Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Memberi dengan terpaksa
Siang itu saya nangkring di atas sepeda motor yang saya parkirkan di sebelah sebuah gerobak yang menyalakan lampu petromak untuk mencetak pasfoto. Gerobak ini ada di sisi luar pagar sebuah pasar tradisional. Seorang perempuan berusia sekitar 30 tahun berpakaian lusuh mendekat dan menadahkan tangan. “Minta uang 10 ribu,” katanya membuat saya kaget.
Baru sekali ini saya bertemu pengemis yang pasang tarip. Tinggi lagi. Setelah yakin dia tidak bawa pisau, saya bertanya, “Sepuluh ribu? Buat apa?”
“Buat makan,” jawabnya singkat.
“Makan apa sampai 10 ribu? Seribu saja,” saya menawar dan mengulurkan uang seribu rupiah.
“Tidak mau! Sepuluh ribu!” dia berteriak membuat beberapa tukang ojek yang mangkal dekat saya menoleh.
Seorang dari tukang ojek itu bertanya, “Ada apa?”
“Dia minta uang 10 ribu. Saya beri seribu, dia ribut.”
Ia melambaikan tangannya ke arah perempuan itu. Perempuan itu berjalan mendekatinya. Ia bertanya, “Untuk apa?”
“Buat makan,” jawabnya.
Tukang ojek itu mengeluarkan segulung uang dari saku celananya, menarik selembar 10 ribuan, dan memberikannya kepada perempuan itu. Tanpa mengucap terima kasih, perempuan itu ngeloyor pergi.
Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Siapa tahu ada mobil dengan kaca gelap sedang parkir di depan pasar. Tidak ada, karena sepanjang dua sisi jalan ini banyak es coret. Saya menengadah ke atas ke jembatan penyeberangan. Tidak ada orang di situ. Jika anak buah Eko Nugroho membuat filem “Tolong” di sini pasti mudah ketahuan karena tidak ada tempat untuk pengambil gambar bersembunyi.
Saya menoleh ke arah dermawan itu. “Mas, 10 ribu apa tidak kebanyakan?” tanya saya.
“Ndakpapa. Saya lagi ada uang,” jawabnya enteng.
Tapi itu paling tidak upah yang diterimanya dari 2 orang pengguna jasanya. Lagi pula tidak setiap hari ia dapat rejeki. Saya jadi jengkel sendiri. Kalau ‘saya lagi ada uang’ dalam dompet saya juga ‘lagi ada uang’ 200 ribu rupiah. Saya berani bertaruh gulungan uangnya tidak lebih dari 50 ribu rupiah karena saya melihat lebih banyak lembaran seribu rupiahnya. Tetapi mengapa saya yang jauh lebih mampu tidak memberi?
Karena kami mengawali proses pengambilan keputusan dari titik yang berbeda. Saya mengawali dari otak saya, dari rasio. Untuk sekali makan dia cukup memiliki uang 2 ribu rupiah. Mengapa minta 10 ribu rupiah? Memangnya ia mau membeli nasi dengan lauk ayam pop dan paru goreng di rumah makan Padang di seberang pasar? Tidak tahu diri. Miskin kok bergaya?
Pada saat yang sama tukang ojek itu mengambil keputusan tanpa perhitungan logis. Ia tidak mempergunakan otak! Ia mempergunakan hatinya. Ada orang butuh uang, ia punya uang, ia berikan uang itu. So simple, so naive. Melihat kopiah putih bertengger di kepalanya, saya yakin, ia hanya tidak ingin kesempatan beramal lewat begitu saja.
Saya meninggalkan pasar dengan hati jengkel. Jengkel terhadap tukang ojek yang sok dermawan itu; jengkel terhadap diri sendiri yang begitu mudah dikalahkan dalam pertandingan berbuat baik. Orang yang setia memberi persembahan persepuluhan, bahkan berani menganjurkan orang Kristen untuk tidak berkilah dalam memberikan uangnya kepada gereja, ternyata nothing di luar gereja.
Memberi karena terpaksa.
