Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
MENUNGGU ANAK SEKOLAH, MEMBAWA PULANG MASALAH
Musim sekolah tiba, musim durian belum datang. Eh, apa hubungannya? Emang ngga ada, ngaco aja kok. Sekolah itu tidak kenal musim, tidak harus di gedung atau harus duduk di bangku. Dimana saja kita bisa belajar, karena hidup ini harus terus belajar sampai mati, kalau mau belajar. Kalau nggak mau belajar tentang hidup dan kehidupan ini, ya sudah, mati sajalah!
Mempunyai anak yang mulai menginjak bangku sekolah, entah Play Group atau TK (Taman Kanak-kanak) adalah peristiwa yang penuh hari biru. Lihatlah ketika sang anak mulai mengenakan seragam sekolah pertamanya, juga tak lupa dikalungkan tempat minumnya yang seru, betapa lucunya. Sang anak pun akan meluapkan senyum kebahagiaan yang tiada tara, Lebih-lebih sang ortu, sibuk mengagumi bahkan mengabadikan dengan apa yang dia punya. Semua itu dilakukan untuk memberi semangat sang anak dalam masa perdananya mengenal sekolahan.
Bagi orangtua yang ingin menyaksikan langsung kegiatan hari pertamanya sekolah, tentu akan menungguinya dengan penuh harapan. Semoga sang buah hati bisa menyatu dengan dunia barunya.
Bila sang anak tidak rewel, tentu bukan persoalan bagi orangtuanya atau yang menunggu. Tapi bila rewel, bujuk rayu pun siap ditumpahkan agar sang anak diam dan menurut.
Lihatlah, Si Non selalu celingukan melihat orangtuanya masih ada apa enggak?
Lihatlah, Si Nang bolak balik keluar untuk mencari yang mengantar masih di tempat atau kabur.
Lihatlah, Si Neng mengandeng sang ibu untuk selalu di sampingnya.
Lihatlah, Si Nono diam saja duduk dengan tangan bersikap.
Lihatlah, Si Nung asyik makan perbekalannya, nggak perduli teman di sampingnya memperhatikannya.
Lihatlah, Si Nani nangis karena nggak mau ditinggal sang mami.
Itulah sekilas suasana anak-anak di hari pertamanya sekolah. Kita dulu pernah mengalaminya. Kita pernah merasakan menjadi kanak-kanak. Kita punya kenangan terhadap sang guru yang sabar, telaten dalam melayani tingkah laku khas anak-anak. Semua menjadi kenangan indah saat kita dewasa nanti.
Persoalan di atas adalah biasa, justru yang tidak biasa adalah peran "para" penunggu anak-anak itu. Inilah kenyataan yang sering, selalu dan terus akan terjadi kepada mereka yang setia menunggu anak-anaknya sekolah. Tak perduli di sekolah Play Group, Taman Kanak-kanak Umum, Islam, Kristen/Katolik atau bahkan sekolah yang ada embel-embel International. Sang penunggu anak adalah "pembawa masalah" yang tidak dimengerti sang anak.
Mereka yang biasa menunggu anak sekolah itu antara lain, ibu-ibu atau bapaknya, kakek/neneknya, suster/pembantunya, bisa juga om/tantenya. Tapi prosentasi yang terbesar adalah para ibu, yang kedua bapak.
Para ibu-ibu yang menunggu, kalau bukan ibu rumahtangga biasanya punya profesi yang bisa ditinggal sejenak untuk menunggu anak sekolah. Sementara kalau bapaknya yang menunggu, kalau tidak pengangguran ya pekerjaannya serabutan, atau pensiunan, mungkin bisa saja seniman. Begitulah hasil pengamatan yang pernah dilakukan.
Pasti Ada SI POKIL
Pertama kali perkenalan, pasti ada seorang ibu yang berpenampilan "super" alias superiority complek. Untuk menunjukkan diri hebat, bila jajan (di sekolahan tersebut), dengan akrabnya akan menawari semuanya, istilahnya nraktir. Nah, dari makanan terjalin keakraban, memang pameo yang benar adanya.
Komunikasi pertama saling memperkenalkan orangtuanya anak yang mana, rumahnya mana, nomor telponnya berapa dan seterusnya dan seterusnya. Pokoknya komplit pake telor!
Hari berikutnya, ada yang menawarkan dagangan, entah makanan atau kain atau kosmetik dan segala macam deh. Berikutnya, membentuk arisan. Tentu dalam pembentukan ini biasanya sang perempuan super ini mempunyai ilmu pokil , saya belum sempat mencari dalam kamus, apa arti luasnya kata tersebut. Tapi ciri-ciri orang pokil ini biasanya cerdik untuk keuntungan dirinya sendiri. Nah, ide arisan atau persekutuan, entah namanya apa, pasti akan menguntungkan si pokil ini.
Senjata utama si super pokil ini, selain bawel, lancang mulut, mudah memotong pembicaraan orang lain adalah mendesakkan ide atau gagasan. Perlu diingat, si pokil ini belum tentu orang berduit, biasanya justru orang pas-pasan dengan persoalan rumahtangga yang menyimpan kerumitan. Tapi bila si pokil ini bisa mendekat kepada orang yang dianggap besar, pastilah nebeng kebesaran mereka, biar berkesan dia juga orang besar. Malah terkesan jadi angkuh, obral bual dalam pembicaraan dan muluk-muluk. Tapi kalo Si Pokil ini orang kaya, ceritanya agak jarang.
