Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Langit yang Runtuh
Hape berteriak memberi tahu ada sms masuk.
Bisa datang hari ini, jam biasa. Woww, kinclong.
Membaca rangkaian kalimat di sms, mata sedikit membelalak, dan saya yakin membersit sebentuk senyum di wajah.
Saya melirik dinding. Pukul 9 lewat 5.
Saya meng-klik petunjuk answer dan mengetik : ok. lalu, send.
Setengah jam berselang, saya tiba di tempat tujuan. Langsung menuju ruangan biasa yang disediakan bila datang ke institusi ini.
"Asyik Sam, dapet yang bening lo, " teman saya, sebut saja Tom, sang pengirim sms, mengacungkan kedua ibu jarinya, usai menjabat tangan saya.
"Wah, jadi penasaran nih," respon saya.
"Oke deh, gua tinggal dulu." kata Tom, setelah beberapa saat kami ngobrol.
"Siip,'' Saya mengangguk, melepasnya.
Belum 5 detik Tom menutup pintu, suara ketukan telah singgah di telinga.
"Masuk..." Saya mempersilakan begitu menangkap utuh sosok yang datang.
Tom emang ga punya selera rendah, saya tersenyum membatin.
Saya menyambut lembaran kertas yang dia sodorkan.
Nama : Garissha (sebut saja begitu)
Umur : 19 tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
Lalu menelusuri bagian utama dari alasan appointment ini : atas kemauan sendiri.
Hmmh, meringankan tugas, saya membatin senang.
*****
Perbincangan pun mengalir.
Garissha, berkisah tentang keretakan keluarga hingga menyeretnya ke dugem, sex bebas dan terakhir narkoba sebagai ' pelampiasan kemarahan' terhadap kedua orang tuanya.
Dia mulai merasa awas ketika salah seorang sahabatnya yang pernah berbagi jarum suntik bersama, terdeteksi positip mengidap.
Setelah 2 bulanan menimbang dalam kungkungan kecemasan, dia memutuskan memberanikan diri untuk memeriksakan diri. Lebih baik tahu lebih dini, ketimbang mati cemas dalam penasaran, tekadnya di titik kesimpulan.
Saya menganalisis. Kita dilatih untuk tidak dengan begitu saja percaya pada pengakuan klien. Namun, secara intuisi, saya menangkap kejujuran Garissha.
Usai mengomunikasikan tentang pemeriksaan dan penyakit ini, dan yakin Garissha telah menangkap dengan memuaskan, saya sodorkan kembali kertas persetujuan untuk dia tandatangani.
Selanjutnya saya panggil seorang petugas untuk mengantarkannya ke laboratorium.
"Nanti ketemu saya lagi kalo hasilnya sudah keluar, ya.'' Saya mengingatkan Garissha sebelum berlalu.
Dia mengangguk.
*****
Sepeninggal Garissha, benak saya berkecamuk.
Bagaimana bila hasilnya positip? Owala, selalu tidak mudah mengemukakannya. Berbeda dengan temanku Indra, yang akan dengan mudah memajang senyum seraya menyalami kliennya yang umumnya sepasang, seraya berucap, ' Selamat Pak, Bu, Anda akan memiliki momongan.' Lalu senyum cerah akan berpendar sebagai respon sang klien untuk kemudian ucapan terima kasih berlimpah meluncur dia terima.
Bagaimana bila saya mengadopsi caranya Indra saja?
'Selamat. Hasilnya positip.' Uhh..., bisa-bisa bukan cuma senyum kecut, tapi juga jab kanan yang mampir di perut. Saya tersenyum memikirkannya.
*****
Dua puluhan menit berselang, pintu diketuk.
"Ya, silakan...." Saya berdiri seraya menyambut sodoran kertas yang diberi petugas institusi ini.
" Terima kasih, Bu Din."
"Sama-sama."
Setelah mempersilakan Garissha duduk, dan saya sendiri duduk, saya buka kertas yang beramplop ter-lem itu.
Nah!
Saya berusaha bereaksi wajar. Meski ini sudah yang ke seratusan sekian kali, selalu campuran rasa iba, sedih, ga tega, ga terima, nelangsa, dan entah apa lagi, hadir mengaduk-aduk hati.
" Gimana?"
Saya tidak tahu apa yang membersit di wajah saya ketika menganggukkan kepala kepadanya.
" Hasilnya positip, Mbak...."
Saya memberinya keleluasaan menumpahkan reaksi. Menangis terisak. Dalam hati saya naikkan doa mohon kekuatan baginya. Agar tidak terhisab suasana, saya alihkan pandangan darinya. Sangat tidak mudah, apalagi saya adalah seorang melankolik.
*****
Setelah susana berangsur mereda, saya kembali mengomunikasikan tentang tindak lanjut dengan segala kemungkinan- kemungkinan dari pilihannya.
"Apa yang harus saya lakukan?" Suara Garissha. Dalam pemahaman saya, di tengah kebimbangan dan kesedihan mendalam.
"Lakukan apapun yang menurut Garissha terbaik." Sahut saya. Harus saya akui, terkadang saya tidak tahu entah harus menjawab apa. Saya tidak setuju bila harus mendesaknya mengikuti alur prosedural follow up.
"Saya permisi," dia sudah bisa menguasai diri. "Terima kasih. Kalo ada perlu, saya akan menghubungi Anda."
Saya menganggukkan kepala. "Dengan senang hati." Ucap saya tulus.
Ketika mencapai handle pintu, tiba-tiba Garissha berbalik, seraya menyuarakan, " Kalo boleh tahu, sepertinya dari nama Bapak, Anda kristen?"
Saya mengangguk dengan kernyitan di dahi.
"Saya juga," lanjutnya lagi dengan senyum kecut terkembang."Mungkin, dosa saya udah ga terampuni ya, Pak." Lalu, pintu tertutup.
Hufh.... Saya agak terkaget. Menghela napas panjang, sebelum menghembuskannya tak kalah panjang.
__________________
4 user menyukai ini
- SAMMY SIGA's blog
- Login to post comments
- 3755 reads
Positif
Jadi Ingat
...teman saya yang mengidap HIV positif juga...
---o0o---
"Ada dua orang yang berhutang kepada seorang pelepas uang. Yang seorang berhutang lima ratus dinar, yang lain lima puluh. Karena mereka tidak sanggup membayar, maka ia menghapuskan hutang kedua orang itu. Siapakah di antara mereka yang akan terlebih mengasihi dia?"
@PB n @Rusdy
@Sammy Siga, udah nanya
imprisoned by words...
@Sammy HIV
Banyak Mengasihi
@SAMMY SIGA:
Melihat teman saya yang satu ini selalu mengingatkan saya tentang perempuan berdosa di Lukas 7:36 - 50. Teman saya yang satu ini banyak mengasihi, karena dia sudah banyak diampuni. Istrinya juga, walau sudah mengetahui bahwa calon suaminya positif, tetap saja mengatakan 'ya' ketika di-proposed.
@8 n @Rusdy
@PB : Tidak berubah
@Sammy
Sama2 bung Sammy, senang berkenalan dengan anda :)
Yaa... Sama aja gak dijawab
imprisoned by words...
@Lapan Sopan Santun