Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Malaikat menyanyi memberi solusi
Ia kembali terbatuk-batuk. Ia berusaha mengeluarkan dahak di kerongkongannya dengan menggeram. Kemudian, ia menembakkannya dengan tetap duduk ke arah parit kecil yang berjarak 2 meter. Tembakannya kurang kuat sehingga dahak itu jatuh di lantai teras dekat tempat duduk saya. O o, warnanya hijau pekat seperti jus adpokat mentah dicampur sedikit sirup stroberi merah. Saya segera berpamitan.
– o –
Lelaki ini tampak lebih tua daripada umurnya yang 59 tahun ketika saya menemui di rumahnya pada suatu malam di awal tahun 2004. Tubuhnya yang lebih tinggi daripada orang kebanyakan terbungkuk-bungkuk ketika ia terbatuk-batuk dengan hebat. Kepalanya plontos karena rambutnya tinggal sedikit. Badannya kurus, kurus sekali. Ia bukan warga jemaat gereja saya, tetapi rajin hadir dalam persekutuan doa setiap Kamis malam. Malam itu saya mengunjunginya karena Tius yang punya minat besar terhadap jemaat tua minta tolong saya mengantarkan obat yang ia beli dengan uangnya sendiri. Tius menceritakan Pak Thio anggota sebuah gereja kecil di utara Gunung Muria. Ia tidak pernah menikah. Di Semarang ia jadi karyawan seorang yang berbisnis furniture dan tetap tinggal di rumah milik taukenya walau bisnis furniture sudah tinggal kenangan.
“Menurut dokter Pak Thio sakit apa?” tanya saya. Tius tadi di gereja tidak menjelaskan tentang sakitnya kepada saya. Ia hanya mengatakan minta tolong karena saya ke gereja naik sepeda motor sehingga tidak repot ke rumah Oom Thio yang ada di dalam kampung kecil.
“Paru-paru basah,” jawabnya.
“Suka tidur di lantai ya?”
“Semarang biar malam udaranya panas sekali.”
Ia kembali terbatuk-batuk. Ia berusaha mengeluarkan dahak di kerongkongannya dengan menggeram. Kemudian, ia menembakkannya dengan tetap duduk ke arah parit kecil yang berjarak 2 meter. Tembakannya kurang kuat sehingga dahak itu jatuh di lantai teras dekat tempat duduk saya. O o, warnanya hijau pekat seperti jus adpokat mentah dicampur sedikit sirup stroberi merah. Saya segera berpamitan.
Sampai di rumah setelah merendam pakaian dalam ember berisi air mendidih, saya menelepon Tius.
“Tius, kamu memang keterlaluan. Thio sakit tebese ‘kan?”
“Betul.”
“Harusnya kamu sendiri yang antar obat. Jangan menyuruhku lagi ke rumahnya.”
“Ya ya, kamu tidak usah lagi ke rumahnya. Tetapi tolong temani aku nanti mengantarnya ke rumah sakit paru-paru di Salatiga. Aku sedang membujuknya untuk mau dirawat di rumah sakit. Taukenya setuju karena rumah itu sebetulnya sudah laku dijual. Tetapi karena Thio belum mau pindah, pembelinya belum melunasi pembayarannya. Untuk mengusirnya, ia tak tega karena Thio sudah puluhan tahun jadi karyawannya. Tetangganya juga ingin ia pindah secepatnya. Seorang tetangga di seberang rumahnya sudah ketularan karena ia meludah sembarangan. Pak RT sudah menjamin bisa mengusahakan surat miskin dari kelurahan.”
“Aku tidak ikutan.”
“Kamu hanya menemani saja. Tidak perlu mikir, tidak perlu nombok.”
“No way!”
