut terlebih dahulu:
1. Adakah lahan yang cukup luas?
Media ditebitkan karena orang membutuhkannya. Semakin banyak orang membutuhkan isue yang disajikan oleh media, semakin mudah media itu dipasarkan. Media khusus yang memanfaatkan ceruk memang dapat juga kuat di pasar. Tetapi bila ceruk itu terlalu sempit, maka pemasarannya pun tidak akan bisa tinggi. Semakin sempit ceruk diambil, semakin terbatas pula pemasang iklannya.
2. Apakah media cetak merupakan pilihan terbaik untuk mengkomunikasikan suatu hal?
Tidak semua hal yang menjadi kepedulian orang cocok dijadikan topik media. Terkadang suatu topik memang menyangkut begitu banyak orang tetapi ketika hal itu kita angkat lewat media, tak seorang pun membacanya. Misalnya: hampir semua orang di Wonosari memiliki handphone. Tetapi sebuah media yang mengulas seluk beluk handphone sebagai pesan utamanya, belum tentu dibaca oleh banyak orang di Wonosari. Pasalnya, soal HP mungkin bukan isue yang menarik untuk dibahas/dikomunikasikan lewat media. Dalam hal ini need belum tentu menjadi desire. Jika isue yang diangkat menjadi desire bagi banyak orang, barulah media itu berpelulang mendapatkan banyak pembaca.
Lalu dimana peluang media intra gereja? Saya melihat kebutuhan khayalak tentang adanya insight atas peristiwa yang terjadi di dunia ini. Ketika keran informasi mengucur deras, manusia justru kebingungan tetes-tetes mana saja yang harus ditenggak. Mereka tidak mungkin menelan semua informasi. Untuk itulah, manusia modern cenderung membutuhkan panduan untuk mencerna informasi yang ada.
Sebagai contoh, ada berita tentang tentara Israel yang menyerbu sebuah kapal yang menembus blokade Israel terhadap Palestina. Membaca berita ini, warga gereja menjadi bingung. Apa yang harus dilakukan? Apakah mendukung atau mengecam Israel? Apakah Isarel yang sekarang masih sama dengan Israel yang tertulis dalam Alkitab? Media massa umum tidak memberikan petunjuk kepada warga gereja untuk bersikap. Ini adalah peluang bagi media intra gereja.
Media intra gereja jelas tidak mungkin bersaing dengan media-media “sekuler” dalam menyajikan informasi yang terlengkap dan terkini. Namun media intra gereja dapat mengisi “kekurangan” dari media yang sudah ada, yaitu dengan memberikan panduan atas berbagai situasi yang terjadi. Di sinilah peluang media intra gereja sebagai pembawa suara kenabian. Media gereja dapat memberikan panduan kepada. Media intra gereja harus tampil untuk memberikan pencerahan terhadap peristiwa-peristiwa yang ada di sekitarnya.
3. Dapatkah redaksi mengembangkan isi hingga mampu melayani lahan yang ada?
Salah satu kunci sukses media adalah kemampuan para editor di redaksi untuk menjaga konsistensi editorial content dan mengembangkannya secara kreatif untuk melayani target pembaca yang telah dipilih.
4. Bagaimana konsep sebuah media dapat dites kehandalannya?
Melakukan tes keterterimaan pembaca terhadap sebuah konsep media sebelum benar-benar menerbitkannya penting untuk menghindari pemborosan. Tes bisa dilakukan terhadap kelompok tertentu yang dirasa merupakan pembaca yang potensial.
5. Apakah media mempunyai dukungan pembiayaan yang cukup?
Kita mungkin telah membidik lahan pembaca dengan tepat, memiliki redaksi yang handal tetapi tanpa dukungan pembiayaan yang cukup untuk tahap-tahap awal, media kita akan mengalami kesulitan.
