Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kontemplasi

andryhart's picture

Lectio divina berarti membaca firman Tuhan. Melalui lectio divina kita
berupaya untuk menemukan Tuhan melalui pembacaan firman-Nya, berdoa,
bermeditasi dan berkontemplasi. Paus Benedictus XVI mengatakan bahwa
tradisi yang dikenal dengan nama lectio divina diperlukan untuk
menyuburkan kehidupan rohani umat. Melalui lectio divina, umat akan
belajar berdialog dengan Tuhan dengan membaca firman-Nya dan
mendengarkan suara Tuhan melalui keheningan untuk kemudian merespons
kehendak Tuhan dengan hati yang terbuka. Mgr I. Suharyo, Uskup
Semarang, menyebutkan prinsip Nang-Ning-Nung yang berarti “Tenang,
Hening dan Merenung” ketika meresmikan tempat adorasi untuk keperluan
lectio divina di Gua Kerep Ambarawa. Pada dasarnya lectio divina
terdiri dari enam langkah: (1) silencio; (2) lectio; (3) oratio; (4)
meditatio; (5) contemplatio; dan (6) incarnatio. Melalui silencio, kita
perlu menenangkan diri dahulu sebagai persiapan sebelum berdialog
dengan Tuhan. Lectio merupakan langkah kedua untuk memahami kehendak
Tuhan dengan membaca firman-Nya yang tertulis di dalam buku Injil.
Dalam oratio, kita bercakap dengan Tuhan untuk menyampaikan ucapan
syukur dan rasa terima kasih kita. Percakapan ini menyerupai dialog
pribadi seperti dialog antara sepasang kekasih yang saling mencintai.
Selanjutnya kita menggunakan pikiran kita untuk membayangkan apa yang
terjadi di dalam bacaan Injil atau percakapan tersebut; langkah
imajinasi ini disebut meditatio. Pada langkah berikutnya, kita harus
menggunakan perasaan dan bukan lagi pikiran untuk dapat menikmati
suasana damai dan tenang yang ditimbulkan oleh langkah sebelumnya;
langkah inilah yang disebut dengan istilah contemplatio. Dan paling
akhir kita harus mewujudkan semua rencana dan kehendak Allah dengan
menuliskan tekad kita untuk mewujudkan dan melaksanakan semua janji
kita kepada Allah dengan setia; langkah ini disebut incarnatio.
Khusus tentang kontemplasio, saya memiliki pengalaman tersendiri. Saya
pernah bertemu dengan seorang wanita cacat yang karena diperkosa
tetangganya melahirkan bayi dengan hidrosefalus (kepala yang membesar
karena cairan otak tersumbat). Bayi itu sudah dioperasi dan dipasang
pipa (shunt) untuk mengalirkan cairan otaknya sehingga dapat tumbuh
menjadi seorang anak kendati kepalanya tetap besar. Namun, wanita yang
juga cacat itu menggendong bayinya dengan lengannya yang kurus dan dia
tampak sangat mengasihi anaknya. Ketika membawanya berobat ke rumah
sakit saat anak itu jatuh sakit, dia selalu menciumi dan menghibur
anaknya dengan penuh kasih. Dan ketika saya mengobatinya dan memberikan
sekadar uang untuk membantunya membeli obat, dia selalu menatap mata
saya dengan rasa syukur. Perasaan terharu yang timbul dalam perasaan
saya dapat menghasilkan linangan air mata sekalipun saya seorang yang
rasional. Perasaan ini saya sebut sebagai contemplatio atau dalam ejaan
Indonesia, kontemplasi. Jadi kontemplasi tidak selalu harus dilakukan
dengan menyendiri dan bermeditasi di tempat sunyi untuk merenungkan
kesengsaraan Kristus. Dalam pengalaman hidup sehari-hari, kita juga
bisa mengalami kontemplasi jika setiap orang yang menderita kita
pandang sebagai representasi Kristus. Menurut Prof Damarjati Supanjar,
Allah memiliki mata air kasih yang bila kita bersedia menerimanya, maka
karunia kasih itu akan mengalir masuk ke dalam hati kita dan meluap di
sana sehingga timbullah air mata kasih.

__________________

andryhart