Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Naluri untuk Bertahan Hidup
"Bertahan untuk hidup adalah naluri utama manusia yang bisa mengalahkan apapun, bahkan cinta sekalipun," merupakan komentar Daniel dalam sebuah blogku. Aku banyak membaca cerita petualangan orang yang terdampar, sehingga harus mengakui pernyataan ini ada benarnya.
Lalu ungkapan "sifat asli manusia akan kelihatan ketika rasa lapar menyerang," sudah sering kudengar diucapkan oleh orang lain. Sehingga aku sadar sulit sekali menemui manusia yang memikirkan orang lain dalam keadaan perut kosong.
Aku mempunyai cerita yang mungkin tidak berhubungan secara langsung dengan naluri bertahan hidup yang mengalahkan cinta, atau topeng yang terbuka setelah beberapa hari tidak makan. Tidak, ini hanya sebuah cerita yang membuatku sadar manusia akan menemukan jalan untuk bertahan hidup kalau keadaan memaksa.
Inilah ceritaku:
***
Kalau orang mendengar kata Bengawan Solo, mungkin yang terlintas dalam pikirannya adalah nama Gesang. Lalu kalau nama Gesang yang disebut, orang mungkin teringat dengan lagu Bengawan Solo. Bagi yang belum pernah melihat sungai ini, tetapi pernah mendengar lagunya, mungkin ia penasaran, seperti apa sungai dalam lagu yang disukai oleh kebanyakan orang Jepang pada waktu mereka menduduki negeri ini.
Ya, sepertinya Bengawan Solo dan Gesang sudah begitu identik.
Ikong menghabiskan masa kecil di pulau yang sangat jauh dari pulau yang dilintasi oleh Bengawan Solo, tetapi ia merasa begitu akrab dengan kata Bengawan Solo. Waktu kecil, suka atau tidak suka, ia telah mendengar lagu ini ribuan kali. Lagu yang menjadi lagu wajib kakeknya setiap sore. Mungkin inilah sebabnya Ikong berharap suatu ketika ia bisa melihat sendiri sungai ini.
"Itu Bengawan Solo, ya?" merupakan pertanyaan pertama yang diajukan Ikong ketika datang ke Solo dan melihat sungai selebar sekitar limabelas meter di dekat terminal. Ya, Ikong akhirnya tinggal di Solo, tentu saja bukan karena Bengawan Solo.
Orang yang ditanya cuma tersenyum simpul. Dan Ikong tahu pasti ini bukan Bengawan Solo, karena tidak seperti yang digambarkan dalam lagu.
"Kebun Binatang Jurug terletak di tepi Bengawan Solo", tertulis dalam sebuah brosur wisata. Isi brosur ini membuat Ikong mencari daerah Jurug. Jika orang lain datang ke kebun binatang untuk melihat binatang, Ikong bersepeda beberapa kilometer hanya untuk melihat Bengawan Solo. Ia tidak tertarik dengan binatang dalam kurungan, karena sudah bosan melihat trenggiling yang langsung menggulung badannya kalau ketangkap basah mengganggu sarang semut. Ia juga sudah bosan mengusir monyet-monyet yang mencuri makanan di dapur.
Sendirian ia menjelajahi kebun binatang ini, berharap segera melihat Bengawan Solo. Pasti tidak jauh lagi. Ia dilahirkan dan dibesarkan di pinggir sungai, sehingga telah belajar bahwa satu-satunya cara menemukan sungai adalah mengikuti jalan yang menurun, bukan sebaliknya.
Dari jauh ia bisa melihat sebuah tempat yang sepertinya bukan bagian dari kebun binatang, betapa senang hatinya melihat tulisan 'Taman Gesang' di pintu gerbang. Sebentar lagi ia akan melihat sungai yang sangat ingin dilihatnya sejak kecil.
***
Sekarang kali ketiga Ikong mendatangi Taman Gesang. Jika sebelumnya ia ke tempat ini sendirian, kali ini ia ditemani oleh seseorang. Setiap kali berada di tempat ini, ia selalu ingat kampungnya sendiri, ingat sungai yang menghubungkan kampungnya dengan kampung lain. Sungai yang bernama Sungai Ampit.