Tetapi ketika waktunya tiba, saya tidak bisa menolak. Minat kami dalam pelayanan memang berbeda. Yang sama hanyalah kami sama-sama diaken bayangan yang melakukan pelayanan di luar organisasi gereja dengan tenaga dan uang sendiri. Kami berangkat dengan mobil gereja setelah pendeta mendoakan kami. Tius sudah duluan duduk di samping sopir. Posisi aman! Di bangku deret kedua duduk Thio. Saya masuk mobil paling akhir. Duduk di deret ketiga berisiko kena limbah udara bekas Thio karena sudah disepakati selama perjalanan kaca jendela akan dibuka karena ase dimatikan. Saya duduk di samping Thio. Bawaan Thio tidak banyak. Hanya satu tas kain. Ada beberapa helai kantong plastik di sampingnya.
“Tius, mengapa tidak bawa kaleng untuk tempat ludah?” tanya saya.
“Kaleng bisa terguling kalau mobil berbelok,” jawabnya.
“Kantong plastik bisa bocor,” sahut saya.
“Kemungkinan bocor lebih kecil daripada kaleng terguling.”
Risiko kecil risiko besar ia tidak menanggungnya karena duduk di depan, saya menggerutu dalam hati.
“Kamu sudah menelepon direktur rumah sakit?” saya berpindah topik.
“Belum. Aku kira tidak perlu. Nanti saja sampai di rumah sakit aku langsung menemuinya.”
“Kamu ini selalu easy going. Sesukamulah. Aku ‘kan tidak perlu ikut mikir.”
Direktur rumah sakit itu adalah mantan aktivis gereja kami. Jika hari Minggu ia ke Semarang, beserta istrinya ia beribadah di gereja kami dan sering berbincang-bincang dengan kami.
“Pak Thio dulu dibaptis di gereja mana?” tanya saya kepada Thio.
Saya terkejut ketika ia menyebut nama gereja kami. Juga Tius.
“Kapan?” tanya Tius.
“Setelah peristiwa gestapu. Saat itu saya masih remaja.”
Melalui hape saya menelepon kantor gereja agar data dirinya dicari. Sebentar kemudian datang jawaban, namanya tidak ada dalam database jemaat.
“Waktu memeriksa database itu pada tahun 2002 saya diberitahu komputerisasi data jemaat dilakukan pada tahun 1980-an dan mereka yang tidak lagi kelihatan dalam ibadah Minggu tidak dimasukkan ke file itu,” kata saya kepada karyawan kantor gereja. “Coba periksa buku baptisan tahun 1966 sampai 1970.”
Sebentar kemudian saya mendapat jawaban bahwa Thio dibaptis di gereja kami pada tahun 1967 dan setelah itu pindah ke Jakarta untuk bekerja. Karena di gereja kami tidak boleh memecat anggota, berarti Thio masih berstatus anggota. Setelah yakin Thio tertidur, Tius bertanya dengan suara rendah, “Apa hak seorang anggota dalam kasus seperti ini?”
“Masa sebagai mantan penatua kamu tidak tahu? Ia dapat sumbangan uang 250 ribu rupiah,” jawab saya. “Kalau ia sudah berumur 60 tahun dan miskin, ia dapat santunan 50 ribu setiap bulan dan bisa masuk rumah jompo dengan biaya gereja.”
Di rumah sakit petugas loket pendaftaran menolak surat miskin yang disodorkan Tius. “Surat miskin ini hanya berlaku di rumah sakit paru-paru Semarang, Pak. Bisa kami terima bila ada rujukan dari sana. Tanpa surat rujukan pasien harus membayar penuh untuk berobat jalan dan sama sekali tidak bisa mondok.”
Tius bertanya apakah ia bisa bertemu dengan direktur rumah sakit untuk minta dispensasi memondokkan Tius walau harus membayar. Ternyata 2 bulan yang lalu telah terjadi penggantian direktur. Lagipula direktur sibuk sekali sehingga hari ini tidak menerima tamu dadakan.
