Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Layar Tancap

anakpatirsa's picture

"Saksikanlah pemutaran film Yesus, malam ini, bertempat di tengah pasar...." itulah kira-kira bunyi pengumuman melalui pengeras suara di atas perahu motor tempel yang tengah menyusuri sungai kampung kami. Penyampaian pengumuman dengan perahu memang jauh lebih tepat daripada berteriak sepanjang jalanan kampung, soalnya penduduk yang sedang meladang di seberang sungai pasti bisa ikut mendengarnya. Apalagi kesempatan berteriak saat semua orang berkumpul di rumah hanya ada pada malam hari, namun tidak akan ada yang berani melakukannya. Itu sama saja artinya berharap mendapat sedikit benjolan di kepala.

Kami membicarakan film yang akan diputar itu, ayah dan ibu tidak keberatan kami ikut. Tentu saja ketiga adik paling kecil tidak akan ikut, mereka belum mengerti dan tidak akan mau peduli segala macam film. Ibu berkata kami boleh pergi, tetapi harus tidur siang supaya malamnya tidak mengantuk; Ayah berkata sebuah film hanyalah gambar yang disinari senter besar sehingga bisa bergerak. "Hampir sama seperti televisi," katanya. Padahal televisipun belum pernah kulihat, hanya mendengar cerita kakak tertua yang pernah ikut ayah ke kota waktu ia berumur tiga tahun.

Apakah aku tidur siang hari itu? Sama sekali tidak ingat, juga tidak tahu jam berapa berangkat. Belum cukup umur untuk mengerti apa itu jam, hanya ingat hari sudah gelap saat berangkat. Dein, adikku yang berumur tiga tahun tidak jadi ikut karena tidak bisa dibangunkan. Jalanan begitu ramai, orang berbondong meninggalkan rumahnya, membawa senternya masing-masing. Menuju arah yang sama, pasar. Sebuah tempat dimana segala sesuatu boleh terjadi, sehingga bukan hanya sekedar tempat jual beli.

Akhirnya melihat yang namanya film. Ternyata hanya sebuah kain putih terbentang memotong jalan di tengah pasar, tepat di depan dua toko yang setelah beberapa tahun kemudian baru kuketahui pemiliknya tidak pernah akur. Masing-masing ujung kain tersambung dengan tali yang terikat erat pada tiang toko milik pak Tiwon dan pak Ukar itu.

Juga baru tahu setelah masuk sekolah, kalau ada alasan mengapa kainnya harus dibentangkan di depan toko pak Tiwon dan pak Ukar. Pasar kami terletak di tengah-tengah kampung, dan kedua toko itu menjadi sebuah batas pemisah, pemisah antara kampung hilir dan kampung hulu. Orang yang rumahnya terletak di arah hulu kedua toko disebut warga hulu dan yang tinggal di daerah hilirnya disebut warga hilir. Sejak kapan tembok semu itu berdiri, tidak ada yang tahu. Satu hal yang pasti, jika dua pemuda hulu berkelahi, tidak akan ada keributan, tetapi jika seorang warga hulu memukuli warga hilir atau sebaliknya, maka akan acara pengeroyokan setelah itu.

Tidaklah mengherankan jika sekarang warga yang datang dari arah hulu duduk di sebelah barat kain, dan kami yang datang yang dari arah hilir atau timur, duduk di mana seharusnya kami duduk. Sehingga tidak ada yang menyeberangi kain putihnya. Mengingatkan pada sebuah permainan bola volley, bila saja kain putihnya diumpamakan sebagai sebuah net.

Agak lama kami duduk menunggu gambar yang dijanjikan itu muncul. Wajar, mengingat apa yang baru kuketahui beberapa tahun kemudian. Di sini, sebuah acara baru bisa dimulai kalau memang sudah siap, bukan kalau jamnya sudah tiba. Jadi tidak mengherankan bila layar putih itu baru menjadi terang setelah tidak ada lagi penonton yang datang. Tetapi sepertinya ada yang salah, aku tidak mengerti apanya yang tidak beres. Hanya ingat kelompok kami harus pindah ke seberang layar, katanya karena gambar dan tulisannya terbalik.