Di kampungnya, sungai tidak bisa dipisahkan dari kehidupan penduduk. Apalagi dulu satu-satunya cara memenuhi undangan pernikahan di sebuah kampung hanyalah melewati sungai. Kehidupan sehari-hari juga tidak jauh dari sungai. Sampai-sampai penduduknya tidak mengenal arah utara, atau selatan. Mereka hanya mengenal empat arah: ngaju, arah menuju hulu sungai; ngawa, arah menuju hilir sungai; ngambu, arah menjauhi sungai secara tegak lurus alirannya; ngiwa, arah tegak lurus menuju sungai. Juga urusan mandi, mencuci dan buang air besar juga dilakukan di sungai. Ya, sungai benar-benar tidak bisa dipisahkan dari kehidupan penduduk disana.
Waktu kecil Ikong suka memandang ke arah ngawa dan berharap suatu saat bisa melihat apa yang ada di sepanjang sungai ini sampai ke kota. Bila memandang ke arah ngaju ia bertanya-tanya kapan diijinkan untuk ikut melihat bagian hulu. Kata kakek air di hulu sungai begitu bening sehingga dasar sungai kelihatan. Kakek juga bercerita hutan-hutan di bagian hulu ini sangat lebat, dan kawanan monyet suka melempari perahu yang lewat dengan buah-buahan.
Ikong hanya pernah mendapat kesempatan ke arah ngawa". Kesempatan itu datang ketika akan melanjutkan sekolah di kota. Ia tidak pernah melupakan pemandangan sepanjang sungai: deretan pepohonan, deretan rumah di sepanjang sungai, deretan rakit yang ditambatkan di pinggir sungai, rakit yang menjadi tempat berkumpul sekaligus tempat mandi, mencuci dan membuang kotoran. Perjalanan 24 jam ini sangat menyenangkan baginya walaupun harus berdesakan di sebuah kapal kecil yang bergerak seperti keong.
Ini bukan perjalanan yang terakhir, selama bertahun-tahun ia bolak-balik di antara kampung dan kota.
***
Lima tahun lalu, dalam salah satu perjalanannya, ia melihat pemandangan di sepanjang Sungai Ampit sudah berubah, sebenarnya tidak ada yang berubah, kecuali ada pemandangan yang bertambah. Ribuan rakit bertebaran, bukan rakit tempat mandi, mencuci, atau tempat membuang kotoran. Tetapi rakit yang dipasangi mesin penyedot pasir. Sungai ini mengandung banyak emas, dan penduduknya tidak puas hanya mendapat satu gram sehari dengan cara mendulang biasa. Mereka memakai mesin serta menemukan air raksa sangat berguna untuk memisahkan emas dari kotoran.
"Mah, aku dengar penambangan emas dengan mesin penyedot pasir akan dilarang, karena merusak sungai." kata Ikong kepada ibunya ketika mendengar isu penambangan emas dengan alat berat serta air raksa akan dilarang. Katanya larangan akan diberlakukan setelah pemilihan umum selesai.
"Kalau dilarang, orang-orang makan apa?" balas ibunya tidak setuju. Keluarga Ikong memang tidak punya rakit selain rakit untuk mandi, mencuci dan membuang kotoran, tetapi mereka ikut mendapat rejeki juga. Setiap malam, para penambang emas pasti kembali ke kampung, sebagian melepas kepenatan dengan bermain bilyar di rumah mereka.
Dua tahun kemudian ketika Ikong pulang kampung lagi, Sungai Ampit sudah berubah, kali ini berubah total. Rumah-rumah di pinggir sungai masih ada, rakit-rakit tempat mandi, mencuci, buang air besar masih ada. Tetapi rakit penyedot pasir sudah tidak ada. Yang tersisa hanyalah gundukan-gundukan pasir berbentuk pulau. Jumlahnya pasti lebih banyak dari jumlah rakit penyedot yang pernah ada, karena satu rakit paling tidak membuat sebuah pulau pasir di tengah sungai.