6. Apakah redaksi punya cukup energi untuk proses yang panjang?
Penerbitan sebuah media biasanya membutuhkan waktu yang cukup panjang sampai ia benar-benar diterima pembaca. Tim redaksi harus punya energi yang cukup untuk melakukan eksplorasi terus menerus sebelum mendapatkan bentuk yang sungguh-sungguh tepat bagi pembaca yang hendak disasar.
7. Apakah redaksi didukung oleh jurnalis yang punya komitmen?
Sebuah terbitan dapat konsisten dalam idealismenya hanya jika didukung oleh para jurnlais yang punya komitmen dan disposisi pribadi yang kuat.
Bekerja Sebagai Tim
Untuk dapat bekerja dengan baik sebagai tim di redaksi, komitmen saja tidaklah cukup. Selain komitmen dari masing-masing anggota redaksi, diperlukan juga pengelolaan kerja yang baik dengan merumuskan jobdesk yang jelas bagi masing-masing fungsi yang ada, kualifikasi yang harus dipenuhi oleh setiap fungsi dan standar pemenuhan kinerja masing-masing fungsi.
Komitmen yang kuat tanpa pengelolaan kerja baik berisiko membuat tim tercerai. Pengelolaan yang baik tanpa komitmen tidak akan optimal membuahkan hasil kerja yang baik
Rekrutmen
Untuk memulai sebuah terbitan media, tidak perlu merekrut banyak orang di awal proses. Semakin kecil tim, justru semakin mudah koordinasi dilakukan dan kekompakan dibangun. Dalam merekrut tenaga ini ada empat jenis aktivis:
- Orang yang mau dan mampu
Kita sangat beruntung jika mendapat orang seperti ini. Orang seperti ini harus selalu dijaga supaya tidak mutung. Ini yang kurang disadari oleh gereja. Gereja kadang pelit dalam memberikan penghargaan kepada pekerja keras. Akibatnya, ketika aktivis mumpuni ini menjadi kecewa dan mengundurkan diri, maka gereja menjadi kelabakan.
- Orang yang mampu, tapi tidak mau
Cari tahu mengapa dia tidak mau terlibat dalam pelayanan. Apakah ada hambatan-hambatan yang dapat dihilangkan. Suntikkan motivasi supaya tergugah.
- Orang yang mau, tapi tidak mampu
Jika gereja punya sumber dana dan tenaga, maka dapat melakukan pelatihan terhadap orang-orang ini. Bisa juga dengan menggunakan metode magang (belajar sambil praktik)
- Orang yang tidak mampu dan tidak mau
Abaikan saja orang seperti ini
Bentuk Organisasi
Sebenarnya tidak ada struktur organisasi yang baku dan harus diikuti oleh sebuah penerbitan. Namun, berikut ini adalah struktur organisasi sederhana dan paling lazim kita temukan pada organisasi penerbitan pers:
Rubrikasi
Apabila struktur organisasi sudah ditetapkan, maka langkap berikutnya adalah menentukan rubrik tetap (rubrik yang harus selalu muncul dalam setiap edisi). Inilah bedanya media yang dikelola profesional dan yang amatiran. Dalam media yang dikelola amatiran, rubrikasi ditentukan berdasarkan ketersediaan naskah. Jika ada naskah puisi, maka dibuat rubrik puisi. Jika pada edisi berikutnya tidak ada naskah puisi yang masuk, maka rubrik ini ditiadakan. Sedangkan dalam media profesional, rubrik ditentukan lebih dulu barulah kemudian mencari naskah untuk mengisinya.