Siapa pun pasti pernah memberi. Pernah punya pengalaman ini waktu di SD? Seorang teman minta ditraktir dengan proposal, “Kamu traktir jajan aku. Kalo ga mau, kita ga berteman lagi. Nanti kalo kamu dinakalin orang, aku ga belain.” Pemerasan seperti ini sampai sekarang masih terjadi. Ada anak yang minta uang jajan harian 5 ribu rupiah karena harus menraktir para preman kecil ini.
Dalam posisi seperti inilah seorang mulai melakukan kegiatan memberi uang. Memberi karena terpaksa, memberi karena dirampok. Dan kejadian ini terus berlangsung sampai kita dewasa. Kita memberi agar tidak kehilangan sesuatu yang berharga, di antaranya adalah –
Persahabatan
Ada teman kena musibah. Mungkin orangtua atau saudaranya meninggal, mungkin ia masuk rumah sakit atau mendadak kena pehaka. Sebetulnya itu urusannya sendiri, tanggungjawabnya sendiri, nasibnya sendiri. Tetapi payahnya ia mengabarkan musibah itu kepada kita. Karena kita masih membutuhkan ia sebagai sahabat, terpaksa kita memberinya uang.
Kartu undangan dengan gambar kado dan gambar bunga dicoret bisa juga membuat kita memberi dengan terpaksa bila yang dicantumkan hanya tempat peneguhan pernikahan di gereja. Tidak memberi sumbangan rasanya hati tak tentram. Mau memberi berapa kalau pulangnya paling dapat kotak berisi roti? Kita risih memberi 10 ribu karena sekarang sudah lazim setiap amplop sumbangan dinomori sesuai nomor urut di buku tamu. Kita sering heran orang menikah kok merepotkan orang lain. Mau menikah itu harusnya sudah punya modal sehingga gambar amplop bisa sekalian dicoret silang.
Komunitas
Ketika ada gempa di Bantul Ketua RT mengedarkan lis derma ke seluruh penduduknya. Padahal gempa itu terjadi jauh dari tempat tinggal kita. Lagipula pemerintah sudah mengirim bantuan ke Bantul. Itu urusan Departemen Sosial, tidak ada kena mengenanya dengan kita.
Mau tidak ikutan menyumbang pasti seluruh tetangga akan tahu karena pengumpulan uang itu tidak mempergunakan kantong kolekte seperti di gereja, tetapi berupa selembar kertas yang mencantumkan nama penduduk dan besaran sumbangannya. Jika kita tidak menyumbang, tetangga akan menuduh kita asosial lalu mengucilkan kita. Padahal kita masih membutuhkan tetangga, paling tidak untuk mengawasi rumah bila kita meninggalkannya untuk beberapa hari karena berlibur di luar kota. Paling tidak untuk menelepon kita kalau ada pemulung berdiri di depan rumah kita sampai 1 jam lamanya.
Harga diri
Seorang remaja menyodorkan daftar makanan yang dijual dalam rangka penggalangan dana untuk ritrit sambil berkata, “Pak, pesan 2 porsi ayam goreng ya. Alex pegawai Bapak saja pesan 1 porsi.”
Jika ayam goreng itu harganya 25 ribu tak mengapa. Tetapi dalam daftar angka yang tertera 50 ribu. Itu terlalu mahal. Tetapi apa kata orang bila ia tidak ikut pesan jika pegawainya saja berani membeli ayam goreng ini? Masa juragan kalah sama baturnya?
Mungkin kita mengenal seorang jemaat yang pelitnya bukan main. Tetapi sejak ia berpangkat penatua, mendadak saja ia suka memberi. Tentu sebaiknya kita berharap bahwa ia telah memiliki kesukaan memberi daripada mengira ia memberi hanya untuk membela pangkatnya itu. Jika ternyata setelah turun jabatan ia kembali pelit, lebih baik kita mengusulkan ia diangkat menjadi penatua seumur hidup agar kita lebih mudah meminta uangnya daripada mengejeknya.
