Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Misson Trip ke Sumba Timur [bagian 1]
Dua tahun lalu, saya sudah menggumulkan untuk melakukan perjalanan pelayanan (mission trip) ke NTT. Sebenarnya sudah direncanakan untuk berangkat tahun lalu. Namun batal berangkat karena ada halangan. Meski demikian, keinginan itu masih ada. Lalu datanglah ajakan Ervina dari Yayasan Lentera Kasih Agape di Medan. Antara Footprints, yaitu lembaga pelayanan saya, dengan Yayasan Lentera Kasih Agape, tempat Ervina melayani sudah terjalin kerjasama. Dua kali saya diundang YLKA ke Medan dan satu kali ke Lombok untuk menjadi trainer Guru Sekolah Minggu.
Saat Ervina bercerita tentang pelayananan yang sedang dirintisnya di Waingapu Sumba Timur, saya berkata dalam hati, "Ini adalah jawaban Tuhan atas doa-soa saya."
Itu sebabnya, sebelum Ervina meminta saya untuk menjadi fasilitator bagi training GSM, saya sudah berkata, "Saya bersedia. Saya mau" Ervina tampak terperangah sejenak, tapi lalu saya jelaskan bahwa saya sudah punya keinginan lama untuk dapat pergi ke NTT. "Luar biasa rencana Tuhan ya mas," kata Ervina.
Ketika saya sampaikan rencana ini ke isteri, dia pun menyambut dengan antusias. Dia ingin ikut ke dalam mission trip ini dengan melayani ibadah minggu di sana. Untuk itu, dia mengajukan cuti ke gereja tempat dia melayani. Lalu saat saya bagikan rencana ini di grup Whatsapp gereja, ada dua anggota jemaat GKI Klaten yang berminat ikut. Bapak saya juga berminat. Dia ingin menyumbangkan suaranya dalam menembang Jawa. Semuanya berangkat atas biaya dari kantong sendiri.
Perjalanan ke Waingapu ternyata tidak dapat ditempuh dalam sehari, pasalnya pesawat yang terbang ke Waingapu berangkat pukul 10 pagi dari Denpasar. Padahal pesawat paling pagi dari Yogyakarta baru akan mendarat di Denpasar sekitar pukul 8. Memang masih ada selisih waktu 2 jam namun ini mengandung risiko jika keberangkatan dari Jogja alami penundaan maka kami bisa ketinggalan pesawat berikutnya karena penerbangan ini bukan connecting alias beda maskapai. Maka satu-satunya pilihan adalah menginap di Denpasar.
Kamis siang (6 Oktober), kami sudah siap di ruang tunggu. Ternyata ada penundaan (delay). Karena sudah menjadi rutinitas, maka penumpang sudah terbiasa. Sembari menunggu, kami melihat pesawat-pesawat TNI AU terbang rendah di atas landasan sembari melakukan manuver-manuver akrobatik. Mereka adalah tim Yupiter, yaitu tim aerobatik kebanggaan bangsa Indonesia. Rupanya mereka sedang melakukan latihan.
Selang dua puluh menit terdengar boarding call. Kami harus berjalan cukup jauh. Dari terminal B menuju landasan terminal A. Ya, bandara Adisucipto memang membuka terminal baru yang diperuntukkan untuk keberangkatan internasional dan beberapa maskapai domestik. Lokasinya ada di sebelah barat terminal lama. Namun lucunya, terminal ini belum punya apron sendiri. Penumpang harus berjalan kaki menuju apron di terminal A.
Meski seluruh penumpang sudah berada di dalam pesawat, ternyata pesawat belum juga mengudara. Pilot mengumumkan bahwa karena adanya latihan TNI AU maka banyak pesawat yang tertunda keberangkatan maupun pendaratannya. Di langit Yogyakarta, ada beberapa pesawat yang berputar-putar menunggu giliran mendarat. Sementara itu, pesawat kami mendapat antrian nomor lima untuk terbang. Begitulah risikonya menggunakan landasan militer. Pesawat sipil harus mengalah jika pemilik landasan sedang memakainya untuk latihan.
Ternyata keberuntungan belum menghampiri kami. Menjelang Denpasar, kami pun tidak bisa segera melandas. Kami harus berpusing-pusing di langit pulau Bali, begitu kata orang Malaysia, karena landasan bandara I Gusti Ngurah Rai juga sedang mengalami perawatan. Kami mendapat antrian nomor dua belas. Fiiuuuh....
Sesampai di hotel, perut sudah lapar. Usai mandi, kami meluncur ke pantai Jimbaran untuk menikmati masakan laut sembari menikmati suasana pantai. Suasana memang romantis. Namun kami harus membayar mahal untuk suasana itu. Saat melihat harga di daftar menu, kami sudah menahan diri untuk tidak pesan macam-macam, tapi tak urung menguras isi dompet cukup dalam juga. Tapi tak apalah.