"Emasnya sudah habis ya?" kata Ikong kepada penumpang di sampingnya, hanya memancing percakapan. Ia tahu larangan penambangan dengan alat berat dan air raksa tidak pernah diterapkan. Sehingga jika penambangan ini berhenti, pasti karena tidak ada lagi yang bisa dikuras.
"Ya, tetapi sekarang lebih enak. Sekarang lagi jamannya menyadap karet. Semua orang menjadi petani karet, dan banyak yang menjadi kaya."
Dalam hati Ikong berkata, orang-orang ini ternyata tetap hidup ketika emas sudah terkuras habis, mereka bisa menemukan mata pencarian lain, bahkan mata pencarian yang lebih baik, dan tidak merusak lingkungannya sendiri. Tidak merusak tempat mereka mandi, mencuci, dan membuang kotorannya.
Ikong jadi teringat percakapan dengan ibunya lima tahun yang lalu, yang berkata melarang orang ini menambang sama saja dengan membunuh mereka. Orang-orang ini ternyata tidak mati ketika emasnya habis. Ketakutan yang dulu membuat larangan itu tidak pernah diterapkan.
Akhirnya orang-orang ini membunuh diri mereka sendiri. Sungai begitu tercemar sehingga tidak ada ikan yang bisa bertahan hidup. Mereka akhirnya makan ikan yang didatangkan dari kota, yang katanya terlalu berlemak. Mereka tidak peduli, mereka punya uang untuk membelinya, karena karet sangat laku. Kalau bosan makan ikan, babi juga masih banyak. Babi gemuk berlemak lebih murah dari harga karet, sehingga masih ada sisa untuk membeli beras.
Tidaklah terlalu mengherankan jika hampir semua orang yang berumur di atas 50 tahun pasti terserang stroke. Kalau mendengar lonceng gereja berdentang orang hanya bertanya kepada orang di sebelahnya, "Siapa lagi yang meninggal kali ini ya?"
Jaman kejayaan sungai sudah lewat, anak cucu Ikong hanya akan mendengar ceritanya. Anak cucunya juga harus berjuang sendiri, mereka tidak boleh berharap pada generasi Ikong, generasi yang mewariskan sungai yang sudah hancur dan tercemar air raksa, sungai tanpa ikan. Bahkan mereka tidak bisa berharap pada pohon karet yang ditanam sekarang, karena pohon sebesar paha orang dewasapun sudah disadap. Pohon-pohon yang pasti mati beberapa tahun lagi.
Tidak apa-apa, anak cucu Ikong akan menemukan cara untuk bertahan hidup. Itulah manusia. Makhluk dengan naluri untuk bertahan hidup yang mampu mengalahkan cinta. Cinta kepada anak cucunya.
***
Ikong masih di Taman Gesang, menikmati keindahan yang tidak akan pernah ditemuinya lagi di pinggir Sungai Ampit. Senang karena seseorang mau menemaninya menikmati keindahan ini. Pemandangan di hadapannya memang tidak seindah pemandangan di Sungai Ampit waktu ia kecil. Tetapi dari taman ini, ia tidak melihat pulau pasir, juga tidak melihat pohon bertumbangan malang melintang karena tanah yang disedot mesin penyedot pasir.
Ia berharap tidak ada emas di Bengawan Solo, kalau ada, mungkin nasibnyapun akan sama seperti Sungai Ampit, dihancurkan karena naluri untuk bertahan hidup. Ya, kalau ada emas, lagu Bengawan Solo-pun mungkin hanya akan tinggal kenangan.
Hari sudah hampir petang, para pedagang mulai membereskan tikar-tikarnya.
"Pulang ya," kata Ikong mengajak orang yang menemaninya pulang. Sangat berat baginya mengucapkan kata ini.
Suatu hari, ia akan kesini lagi dan pasti akan mengajak orang ini lagi.
- anakpatirsa's blog
- 7088 reads