Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Naik Becak Pagi ini
Karena hari ini jatahnya pajak kendaraan, jadi aku harus rela naik bis untuk ke kantor. Daripada ketemu bapak polisi dan ketahuan tidak bawa STNK. Terlebih lagi aku tidak mau melanggar peraturan pemerintah, mengendarai motor tanpa surat-surat ... ceilah ....
Jarak kantor dan rumahku cukup jauh, jadi kalau naik bis bisa kugunakan untuk merem-merem ayam bahkan kadang merem beneran, lumayan menambah jam tidur yang seringkali kurasa kurang.
Sayang sekali, pagi ini bis lumayan penuh, aku terpaksa berdiri di lorong bis. Tidak apa-apalah daripada telat datang ke kantor. Namun, tidak berapa lama ada juga tempat duduk yang kosong, thanks God karena capek juga berdiri (apalagi pak kondekturnya ya, betapa capeknya). Nanti aku harus turun di terminal dan untuk sampai di kantor ada 2 alternatif, jalan kaki atau naik becak. Pilihan kedua aku ambil karena hari sudah merambat siang.
Turun dari bis, ada pak becak menawariku untuk naik becaknya. Aku iyakan saja karena buru-buru, tapi aduh ... aku deg-degan, waktu kuperhatikan penampilannya tidak seperti seorang supir becak, lebih tepat sebagai seorang preman. Tubuhnya kekar, kulitnya coklat tua kusam. Rambutnya gondrong lurus kemerahan akibat kena sinar matahari tiap hari kelihatannya. Ingin kubatalkan saja dan cari becak yang lain tapi sudah telanjur.
Dia sudah menuju ke becaknya, dan aku pun terpaksa naik ke becaknya dengan jantung yang dag dig dug dan pikiran-pikiran menakutkan yang melintas di kepala. Jangan-jangan nanti ... jangan-jangan ... aduh duh. Tiba-tiba, medhun ngendi (turun mana), tanyanya lantang, lalu aku bilang, mandhap saksampunipun kuburan pak (turun setelah kuburan pak), kataku sopan. Aku takut jawabanku nantinya menyinggungnya, takut dia marah ..dan .. ah aku parno sendiri. Belok tengen (belok kanan), lagi katanya lantang, Nggih (iya), jawabku mengiyakan.
Dia pun melaju dengan becaknya, kuat sekali pikirku, meskipun jalan yang dilalui tidak terlalu datar dan dengan membawa aku yang lumayan berat dia tetap mengayuh kencang becaknya. Tidak berapa lama, kantorku sudah kelihatan. Stop, mriki pak (stop, sini pak). Kene (sini). Nggih (iya). Becaknya berhenti, dia turun dari sadelnya dan kemudian aku pun turun dari becaknya. Aku dekati dia dan mengulurkan uang. Dia terima uang itu. Aku sedikit menunggu jangan-jangan uangku kurang, karena aku memang tidak pernah tawar menawar harga untuk naik becak, aku kira-kira sendiri saja, kalau lebih juga tidak apa-apa, kalau pak becaknya bilang kurang kutambahin uangnya. Tapi dia tidak meminta lagi. Lalu kubilang matur nuwun pak (terima kasih pak), kutambah senyum (mungkin agak kecut karena takut) dia bilang, Yo, gek ndang kono (Ya, buruan sana) ditambah senyum juga. Alamak ... mungkinkah dia tahu aku nyaris terlambat hari ini?
Aku berlari kecil menuju gerbang kantor sambil senyum-senyum ... ah ... yang kutakutkan tidak terjadi. Aku tarik pelajaran dari naik becak pagi ini. Sekali lagi, aku tidak boleh menilai orang dari bungkusnya atau dari statusnya saja. Untuk berlaku sopan, tidak ada salahnya kepada siapa saja, tidak harus pilih-pilih atau karena takut.
Thanks God. Aku tidak telat ngantor hari ini dan kumulai kerja hari ini lagi dengan hati penuh sukacita.
Sekali lagi terima kasih Tuhan ....
26/9/06--08.00
"kita berbeda dalam semua kecuali dalam CINTA"
- Eudice's blog
- 6150 reads
nice Story
Namaku: Yulia
Thank You
"kita berbeda dalam semua kecuali dalam CINTA"