Karena itu saya selalu menganjurkan kepada mereka yang mendapat tugas untuk menggalang dana bagi gereja untuk melakukan kegiatannya di dalam halaman gereja, di tengah keramaian. Bukan cerita baru jika Anda mendengar keluhan mereka yang mendatangi prospek di rumahnya. “Sudah tidak memberi, masih sempat-sempatnya memberi kuliah hampir 1 jam,” begitu yang sering saya dengar.
Ketenangan jiwa
Pernahkah ketika kantong kolekter diedarkan dalam ibadah Anda menghitung berapa orang yang tidak memasukkan tangan ke dalamnya? Sangat sedikit, bukan? Mengapa? Karena bila kita tidak memberi, kita merasa tidak enak. Rasanya ibadah kita ada yang kurang. Apalagi bila kemudian orang di sebelah kita memandangi wajah kita seperti sedang menghafal wajah penjahat saja. Terlebih lagi bila dalam perjalanan pulang kita mengalami musibah. Walau itu hanya berupa bocor ban kendaraan, kita segera menghubungkannya dengan kantong kolekte yang tidak kita isi ini.
Perasaan yang sama juga bisa muncul bila ada pengemis berdiri di depan rumah kita. Kita merasa berdosa bila tidak memberinya uang. Jiwa kita kembali tenang walau hanya sekeping 100 rupiah yang kita berikan karena kita telah menunaikan kewajiban agama.
– o –
Kegiatan memberi-karena-terpaksa yang kita lakukan berulang kali bisa mengakumulatip racun yang masuk ke dalam jiwa kita sehingga menjadi – meminjam istilah rohani populer – akar kepahitan. Karena itu kita melakukan upaya untuk menghindari stres, di antaranya adalah –
Menambah jumlah orang senasib
Kita tidak mau hanya diri kita yang menjadi korban lis derma. Kita menuntut penodong kita mengedarkan terlebih dahulu lis itu ke orang lain. Jika banyak orang mau memberi, baru kita ikut memberi. Tetapi sewaktu lis derma itu diedarkan kepada orang lain, kita berharap mereka menolak bahkan menuntut kegiatan itu dihentikan.
Bukankah taktik ini seperti ini juga kita temui di dalam gereja?
Mengurangi kerugian
Jika Anda datang ke pesta perkawinan dan terpaksa menyumbang 50 ribu rupiah, keterpaksaan Anda tidak akan membebani jiwa bila Anda membawa serta istri dan ketiga orang anak Anda. Rumah makan mana yang berani memasang tarip 50 ribu rupiah makan enak sekenyang-kenyangnya untuk 5 orang? Hanya saja saya sarankan Anda membawa bekal makanan kecil bagi anak-anak Anda agar bila acara makan mundur 1 jam mereka tidak masuk angin. Malu ‘kan bila mereka jatuh pingsan dan kemudian bercerita kepada yang menolongnya bahwa orangtuanya melarang mereka makan terlebih dahulu sebelum berangkat ke pesta.
– o –
Setelah memaparkan tujuan penggalangan dana melalui penjualan ayam goreng, remaja itu bertanya kepada prospeknya, “Oom, mau pesan berapa porsi?”
“Dari satu porsi yang dijual dengan harga 50 ribu rupiah ini, berapa untungnya?” tanya Oom itu.
“Sepuluh ribu rupiah,” remaja itu menjawab jujur.
“Maaf, Oom tidak membeli ayam goreng ini. Sebagai gantinya, Oom menyumbang uang 10 ribu rupiah. Kamu tidak rugi ‘kan?” katanya sambil mengulurkan uang 10 ribu rupiah membuat remaja itu bengong.
“Aku tidak sendirian”
Dengan selalu mengingat bahwa kita bukan satu-satunya korban penodongan sehingga harus terpaksa memberi, akan meringankan beban jiwa kita. Apalagi bila kita bisa mengumpulkan teman-teman senasib dalam sebuah clubbing sehingga kita bisa saling menghibur. Di gereja, clubbing yang paling mudah dibentuk adalah kelompok mereka yang menjadi korban persembahan persepuluhan sebagai suatu kewajiban.
