Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kopdar Komunitas Penjunan

Purnawan Kristanto's picture

Meskipun istriku orang Jakarta, tetapi aku sendiri tidak terlalu antusias setiap kali pergi ke ibukota negara itu. Dengan diantarkan oleh Kirana dan isteri, aku berangkat ke bandara menumpang kereta Pramex dari stasiun di Klaten. Duduk di depanku, ada satu keluarga besar. Setelah aku amati, ternyata dua di antaranya adalah anak kembar lai-laki. Satu anak sedang disusui, sedangan kembarannya bermain dengan kakaknya.

Si Kembar

Aku tertawa sendiri karena di peron stasiun tadi aku juga melihat anak kembar yang lain. Aku segera mengirim SMS pada isteriku.

"Tahu nggak, aku ketemu anak kembar lagi di kereta," tulisku.

"Kayaknya asyik juga ya punya anak kembar," balas isteriku.

"Kalau anak kembar itu sama ceriwisnya dengan Kirana, maka RT kita bakal gaduh," responsku.

***

Perjalanan udara biasa saja. Maksudnya biasa terlambat dari jadwalnya. Sesampai di terminal 3, aku segera mengirim SMS ke Darsum. Pada saat yang bersamaan, SMS dari Darsum juga masuk. Kami janjian bertemu di Gambir.

Aku menunggu bis DAMRI jurusan stasiun Gambir. Saat bis datang, penumpangnya sudah penuh. "Sudah penuh! Sudah penuh!" Teriak sopir dengan nada tinggi.

Beberapa penumpang tetap memaksakan naik. "Berdiri pun nggak apa-apa" Kata mereka.

Aku mengurungkan niat untuk naik. "Toh, sebentar lagi ada bis lain di belakangnya," batinku.

Dugaanku meleset! Ternyata tidak semua DAMRI melewati terminal 3 ini. Cukup lama aku menunggu. Melalui pesawat radio, petugas DLLAJR berkali-kali meminta dikirim bis jurusan Gambir, tapi tetap tak ada yang melintas. Lebih dari satu jam aku menunggu, bis putih itu tak nongol, sementara aku mulai lapar.

Aku memutuskan membeli kentang goreng dan burger di restoran siap saji dengan harga yang mencekik. Harganya 35 ribu perak! Tak apalah, asalkan bisa untuk mengganjal perut. Makanan sudah habis, tapi bis belum datang. Aku mengirim SMS ke Darsum bahwa mungkin terlambat. "Aku masih di jalan. Di sini hujan, jalan agak macet," balasnya.

Akhirnya bis itu datang juga. Masih untung ada satu bangku di belakang. Perjalanan tersendat meskipun lewat jalan tol. Memasuki Slipi malah terjadi kemacetan total. Mobil hanya bisa bergerak seinci demi seinci. Celaka, pada saat itu perutku bergejolak. Dasar perut kampungan! Baru diisi sepotong makanan kota saja sudah berontak.

Wah, gawat nih. Sampai berapa lama kemacetan ini? Aku mulai meringis menahan sakit. Seolah-olah ada blender yang sedang mengaduk-aduk perutku. Memasuki jalan Merdeka Selatan aku sengaja mengetuk-ngetukkan kaki untuk mengalihkan perhatian dari gejolak di perut.

Untunglah, sampai di Gambir perutku masih bisa diajak kerjasama. Aku bergegas menemui Darsum, bukan karena nggak enak karena sudah lama ditunggu, melainkan supaya bisa segera menitipkan tas. Setelah itu, aku berlari sekencang-kencangnya menuju toilet.

Dengan perasaan lega, aku memasuki mobil Honda Civic. Mobil milik Darsum telah menjadi kendaraan resmi "Komunitas Penjunan." Ternyata sudah ada kemajuan di mobilnya, yaitu kunci pengaman. Sebelumnya, pintu mobil ini tidak ada kunci pengamannya sama sekali. Ajaibnya, tidak pernah kecurian sama sekali. Dulu aku pernah memberikan tips supaya mobilnya tidak dicuri: "Parkirkan saja mobilmu di samping mobil yang lebih mahal. Pasti mobil yang lebih mahal itu yang dimaling."