Jururawat mengatakan Thio akan dironsen sebelum diperiksa oleh dokter. Butuh waktu paling tidak 3 jam. Jururawat pria itu dengan kursi roda membawa Thio masuk sementara kami berdua memilih menunggu di halaman rumah sakit yang teduh.
“Setelah selesai diperiksa ke mana kita akan membawa Thio?” tanya Tius. “Waktu aku menjemputnya tadi, rumahnya langsung dikunci oleh wakil taukenya dan anak kunci diberikan kepada orang yang membelinya. Bagaimana kalau Thio dititipkan di panti jompo?”
“Tidak ada panti yang mau menerima orang berpenyakit menular. Bisa masuk kalau kamu tega memalsukan surat keterangan dokternya.”
“Masa aku harus mencelakakan orang lain untuk menolongnya?”
“Kamu kontrak rumah petak saja yang sewa setahunnya 500 ribu. Tetapi mandinya di sumur umum.”
“Apa sakitnya tidak makin parah kalau setiap hari harus menimba air?”
“Tidurkan saja di gudangmu yang ada di kawasan industri.”
“Kalau nanti karyawanku tahu ia sakit tebese apa mereka tidak minta resign semua?”
“Kalau begitu waktu pulang nanti kita mampir di Pasar Sapi dan kamu suruh Thio turun beli pecel. Lalu kita tinggal pergi.”
“Kamu jangan ngawur kalau diajak mikir.”
“Kamu sendiri yang bilang aku tidak perlu mikir tidak perlu nombok. Mengurusi orang sakit terminal ‘kan keahlianmu. Sudahlah, kamu pikir sendiri solusinya.”
Tius bangkit dari duduknya di samping saya. Mungkin karena jengkel. Lalu ia berjalan bolak balik menyusuri pagar rumah sakit dengan kening berkerut. Entah berapa lama kemudian ia melambaikan tangan meminta saya mendekat. Saya berjalan mendekatinya.
“Di seberang jalan ada gereja. Kita ke sana menemui pendetanya. Mungkin darinya kita bisa mendapat bantuan,” katanya sambil berjalan terus ke arah pintu pagar.
“Gereja apa?”
“Aku tidak tahu.”
“Lalu dari siapa kamu tahu di seberang ada gereja?”
“Aku mendengar ada koor sedang latihan.”
“Mana ada koor latihan siang-siang begini.”
“Ada. Koor ibu-ibu rumah tangga.”
Sampai di seberang jalan Tius bertanya kepada seorang pemilik toko di mana letak gereja di dekat situ. “Dekat-dekat sini tidak ada gereja,” jawab yang ditanya. “Gereja yang paling dekat di Salib Putih.”
“Mungkin yang kamu dengar tadi siaran radio dari rumah penduduk yang Kristen,” kata saya kepada Tius.
“Biar tidak pernah ikut paduan suara, aku bisa membedakan lagu dari rekaman dengan suara orang latihan menyanyi,” bantahnya sambil terus berjalan menyusuri jalan raya Salatiga – Kopeng itu. Ada jalan kecil berbelok ke kanan. Kami menyusuri jalan menurun itu.
“Ini dia,” katanya sambil menunjuk pintu gerbang sebuah bangunan yang di atasnya tertulis nama sebuah seminari. Kami berjalan masuk ke kantor dan melihat ada 2 orang pria di situ.
Kami memperkenalkan diri. Seorang dari mereka ternyata ketua seminari ini. Tius menceritakan masalah yang dihadapinya. “Kami memilih rumah sakit paru-paru di Salatiga karena kemungkinan sembuhnya lebih besar daripada bila dirawat di rumah sakit Semarang,” kata Tius mengakhiri kisah dukanya.
“Meski obat yang dipergunakan sama, udara sejuk Salatiga mempercepat proses penyembuhan,” jawab ketua itu membenarkan. “Kami punya tukang kebun yang mantan pasien rumah sakit itu. Satu paru-parunya sudah berlobang. Tetapi sampai sekarang sakitnya tidak pernah kambuh lagi. Ia tinggal di sini.”