Merubah keterpaksaan menjadi kebiasaan
“Waktu masih SD mama aku setiap hari Minggu memberi 10 ribu untuk uang jajan selama seminggu,” seseorang yang telah berkeluarga dan terkenal pelit berkisah. “Tetapi yang diberikan hanya 9 ribu, sedangkan yang seribu rupiah dimasukkan ke dalam amplop kecil, dilem, untuk aku masukkan ke kantong persembahan di Sekolah Minggu. Aku harus memberi persembahan seribu rupiah. Bayangkan, seribu rupiah pada jaman aku masih kecil bukan sedikit nilainya. Aku bisa membeli 3 potong kue. Aku ingin mengkorupnya tetapi aku tidak berani karena Mama sering menanyai guru Sekolah Mingguku.”
“Aku memberi karena terpaksa. Tetapi lama kelamaan aku terbiasa sehingga tidak merasa terpaksa. Ibarat orang jatuh, pertama kali pasti sakit. Tetapi rasa sakit itu makin berkurang sampai akhirnya tidak terasa bila kita jatuh terus menerus. Mati rasa, ‘gitu. Sampai sekarang aku konsisten memasukan uang persembahan ke dalam kantong kolekte tanpa merasa terpaksa atau dipaksa.”
“Kalau boleh tahu, berapa persembahanmu?” seorang pendengar kesaksiannya bertanya.
“Seribu rupiah.”
“Pantas saja kamu bisa konsisten memberi persembahan,” komentar si penanya sambil ngeloyor pergi.
Sebetulnya tokoh kisah ini sudah tidak lagi berada di Sekolah Memberi kelas-1. Ia sudah pindah ke kelas-2: Memberi walau sedikit tapi sukacita.
(bersambung)
Serial Sekolah Memberi:
Kelas-1: Memberi dengan terpaksa.
Normal 0 MicrosoftInternetExplorer4 Normal 0 MicrosoftInternetExplorer4 /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman";} /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman";}
Kelas-2: Memberi dengan senang tetapi sedikit.
Belum ada user yang menyukai
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 5797 reads
Saya lagi ada uang
Purnomo : Kalau ‘saya lagi ada uang’ dalam dompet saya juga ‘lagi ada uang’
Dalam dompet saya selalu tidak ada uang, karena bila ada nanti juga menjadi tidak ada lagi alias habis, maka jarang ngisi dompet, he.. he.. ketahuan pelit na kan?
Kalimat yang menarik, "SAYA LAGI ADA UANG" jarang terdengar, sangat jarang malah kalau kalimat itu di hubungkan dengan kegiatan memberi. Biasa kalimat itu terdengar bila ada kegiatan membeli (bukan memberi).
Purnomo : Seorang perempuan berusia sekitar 30 tahun berpakaian lusuh mendekat dan menadahkan tangan. “Minta uang 10 ribu,” katanya membuat saya kaget. Baru sekali ini saya bertemu pengemis yang pasang tarip.
Hal pasang tarip, sering kita jumpai, dalam bentuk lain, yang biasa di sebut "hutang" yang pasti nggak akan pernah bisa terbayar.
"Seorang perempuan berusia sekitar 30 tahun bersama beberapa anak2nya datang... “HUTANG 300 ribu, untuk bayar kontrakan, malam ini, kalau nggak kebayar, kami di usir, padahal tahu sendiri kan, anak saya 9, yang bayi baru usia beberapa bulan, kemana kami harus tidur malam ini.. "..
Nah. Purnomo.. begaimana mesti berlaku? sesuai pelajaran kelas berapa nih?
Jawaban kasus sesuai dengan ilmu
dari kelas berapa yang akan dipergunakan pelakunya.
Ilmu kelas “memberi tanpa kehilangan” akan mendorong ia melakukan kegiatan berikut ini.
* mengajak perempuan itu berdoa dan memberi kata-kata penghiburan.
* memberi daftar nama dan alamat panti asuhan untuk dititipi anak-anaknya.