Petugas yang khusus mendatangi kampung kami pasti tidak membayangkan harus memasang layar tancap di tengah jalan. Mereka tidak punya pilihan lain, karena saat itu bukan musim tujuhbelasan, artinya tanah lapang yang biasanya dipakai untuk pasar malam masih dipinjam oleh sapi, dan rumput ilalang di lapangan sepak bola sudah setinggi manusia. Mereka juga mungkin sudah menjelaskan bahwa layar tancap hanya bisa ditonton dengan baik dari satu arah saja. Tidak ada yang mau mendengarnya, sehingga dalam hati mungkin mereka berkata, "Kita lihat saja nanti, apa enaknya menonton layar tancap dari arah yang salah."

Tidak tahu siapa yang mulai bergerak ke seberang. Seingatku, gambar bergerak itu tiba-tiba berhenti dan ayah mengendongku menyeberang ke sebelah, masuk wilayah hulu. Tempat kami sekarang menjadi sempit, sehingga ayah tidak melepaskanku lagi. Jadinya aku menonton dalam pangkuan ayah sambil melihat lampu senter besar yang dikatakannya, lampu dengan dua roda berputarnya. "Jangan melihat alatnya, lihat gambarnya, Nak." bisik ayah.

Tetapi aku tidak mengerti film yang kulihat, bahkan tidak ingat gambar-gambarnya. Hanya tidak pernah melupakan bagian cerita ketika ular sangat besar muncul dan penonton di sekeliling berseru kaget. Bagian ini saja yang bisa kuingat, lalu aku tertidur di pangkuan ayah. Tidak pernah tahu kapan ia dan kakak-kakakku beranjak meninggalkan pasar sambil menggendongku.

Paginya Dein menangis karena tidak ikut menonton. Ayah berjanji akan memperlihatkan cara kerja sebuah film nanti malam. Jadinya malam itu kami menonton film dari bungkus mie. Ternyata bungkus mie bisa dikelupas selaput warna putihnya sehingga hanya tersisa bagian plastik bening dengan tulisan serta gambar piring penuh mie. Ayah menyorotkan senter ke arah plastiknya, sehingga kami bisa melihat tulisan serta gambar sepiring mie di tengah dinding. "Itulah cara kerja sebuah proyektor." kataku dalam hati saat belajar IPA di kelas lima SD.

Supaya Dein lebih puas, ayah mengambil kotak mie yang sudah kosong. Membuang tutupnya, melubangi bagian bawah sehingga ada lubang sebesar tutup gelas di situ. Ayah juga membuat dua lubang kecil di sisi kiri dan kanannya, memasukan dua ujung benang melalui dua lubang kecil di salah satu sisinya. Memasukan benang itu ke orang-orangan yang dibuatnya dari tutup kardus, serta menariknya melalui lubang di sisi satunya lagi. Ia lalu menghadapkan bagian kardus yang terbuka ke dinding, menyalakan senter dari lubang sebesar tutup gelas di belakangnya. Malam itu Dein bermain dengan wayang kardus.

***

Aku menonton film Yesus untuk kedua kalinya setelah lulus SMP, waktu tinggal bersama tante yang kedua anak laki-lakinya begitu nakal luar biasa serta bermasalah dengan minuman keras. Tante mengharuskan semua anaknya menonton film Yesus dengan harapan mereka sadar dan tidak pulang subuh lagi.

"Dengar itu! Dengar itu!" hanya itu tanggapan tante ketika Yesus mengajarkan bagian yang terkenal dengan "Khotbah di Bukit." Tetapi ia pura-pura tidak mendengar ketika Yesus berkata tentang betapa sulitnya orang kaya masuk surga.

Wajar, mengingat selama ini ia selalu menekankan pada anak-anaknya untuk selalu kreatif mencari uang. Baginya hidup adalah perjuangan sehingga jangan sampai tetangga punya rumah yang lebih besar dan mobil yang lebih banyak.

Entah mengapa, film Yesus juga kadang-kadang mengingatkanku sama film PKI yang dulu selalu diputar setahun sekali. Orang-orang juga suka mengumpulkan keluarganya di depan TVRI beberapa jam sebelum tanggal 1 Oktober. Suatu hari, aku dibangunkan karena ada film PKI, tetapi kantuk menyerang sehingga hanya sempat menonton bagian cerita ketika seorang ibu dan anaknya pergi ke Jakarta. Sambil menyeberang rel kereta api, si anak bertanya, "Inikah Jakarta?" Aku bahkan tidak ingat apakah itu benar film PKI atau bukan. Hanya ingat besoknya teman-teman saling bercerita tentang segala kekejaman PKI. Juga ingat seorang teman bernama Mistiti menangis karena diejek sebagai cucu PKI.