“Seandainya Pak Thio bisa dirawat di Salatiga pasti ia juga akan sembuh. Sayang, kami tidak mengenal direktur rumah sakit itu sehingga tidak bisa menemuinya,” Tius mengungkap harapannya.
“Maaf, saya mau menelepon istri seorang dosen kami. Dia bekerja di rumah sakit itu sebagai staff. Siapa tahu dia bisa membujuk direkturnya mau menemui bapak-bapak,” katanya seraya memencet-mencet tombol hapenya sambil berjalan keluar kantor.
Tak lama kemudian ia masuk kembali ke kantor. “Satu jam lagi, bapak-bapak bisa menemui direktur rumah sakit di ruang kerjanya.” Secercah harapan terbit di hati kami. Kemudian beliau berkata, “Tetapi maaf ya, ada yang harus kami berdua kerjakan di luar.”
“Boleh kami melihat-lihat seminari ini, Pak?” tanya saya. “Sekalian kami ingin menemui dan berbincang-bincang dengan tukang kebun Bapak.”
“Silakan, silakan. Maaf, kami pergi dulu,” jawabnya.
Seminari itu luas tetapi sepi. Kami memasuki bangunan-bangunan yang berisi tempat tidur. Tidak ada penghuninya. Kami berjalan ke arah belakang tempat goa-goa doa. Di situ kami bertemu dengan tukang kebun.
“Seminari ini mengapa sepi? Mahasiswanya ke mana semua, Pak?” tanya Tius.
“Sekarang libur semester. Semua mahasiswanya pulang kampung,” jawabnya.
Kami berdua saling berpandangan tanpa suara. “Dekat-dekat sini apa ada gereja, Pak?” tanya saya.
“Tidak ada. Untuk ibadah Minggu mahasiswa pergi ke gereja-gereja di kota.”
“Saya sedang berpikir untuk kapan-kapan mengajak teman-teman gereja untuk ritrit di sini. Karena itu saya mau melihat-lihat ruang tidurnya. Tentu kami tidak ingin masuk ke asrama yang masih ada penghuninya. Bapak bisa menunjukkan asrama mana yang masih ditinggali mahasiswanya?”
“Semua asrama kosong. Kebetulan liburan ini mereka pulang semua,” jawabnya.
Kami meninggalkan tukang kebun itu yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Kami tidak memeriksa lagi setiap asrama. Saya bertanya hanya untuk memastikan bahwa asrama-asrama dalam seminari itu tidak berpenghuni. Kami berjalan meninggalkan seminari.
“Kalau seminari ini tidak ada penghuninya, lalu siapa yang sedang latihan menyanyi?” saya bertanya kepada Tius. “Kamu yakin bukan mendengar siaran radio?”
“Yakin. Yakin sekali. Dari arah ini aku mendengar potongan lagu yang dinyanyikan berulang-ulang.”
“Lalu siapa yang nyanyiannya kamu dengar tadi?”
“Mana aku tahu.”
“Jangan-jangan malaikat?”
“Embuh.”
Tius memaksa saya masuk ke ruang kerja direktur rumah sakit. Saya risih karena memakai sandal sedangkan Tius bersepatu. “Kamu bantu aku omong,” katanya.
Tius menceritakan kepada beliau masalah yang dihadapinya. Ketegarannya menolak Thio mondok mulai goyah ketika Tius menceritakan kami menolong Thio lepas dari organisasi gereja. Kami beserta beberapa teman menolongnya karena kasihan melihat Thio sebatang kara. Kami tidak tahu di mana Thio akan tinggal bila ia tidak bisa mondok di rumah sakit itu.
Wajah sang direktur makin ramah waktu saya melaporkan pujian terhadap dedikasi para dokter dan jururawat rumah sakit ini dari keluarga pasien miskin yang datang dari berbagai kota yang tadi saya wawancarai di halaman rumah sakit. Biar tidak membayar, pasien mendapat layanan yang prima.