***
Istirahat semalam memulihkan tenaga kami. Pukul delapan, kami sudah meluncur ke bandara yang hanya berjarak 10 menit perjalanan mobil dari hotel. Saat check in, kami harus membayar kelebihan bagasi karena ternyata jatah bagasi untuk pesawat ATR hanya 15 kg per orang. Kami kelebihan bagasi 10 kg.
Beres urusan check ini, kami harus sarapan dulu karena ternyata tarif hotel kami tidak termasuk layanan sarapan. Kami mampir di warung soto bali. Harganya nggak kira-kira. Semangkok soto, dibanderol 50 ribu. Busyet. Tak urung kami pesan juga. Rasanya cukup enak sih.
Tepat pada suapan terakhir, terdengar boarding call. Pesawat jenis ATR membawa kami menuju Waingapu dengan ketinggian 14 ribu kaki. Dua jam kemudian kami mendarat di bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu, Sumba Timur. Bandara ini terbilang kecil karena hanya diterbangi Wings dan Nam Air. Saat itu bandara sedang mengalami renovasi. Conveyor sedang dipasang sehingga kami harus mengambil dan memilih sendiri bagasi kami saat baru saja diturunkan dari kereta tarik.
Kami dijemput oleh bunda Fransuna Ranggalodu dan bapa Luther. Suami-isteri ini sama-sama dipanggil menjadi pendeta di Gereja Kristen Sumba. Kami masih harus menempuh perjalanan 60 km menuju kecamatan Lewa, arah barat dari kota Waingapu. Lokasinya ada di dataran tinggi. Tujuan kami adalah kampus Sekolah Tinggi Teologi (STT) GKS di Pametikarata.
STT GKS ini berdiri pada tahun 2007 sebagai pengembangan dari pendidikan teologi tempat guna (PTTG) yang telah berkipra sejak tahun 2005.pada awalnya PTTG menyelenggarakan program studi diploma II teologi untuk mendidik tenaga-tenaga pelayanan menengah setara dengan guru injil.
Seiring dengan perjalanan waktu, pada tahun akademik 2007/2008 PTTG berkembang menjadi STT, dan membuka program studi pendidikan agama kristen, pada tahun akademik 2008/2009, dibuka lagi program studi teologi/kependetaan.
***
Setelah beristirahat semalam, kami bersiap untuk berbagi berbagi ilmu dan wawasan kepada lebih dari 70 mahasiswa STT GKS dan guru sekolah minggu di sekitar Lewa. Acara ini dimulai pukul 9 hingga 17, pada hari Sabtu, 8 Oktober 2016 di aula STT GKS.
Pada sessi pertama, saya ajarkan Pendalaman Alkitab dengan metode Induktif. Sebelum mengajarkannya pada anak-anak, para guru sekolah minggu hendaknya lebih dulu menggumuli firman Tuhan itu sehingga ketika dia mengajarkannya kepada anak-anak, maka hal itu berasal dari hasil pendalaman dan penggalian kebenaran Alkitab.
Pemahaman Alkitab dengan metode induktif adalah upaya menemukan kebenaran dalam Alkitab. Ada tiga kegiatan dalam PA Induktif ini yaitu Pengamatan (Observasi), Penafsiran (Interpretasi), dan Penerapan (Aplikasi).
Mengapa menggunakan metode ini?
- Agar kita dapat memahami isi dari kebenaran Alkitab
- Agar kita mengalami pertumbuhan iman
- Untuk menghindari kesalahan penafsiran
Selanjutnya mereka diajak untuk menyiapkan rencana pengajaran. Hasil dari PA induktif yang baru saja dilakukan oleh GSM selanjutnya dijadikan bahan untuk bahan pengajaran kepada anak-anak. Mereka menyiapkan alat peraga. memilih lagu, membagi tugas, dan juga menetapkan metode bercerita. Ada delapan kelompok yang terbentuk dan mereka mendapat tugas untuk praktik mengajar pada hari minggunya. Namun karena ada GSM yang berasal dari luar Pametikarata, yang jaraknya lumayan jauh, maka mereka tidak mendapat tugas untuk praktik mengajar karena mereka ada tugas pelayanan pada hari minggu. Namun bagi kelompok GSM yang berada di dekat dengan lokasi STT GKS, maka mereka akan melakukan praktik mengajar pada keesokan harinya. Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa STT GKS yang belum pernah mengajar Sekolah Minggu.
Bagaimana jadinya ketika mereka pertama kali mengajar Sekolah Minggu?Tunggulah tulisan berikutnya.
------------
Communicating good news in good ways
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 5086 reads