***

Kopdar Penjunan
Tujuan kami adalah toko buku "Immanuel," di jalan proklamasi. Di sana Ita Siregar dan mbak Niken Maria sudah menunggu. Setelah lebih dari 6 tahun, aku bertemu kembali dengan seniorku, mbak Niken. Sebuah perjumpaan yang menyenangkan. Kami pernah sama-sama bekerja di majalah BAHANA, namun beda kantor. Aku berkantor di Johja, sementara mbak Niken memimpin kantor biro di Jakarta.

Photobucket

Ketika masih SMA, aku sudah mengenal dan mengagumi tulisan-tulisan mbak Niken di majalah BAHANA. Maka ketika aku menjadi teman sekerja perempuan asal Kebumen ini, maka aku hampir tidak percaya. Ini seperti mimpi. Sama tidak percayanya ketika aku bisa bekerja satu ruangan dengan pak Xavier. Keduanya adalah penulis senior yang kukagumi.

Meski berbeda kota, tapi kami punya kesempatan berinteraksi secara langsung yaitu saat Rapat Redaksi tahunan dan retret karyawan PBMR. Di luar itu, mbak Niken juga kadang datang untuk menghadiri rapat-rapat yang penting. Setiap kali mbak Niken datang dari Jakarta maka karyawan PBMR Andi akan menyambutnya dengan sukacita. Apa sebab? Karena mbak Niken tidak pernah datang dengan tangan hampa. Ada saja oleh-oleh yang dibawanya. Selain makanan, dia juga kadang membawa bingkisan lain seperti kaos atau kaset rohani. Itu yang selalu kami tunggu-tunggu.

***

Menjelang pukul enam sore, teman-teman mulai berdatangan. Mulai dari Bayu Probo, disusul Jojo Raharjo dan Okta Wiguna. Kami menyatukan dua meja, lalu memesan minuman. Menyusul kemudian Rebecca, Hindrasto dan Ayub Bansole. Sayangnya, ketika rapat baru saja dimulai Jojo Raharjo harus pamitan. Okta juga menyusul karena harus menemui anggota DPR yang menyambangi kantor redaksi koran Tempo.

Pukul sembilan, petugas cafe mulai menarik cangkir dan piring. Rupanya waktunya untuk tutup. Mau tak mau, kami harus menyudahi rapat.

Di tempat parkir, Darsum mengajak untuk makan malam sambil menunggu Okta yang berjanji akan gabung lagi. Di seberang toko ada warung makan. Kami sepakat untuk mengisi perut di sana. Sambil menunggu makanan disajikan, Darsum mengeluarkan kartu dan beraksi. Aku tidak terlalu berminat karena sudah pernah melihat aksinya di Gunung Mas. "Master" Darsum menunjukkan kelihaiannya dalam menebak kartu di depan mbak Niken, Rebecca, Bayu dan Ita. Lumayan buat membunuh waktu sembari menunggu pesanan yang sangat lama disajikan. Atraksi gratis ini otomatis berhenti begitu makanan keluar. Aku memesan ayam bakar [Jauh-jauh ke Jakarta, pesannya ayam bakar juga]. Selesai makan, Okta baru datang. Dia memesan teh tawar.
Photobucket

Pukul sebelas malam, kami bubaran. Lebih tepatnya Rebecca yang bubaran, karena sisanya masih berharap pada tumpangan mobil Darsum. Sebelum masuk mobil, kami janjian dengan Okta untuk ketemu di Radio Pelita Kasih. Dia menuju ke sana menggunakan Yamahan Mio. Sementara sisanya masuk mobil Darsum. Sempat terjadi perdebatan kecil soal pengaturan tempat duduk. Aku, mbak Niken dan Bayu bersesakan duduk di bangku belakang. Sementara Ita di depan, mendampingi Darsum.

Tujuan pertama ke arah Rawamangun. Karena sudah bertahun-tahun menjadi wartawan, mbak Niken sudah hapal lika-liku kota. Maka dia yang menjadi Navigator. "Jalan lurus, Sum!" kata mbak Niken memberi arah pada Darsum. "Habis lampu merah, segera ambil kanan"; "Kalau mau berbelok itu nyalakan lampu sein!"; "Kalau mengerem,jangan mendadak!" Begitulah mbak Niken. Mungkin dia gemas melihat cara mengemudi bung Darsum.