Dalam arisan, sering terjadi pesanan, siapa yang mau dapat dahulu, asal siap komisi buat si pokil, pasti deh dapat! Dan perlu diingat, si pokil ini tidak akan malu-malu buat pinjam uang alias utang! Mengembalikannya, tidak sesuai perjanjian bahkan berani bertengkar agar dianggap lunas. Kalau yang menagih penakut atau pasrah, ya memang jadi lunas. Dan ini biasanya yang dijadikan mangsa Si Pokil di setiap sekolahan.
Akal-akalan yang dibalut kepedulian sosial pun biasa dijadikan umpan yang empuk untuk menangguk untung. Misalnya, menengok ibu anu yang baru melahirkan. Si pokil pun dengan gesit "menodong" iuran yang ditetapkan sendiri tanpa kompromi, uangnya pun yang menyimpan dirinya. Sementara ibu-ibu yang punya "mental bebek" atau mental ikut-ikutan atau herd complek, dijadikan anak buahnya yang penurut. Jadilah mereka kelompok mau menang sendiri, main paksa!
Si Pokil dan komplotannya suka main intimidasi terhadap ibu/bapak yang lemah. Atau mereka yang sok gengsi adalah sasaran utama dalam mengumpulkan donatur untuk kepentingan kelompoknya. Ibu melahirkan, atau ada yang meninggal di antara saudara dari wali murid adalah komoditas asyik buat menggali duit.
Ketika kenaikan sekolah pun tidak luput dari proyek yang gurih. Si Pokil and his gang pasti minta iuran dengan alasan buat membelikan kenang-kenangan sang guru.
Kalau anda ibu/bapak yang lemah, jangan coba-coba menunggu anak sekolah setiap hari kalau mental tidak di siapkan dengan baik. Kalau anda tidak mengikuti aturan mereka, pastilah akan dijadikan bahan gunjingan yang meriah. Yang pelit lah, miskin lah atau bahkan dianggap tidak beragama, astaga?
Tetapi bila anda penuh kasih karena memegang ajaran agama, justru anda mangsa yang paling empuk buat santapan setiap saat. Agama anda akan dijadikan modal buat mengeruk keuntungan Si Pokil ini. Segala ayat akan memenuhi SMS ha-pe anda! Tapi kalau anda cerdik, biasanya ayat yang dipakai asal comot aja, agar anda terharu dan luruh, akhirnya keluarlah dana lebih dari persepuluhan anda buat Si Pokil ini. Nah lho....!
Bagaimana cara agar anda tidak terjebak polah tingkah Si Pokil yang selalu ada di setiap sekolahan ini?
Pertama, usahakan bila si anak bisa ditinggal, ditinggal saja dan pasrahkan semuanya dalam pengawasan sang guru. Paling lama biasanya anak bisa ditinggal dalam jangka sebulan. Lebih dari itu, anak anda memang "istimewa".
Kedua, jangan banyak terlibat dengan urusan "ngrumpi" nya para mamah-mamah, ibu-ibu, pembantu-pembantu dan waspadalah terhadap mereka yang sok akrab dan sok yang lainnya.
Ketiga, jangan mau diajak ikut arisan atau semacamnya. Artinya membeli sesuatu yang ditawarkan para ibu itu tanpa memahami kepentingan akan barang tersebut, walau kredit. Apalagi kalau barang tersebut tidak begitu penting, abaikan saja. Kalau yang dijual makanan, apalagi yang menjual memang sudah anda ketahui dengan baik, artinya si ibu itu menjual untuk membiayai anaknya sekolah. Tentu ini bukan masalah, tergantung keuangan anda saja.
Keempat, jangan mudah mengeluarkan uang ketika ada yang mau utang, dengan alasan apapun! Dengan alasan apapun!! Ini yang paling sering jadi persoalan sekolah di bawa pulang ke rumah jadi masalah. Biasanya kalau ada ibu yang memberi utang, pasti tanpa sepengetahuan suaminya, (kalau suaminya kerja luar kota atau pelayaran) , pasti deh kagak diberitahu. Lha wong serumah aja kadang tidak diberitahu kok.
Kelima, berani menolak. Kalau anda diajak menyumbang sejumlah uang yang sudah ditetapkan, entah untuk menengok atau melayat atau memberi hadiah sang guru, katakan "Tidak ikut!" atau "Nanti saya menyumbang sendiri". Tapi kalau anda punya uang lebih, ndak masalah, ya nggak pa pa. Tapi, banyak kejadian yang uangnya pas-pasan, dipaksa ikut iuran dengan jumlah yang sudah ditetapkan bukan atas dasar "sukarela", akan merasakan susah yang luar biasa! Bayangkan, mereka menyekolahkan anak agar pintar kok malah sering "ditodong" iuran yang tidak ada sangkut pautnya dengan proses belajar mengajar sang anak. Padahal tidak semua orangtua berlebih hartanya.
Begitulah kenyataan yang selalu terjadi menimpa para orangtua yang "berdinas" di sekolahan kanak-kanak. Ada yang bisa menjadi "saudara" atau bahkan menjadi "musuh" baru. Sementara anak-anaknya rukun-rukun saja. Hari ini bertengkar, besok akur lagi. Sementara sang orangtua, hari ini punya masalah, besok bermusuhan, esoknya dibumbui dendam, berikutnya sang anak diajak ikut-ikutan memusuhi anaknya!
Yaah..... orangtua kadang-kadang bertingkah lebih kanak-kanak daripada seorang anak.
Pulang sekolah lelah, orangtua membuat ulah.
Aku ingin pintar, orangtua malah kurang ajar.
Aku ingin belajar, orangtua ribut kayak di pasar !
******
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat
Semoga Bermanfaat Walau Tidak Sependapat
- Tante Paku's blog
- Login to post comments
- 5602 reads