* memberi daftar nama dan alamat orang-orang yang senang meminjamkan uangnya.
* memuat ceritanya di Sabdaspace sambil berharap ada blogger yang mau meminjamkan uangnya.
Ilmu kelas “memberi dengan terpaksa” akan mendorong ia memenuhi permintaan perempuan itu walaupun setelah itu ia akan menyesali nasib sialnya ini selama bertahun-tahun.
Ilmu kelas “memberi dengan senang tapi sedikit” akan mendorong ia memberi 10 ribu rupiah kepada perempuan itu dan menyuruhnya pergi mencari kekurangannya dari penderma lain agar orang lain juga mendapat kesempatan untuk berbuat baik. Tak baik main monopoli, bukan?
Jika ia melakukan lain daripada yang saya tulis di atas, berarti ia sudah ada di kelas yang lebih tinggi. Mungkin ada di kelas “memberi dengan senang dan cukup, tetapi bila diminta”.
Salam.
@purnomo
Syalom pak pur,
Hehehe cerita yang menggelitik saya, hal serupa pernah saya alami ketika saya masih smp, ketika pulang rumah ada gembel duduk didepan rumah, ketika itu Tuhan bicara pada saya “berikan uang sepuluh ribu rupuiah yang ada di kantong mu”, saya kaget wong duit kontan tinggal sepuluh ribu suruh kasih semua oga ah, mending buat beli bak mi goreng malem malem gini kan asik kata ku dalam hati, setelah tiba di tukang mie saya beli satu porsi, “pak bungkus satu yah” setelah jadi mie nya saya putar motor saya untuk pulang.
Ehh eh eh eh, duahr…. Baru setengah putaran ada vespa melesat kencang dan menghantam saya untungnya saya ga apa apa dan motor saya juga tidak rusak , yang penyok sih vespa nya, tiba tiba orang nya menghampiri saya dengan marah “Ayo ganti!!!” saya bilang ga ada duit mas, dia bilang “tidak peduli GANTI!!!!, karena saya kalah besar badan yah nyerah deh,saya bilang minta berapa mas? Dia bilang SERATUS RIBU!, wah masa penyok doang mahal mas? Ya udah deh yuk ke atm ajakku setelah transaksi dia menjabat tangan saya dan berkata “agamamu apa?” saya jawab kristen , dia jawab “wah sama , kita seiman dong, ya udah lain kale hati hati ya” dalam hati saya berkata “monyong lu, kalo seiman mah kaga usah ganti Tuhan Yesus aja bilang tampar pipi kiri beri pipi kanan” ini baru vespa penyok minta ganti gimana kalo ditampar?”
Sampai rumah saya berpikir dan merenung kejadian hari ini,kalau saja uang sepuluhribu saya kasih ke gembel tersebut saya pasti tidak jadi beli bak mie dan tidak perlu mengalami kecelakaan , yang paling kesel saya ga nurut kata Tuhan beri sepuluhribu kan enak daripada hilang seratus ribu (jaman saya smp uang segitu kan gede) semenjak kejadian itu hikmah nya saya tidak mau lagi tidak nurut perintah Tuhan bila Ia suruh saya yang menurut saya tidak rasional saya jalanin aja karena Dia adalah Allahku yang hebat.
Pak pur, dari cerita anda saya menangkap Tuhan ingin “membentuk” anda untuk menjadi lebih pribadi yang lebih dermawan dan tidak kalah ama tukang ojek yang mungkin lebih miskin daripada anda, Tuhan sedang nyidir pak pur kali ya hahhahahaha, berbahagialah anda karena anda di jadikan AnakNya , bukankah Yesus berfirman barang siapa kutegor dan kuhajar dia adalah Anak kesayanganKu
Salam sukses dalam Yesus Pak….
JBU&m
Kerjakanlah Keslamatanmu dengan takut dan gentar...
Billy, tentang hajar-menghajar
Billyoctora wrote, “Yesus berfirman barang siapa kutegor dan kuhajar dia adalah Anak kesayanganKu”