Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Melatihi Anak untuk Peka
Salah satu cara untuk melatih anak peka dan kritis terhadap sekeliling adalah dengan medorong anak untuk tanggap terhadap apa yang dilihat, yang dibaca, yang didengar, yang dirasakan dan yang dialami, sejak usia semuda mungkin.
Tapi, sayang sekali orang tua (orang dewasa), khususnya di Indonesia, tidak melihat ini sebagai kesempatan emas yang harus dipergunakan dengan baik. Ketika masih kecil anak terlalu dibiarkan bertumbuh sendiri dan tidak dibimbing untuk diajar dengan tujuan dan dengan sengaja (intentional). Saya banyak mendengar orang tua yang beralasan, "ah, anak masih kecil, kasihan, jangan terlalu banyak diajarin logika, nanti anak jadi stres. Nanti kalau udah besar 'kan akan tahu sendiri." Tapi orang tua tidak sadar bahwa ada masa-masa dimana anak lebih mudah diajar dibanding kalau sudah besar, karena mungkin sudah tidak sepeka dan seantusias ketika masih kecil. Selain itu, jika sejak usia muda diajar dasar-dasar logika, maka tahun-tahun berikutnya akan menjadi semakin mahir menggunakannya dan semakin mudah mengembangkannya. Selain itu juga lebih menguntungkan dia karena menolongnya untuk belajar apapun dengan lebih mudah.
Memang anak bisa stres jika belajar dalam keadaan tertekan. Tapi sebenarnya hal itu tergantung dari pendekatan orang tua dan cara mengajarnya. Jika hubungan orang tua dan anak baik, dan anak mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup, maka diajar sesulit apapun anak tidak akan membuat anak stres. Anak stres sering disebabkan karena hubungan anak dan orang tua (keluarga) yang tidak harmonis.
Cara mengajar anak kecil untuk kritis tidak harus dengan teori-teori yang ilmiah. Cukup menggunakan situasi kehidupan sehari-hari yang ada di rumah. Berikut ini salah satu cara yang saya pakai mengajar Jesica, anak saya yang berusia tujuh tahun.
Suatu hari saya dan Jesica pergi ke supermarket membeli 5 macam kerupuk mentah (yang belum digoreng), masing-masing setengah ons banyaknya. Sesampainya di rumah, saya goreng semua krupuk tersebut dan saya biarkan Jesica mengamati apa yang saya lakukan dan membantu bilamana perlu. Sebagaimana layaknya anak, dia sudah tidak sabar lagi mengicipi hasil gorengan bersama ini. Tapi saya tahan keinginannya dan saya katakan kalau dia sabar kita akan membuat permainan dengan kerupuk-kerupuk ini. Wah... tentu dia dengan rela hati menunggu karena ia lebih suka mendapat permainannya.
Saya katakan pada Jesica bahwa untuk melakukan permainan ini dia harus duduk di meja makan dengan mata yang ditutup dengan sapu tangan yang sudah saya persiapkan sebelumnya. Setelah mata ditutup, saya taruh 5 piring yang berisi masing-masing gorengan krupuk tersebut di hadapannya. Lalu saya minta dia mengambil krupuk di salah satu piring dan meminta dia memakannya dan merasakan rasa krupuk tersebut. Lalu dengan hati-hati saya minta dia menjelaskan ke saya bagaimana rasa krupuk tersebut. Pertama kali melakukannya Jesica agak bingung dan tidak bisa menjelaskan, tapi dengan bimbingan pertanyaan dia mulai menemukan kata-kata yang ia cari. Misalnya, apakah rasanya manis, asin, asam atau pahit; apakah ada rasa atau bau tertentu yang dia kenal. Pada akhir permainan, Jesica sudah mencoba semua macam kerupuk dan mengetahui perbedaan rasa masing-masing krupuk dan ia juga membuka matanya untuk melihat bentuk, warna dan nama dari masing-masing krupuk tersebut (udang, ikan, bawang, kentang dan pedas).
Untuk menambah meriah, saya tutup lagi matanya dan kali ini saya acak krupuk-krupuk itu dan dia harus menebak krupuk apa yang dia makan dan namanya. Bahkan kadang saya sengaja mengecoh dengan memberikan nama krupuk yang berbeda dengan krupuk yang dimakannya, karena saya ingin dia bisa belajar membedakan dan memprotes jika saya sengaja salah menyebutkan. Apakah saya sedang mengajar anak saya untuk memprotes saya? Tidak. Saya sedang mengajar dia untuk peka dan berpikir kritis serta berani mengatakan mana yang benar dan mana yang salah berdasarkan informasi yang dia sudah dia pelajari. Saya ingin dia memiliki rasa percaya diri yang positif untuk mengatakan kebenaran. Bahkan kalau saya salah, saya ingin dia berani mengatakan bahwa saya salah.
Simpel tapi dampaknya bisa luas sekali, bukan?
Anda bisa lakukan latihan lain, misalnya dengan membedakan bau dari bermacam-macam parfum (bunga), fiber dari bermacam-macam kain, suara dari macam-macam alat musik, dll.
Tut Wuri Handayani
- Tut Wuri Handayani's blog
- 5794 reads