Sesampai di lampu merah Arion, Bayu Probo turun. Dia melanjutan perjalanan ke Pondok Kopi. Sementara itu kami mengantarkan Ita Siregar ke Rawamangun. Setelah itu menuju kantor Suara Pembaruan. Pukul 00.30, Mbak Niken harus siaran di radio RPK yang ada di kompleks kantor harian itu.

"Apa tema siarannya, mbak?" tanyaku.

"Tentang MCK"

"Apa itu MCK?"

"Media Cetak Kristen."

"Siaran tengah malam begini, yang mendengar paling hanya satpam, maling dan hantu," kataku bercanda.

"Jangan salah," sahut mbak Niken, "Pendengarnya banyak lho. Jumlah SMS yang masuk bisa sampai 3 halaman. Yang menelepon juga lumayan banyak. Eh, bagaimana kalau kalian ikut siaran?"

Kami hanya tertawa saja.
Siaran

Ternyata mbak Niken serius. Darsum berusaha mengelak, tapi mbak Niken terus mendesak. Sembari menunggu waktu siaran, kami minum kopi dan teh di kantin. Pukul 23.30, Okta datang dan langsung ditodong ikut siaran.

Demikianlah, kami bertiga diundang sebagai pengamat media Kristen. Dipandu oleh Argo dan mbak Niken, kami berbincang tentang pelayanan literatur. Aku berpendapat bahwa media cetak sekarang ini mengalami situasi yang sulit. Di satu sisi digempur media on line, di sisi lain dihimpit oleh harga kertas dan ongkos kirim yang melangit. Meski demikian ada kegairahan di kalangan masyarakat Kristen terhadap bacaan rohani. Perbincangan itu juga menyoroti media Kristen, khususnya majalah, yang kurang dikelola secara profesional. Manajemen masih dikelola secara serampangan. Penghargaan dan perlindungan terhadap wartawan Kristen masih kurang. Hal itu menimbulkan keminderan di kalangan Kristen.

Bagaimana respon pendengar? Alhamdulillah ada empat penelepon dan empat SMS yang masuk. Ini merosot jauh dari malam-malam yang lain. Apa sebab? Mbak Niken menilai tema pembicaraan terlalu berat sehingga pendengar kesulitan untuk memberikan tanggapan. "Tapi saya yakin, banyak orang yang mendengaran," kata mbak Niken berusaha menghibur kami.

Pukul dua pagi, siaran usai. Mbak Niken sudah dijemput bang Abel. Mereka pulang ke Bekasi.  Gerimis turun tipis. Aku, Darsum dan Okta masih berbincang hingga pukul setengah empat, kemudian bubaran.

Siaran

Aku diantarkan Darsum menuju ke rumah mertua di Halim. Mestinya jarak Cawang ke Halim dapat ditempuh kurang dari 15 menit, apalagi pada dinihari yang masih sepi. Tapi apa yang terjadi? Kami menghabiskan waktu satu jam lebih. Mula-mula Darsum kehilangan orientasi. Seharusnya ke kanan, dia malah ke kiri. Maka kami harus berbelok lagi menuju Cawang. Sesampai di depan UKI, sesuai kebiasaan dia langsung masuk ke jalan tol untuk pulang Jonggol. Padahal mestinya mengantarkan aku ke Halim dulu. Saat sadar, sudah tidak mungkin berbalik lagi. Maka kami memutuskan untuk keluar di Pondok Gede. Ada dua pilihan: Masuk ke jalan tol lagi ke arah sebaliknya atau lewat Kramatjati. Kami memilih alternatif kedua, sebuah pilihan yang keliru. Pada dini hari seperti ini, pasar Kramatjati justru sedang sibuk-sibuknya. Selama bermenit-menit kami terjebak dalam kerumunan tukang sayur yang sedang kulakan.

Pukul setengah lima pagi, saat fajar Timur memerah, aku mulai merebahkan badan di rumah mertua.

__________________

------------

Communicating good news in good ways