Akhirnya beliau mengajukan sebuah penawaran. “Bagaimana bila selama 5 hari biaya mondok, obat dan dokter gratis? Tetapi, 10 hari berikutnya biaya mondok tidak lagi gratis sementara biaya obat dan dokter tetap ditanggung rumah sakit.”
“Jika setelah 15 hari Pak Thio masih perlu mondok?” tanya saya.
“Seluruh biaya tidak lagi ditanggung rumah sakit,” jawabnya tegas.
“Terima kasih, Pak. Kami setuju,” jawab saya.
Keluar dari ruang kerja direktur Tius mengomel, “Mengapa kamu setuju-setuju saja tanpa menawar?”
“Karena aku tidak ikut nombok. Lagipula target kamu adalah Thio bisa mondok di sini, bukan?”
Biar menggerutu Tius senang. Kami berdua mengantar Thio sampai ke tempat tidurnya disebuah sal yang sangat luas dan bau pembersih lantainya sangat menyengat hidung. Sebelum pulang, Tius memberi Thio beberapa helai uang untuk biaya mencucikan pakaian selama dirawat di situ.
Ketika mobil gereja mendekati pintu pagar rumah sakit saya bertanya kepada Tius,
“Sebelum pulang apa kamu tidak ingin mampir sebentar ke seminari?”
“Tadi aku sudah mengucapkan terima kasih kepada ketuanya lewat hape.”
“Bukan untuk itu.”
“Lalu untuk apa ke seminari lagi?”
“Untuk mengucapkan terima kasih kepada malaikat-malaikat yang menuntun kamu menemukan seminari itu. Siapa tahu ada yang belum terbang pulang ke sorga.”
Tius tertawa.
“Kita ke kanan atau ke kiri, Pak?” tanya sopir gereja kebingungan.
“Langsung pulang Semarang,” jawab Tius.
(end of session)
* semua nama telah disamarkan.
Kisah-kisah mistis.
bag 1: Jangan pipis dekat kuburan.
bag 2: Mama, hantu itu apa ada?
bag 4: Menghadapi guna-guna.
bag 5: Menantang pibu Roh Yesus.
bag 7: Tanda kehadiran utusan Allah - 1.
bag 8: Tanda kehadiran utusan Allah - 2.
bag 9: Malaikat menyanyi memberi solusi.
bag 10: Di balik keindahan tubuh pramunikmat.
6 user menyukai ini
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 4988 reads
Its still...
I dunno why, Min ga pernah bisa berhadapan dengan orang tua yang sakit-sakitan. Sepertinya Min berusaha menyangkal keberadaan mereka, dan percaya mereka seharusnya seperti uncle santa. Periang, lucu dan sehat. Min ga punya hati yang kaya gadis gadis manis di serial drama. Min sepertinya ga kasihan atau kurang prihatin ama mereka. Min pengen mereka sehat. Dan marah kalo mereka "tidak sehat".
I feel sorry.
Its like i still can't deal with the denial.
Kepada mereka kita berkaca
Saya malas melakukan pelayanan terhadap orang tua juga karena alasan yang hampir mirip dengan Min. Bukannya tidak kasihan atau tidak prihatin terhadap mereka, tetapi karena melihat betapa rapuhnya tubuh manusia. Apa yang saat ini sedang mereka alami akan saya alami juga. Inilah yang membuat saya merasa miris dan lelah.
Tetapi dari pemandangan yang menyedihkan ini saya tahu tidak boleh menunda-nunda apa yang layak saya kerjakan. Waktu saya terbatas. Penyakit dan kematian bisa datang tanpa bisa diprediksi. Minggu lalu seseorang masih menulis berita di akun facebook-nya "aku sekarang di Orlando, ada proyek" tetapi esok harinya seorang temannya menulis di akun itu "baru saja ia meninggal karena kecelakaan".
Salam.