Rubrik yang tetap ini dapat menghemat tenaga karena tidak menuntut redaksi untuk berpikir tentang rubrikasi lagi untuk setiap edisi. Berikut panduan dalam menetapkan rubrikasi:
1. Membuat variasi rubrik
Semakin bervariasi rubrik-rubrik yang disajikan oleh redaksi, semakin redaksi berpeluang memuaskan lebih banyak pembaca. Rubrik yang bervariasi juga mampu menghindarkan pembaca dari kebosanan
2. Menentukan jenis artikel untuk masing-masing rubrik
Dengan mengetahui sejak awal jenis artikel yang dibutuhkan untuk setiap rubrik, para jurnalis maupun penulis lebih mudah menyesuaikan karya tulisnya dengan tuntutan rubrik
3. Menentukan pokok bahasan untuk setiap rubrik
Hal ini juga akan mempermudah para jurnalis dan penulis dalam menyesuaikan karya tulisnya dengan tuntutan rubrik
4. Menentukan jumlah halaman untuk setiap artikel
Penentuan jumlah halaman dapat menghindarkan para jurnalis dan penulis untuk menulis terlalu panjang dan terlalu pendek
5. Menentukan/menunjuk staf redaksi yang bertanggung jawab memantau tulisan di tiap rubrik.
Pembagian tugas semacam ini dapat menghemat energi tanpa mengurangi fungsi kontrol redaksi. Meskipun rubrik itu akan diisi oleh penulis luar, tetap harus ada salah satu staf redaksi yang menjadi penjabrik. Tugasnya adalah menagih pada penulis, dan kalau perlu membuat tulisan jika sang penulis luar itu berhalangan.
Setiap redaksi media mempunyai pola kerjanya sendiri-sendiri. Namun, yang selalu dijalankan oleh redaksi media manapun adalah rapat redaksi secara rutin, sebelum menerbitkan setiap edisi.
Dalam rapat redaksi dibahas hal-hal sebagai berikut:
1. Tema sentral utama yang akan diangkat dalam laporan utama
2. Nara sumber dan bahan-bahan lain yang akan dijadikan bahan penulisan
3. Pembagian tugas liputan di antara para jurnalis
4. Sudut padang atau angel liputan
5. Para kontributor tulisan yang hendak dilibatkan
Bekerja dengan Para Penulis
Para penulis luar adalah relasi penting yang sebaiknya tidak diabaikan. Sekalipun mereka pada umunya adalah orang-orang yang kompeten di bidang tertentu, namun tidak jarang mereka menulis sebuah naskah tidak seperti yang kita harapkan. Jika terjadi seperti ini, jangan terlalu cepat kecewa dan menyalahkan penulis. Para penulis, sekalipun ia sudah kompeten di bidangnya, tetaplah membutuhkan panduan yang memadai untuk membuat tulisan sesuai keinginan redaksi. Karena itu, redaksi perlu membuat panduan ringkas yang kurang lebih memuat :
1. karakter rubrik
2. panjang tulisan
3. pertanyaan-pertanyaan yang diharapkan terjawab oleh tulisan yang kita minta
Perencanaan terbitan yang sudah dilakukan dengan baik dakan memudahkan redaksi dalam membuat panduan bagi para penulis luar
Seperti yang saya tulis di awal, mengelola media internal gereja itu sangat sulit. Sudah sumberdayanya terbatas, kita masih dipusingkan oleh staf yang berkarya angin-anginan, ditambah sambutan jemaat yang kurang simpatik. Hal itu memang dapat melemahkan semangat. Itulah pentingnya ada visi yang jelas. Jika kita sudah mendapatkan pewahyuan itu, maka kita tidak mudah menjadi putus asa karena sumber kekuatan kita bukan dari dana atau tenaga, melainkan dari kuasa Tuhan. Mengelola media gereja itu memang sulit, tetapi kita punya Tuhan yang lebih besar daripada semua masalah.
Dikembangkan dari makalah "Mengelola Redaksi, Membangun Tim Yang Efektif"
oleh Mg Sulistyorini
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 7145 reads
@PK: tulisan yang bakal jadi rujukan saya
Dua tulisan berturut2 yg terkait dengan publikasi, -ngeblog, dan media cetak gereja, mohon ijin, utk saya kutip.
No man is a man who does not make the world better
Silakan
Silakan
------------
Communicating good news in good ways
suatu
Ia sangat memerlukan suatu perubahan baru agar bisa berjalan lancar.Memang pada dasarnya,banyak orang tidak berminat namun itu bukan alasan utk tidak berkembang.
geadley