Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Menikah: Menjadikan Hidup, Lebih Hidup
Jika kita perhatikan, ada beberapa artis yang tidak terdengar kabarnya lagi setelah ia menikah. Padahal sebelum menikah, bintangnya sedang terang-benderang. Mengapa begitu? Karena dia tidak diijinkan oleh pasanganya untuk melanjutkan profesinya itu. Itu sebabnya, banyak orang yang sengaja menunda usia perkawinannya karena sedang mengejar kariernya. "Aku sekarang berada dalam masa-masa produktifku. Aku tidak mau ini terhenti gara-gara menikah," kilah seorang teman.
Ada pandangan umum bahwa setelah menikah, kemerdekaan seseorang menjadi berkurang. Dia tidak bisa lagi bercengkerama dengan teman-teman sebaya. Tidak bisa kuliah lagi. Tidak bisa melakukan hobinya lagi dll. Apalagi jika dia wanita. Biasanya dia terkungkung di antara empat tembok rumahnya.
Ketika dua insan mendambakan pernikahan, biasanya mereka memimpikan apa yang akan didapatkan nanti: akan ada yang mengurus, akan terlindungi, mendapat kepuasan seksual, kesejahteraan terjamin, dll. Punya impian ini seperti ini tidak salah. Namun yang tidak tepat adalah jika tiap orang menuntut pasangannya untuk mewujudkan impian itu.
Dalam 1 Korintus 7:3-4, Paulus menekankan bahwa pernikahan adalah sarana untuk memberi, menyerahkan dan menaklukkan diri kepada pasangan. Dalam bahasa Paulus, hidup menikah adalah sarana untuk mengungkapkan atau mengekspresikan kewajiban terhadap pasangan. Dengan demikian, menikah berarti membuat komitmen untuk memberi yang seharusnya kepada pasangan, dan bukan sebaliknya, meminta yang seharusnya dari pasangan.
Ini tidak berarti bahwa kita tidak boleh mengungkapkan harapan atau keinginan kita tentang hidup berkeluarga pada pasangan kita. Kita justru dianjurkan untuk mencurahkan semua ini secara jujur. Dengan demikian pasangan kita tahu segala keinginan kita. Hanya saja rasul Paulus menasehati: jangan menuntut!
Di dalam (Ef.5:22-24), isteri diperintahkan untuk tunduk pada suami. Tunduk (hupotasso) = "menempatkan diri di bawah." Perintah ini adalah untuk isteri. Suami tidak berhak menuntut, jika isteri belum melakukannya. Sedangkan perintah untuk suami adalah mengasihi isterinya. Seorang suami harus tahu dan memberi apa yang terbaik bagi isterinya.
Dengan dasar seperti ini, maka masing-masing orang masih tetap memiliki kebebasannya. Seorang suami sebenarnya bebas untuk mengembangkan hobinya. Namun karena dia begitu mengasihi isterinya, dia rela mengurangi kesenangannya itu. Seorang isteri tidak dilarang untuk mengembangkan kariernya. Namun karena dia telah menudukkan, maka dia dengan ikhlas mengorbankan kariernya demi kebaikan keluarganya. Tidak satu pun pihak yang merasa terpaksa di dalam melakukannya.
Allah menciptakan lembaga pernikahan untuk tujuan baik. Dalam Kej. 2:18, TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." Itu artinya, bahwa setiap orang yang menikah semestinya menjadi lebih baik: hidupnya lebih tertata, hatinya lebih tenteram, produktivitasnya lebih baik, kapasitasnya lebih besar, dll. Meminjam slogan iklan, menikah menjadikan hidup, lebih hidup. Jika ada orang yang telah menikah, namun merasa dirinya tidak menjadi lebih baik, maka dia perlu memeriksa kembali kehidupan pernikahannya. (purnawan)
__________________
------------
Communicating good news in good ways
Belum ada user yang menyukai
- Purnawan Kristanto's blog
- Login to post comments
- 3880 reads