Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Klasa Mendong
Hampir jam sembilan malam. Toko-toko di sepanjang Coyudan itu
sebagian besar sudah tutup. Mobil-mobil yang biasanya parkir berjajar-
jajar di sepanjang bahu jalan hanya tinggal beberapa saja. Lalu lalang
orang yang biasa keluar masuk ke beberapa toko sepatu juga sudah mulai
sepi. Rupanya kesibukan hari itu sudah mulai akan berakhir.
Di antara barisan toko-toko sepatu yang mendominasi di sepanjang jalan
itu, terlihat suatu pemandangan yang bertolak belakang. Di depan
sebuah toko sepatu yang megah itu, nampak seorang wanita yang sudah
tua duduk menunggui dagangannya. Di emperan toko sepatu itu, tepatnya
di trotoar, dagangannya diatur dengan rapi. Bagi seorang wanita yang
sudah tua, jam-jam malam seperti ini sudah seharusnya digunakan untuk
istirahat. Namun wanita ini masih setia menunggui dagangannya, kalau-
kalau ada pembeli yang datang dan membeli dagangannya.
Dagangan nenek ini lain dari yang lain dan mungkin dia adalah satu-
satunya orang yang menjual barang itu. Klasa mendong, atau orang akan
lebih cepat ngeh jika disebut tikar pandan, adalah dagangan utamanya.
(Dalam bahasa Indonesia, klasa = tikar) Beberapa gulung tikar plastik
dan sapu lidi juga ada diantara dagangannya.
Klasa mendong. Aku langsung teringat nenekku yang dulu sering membuat
tikar seperti ini untuk dijual di pasar. Meskipun kebutuhan hidupnya
sudah bisa tercukupi melalui anak-anaknya, namun beliau tetap saja
menganyam tikar. Untuk kesibukan saja, itulah yang sering dijadikan
alasan. Alasan yang sama mungkin juga berlaku bagi nenek penjual klasa
ini.
Bagi orang-orang jaman sekarang, tikar ini mungkin sudah dilupakan.
Sekarang ini yang lebih terkenal adalah karpet, tikar plastik atau
yang lebih bagus lagi permadani. Sudah tidak banyak yang melirik hasil
kerajinan tangan ini. Dilihat dari keawetannya memang tikar ini tidak
begitu awet jika tidak dirawat baik-baik.
Rasa iba tiba-tiba saja muncul ketika aku melintas di depannya.
Melihat rambutnya yang sudah memutih semua, wajahnya yang sudah
keriput dan tampak lelah membuat aku ingin melakukan sesuatu untuknya.
Tapi apa? Pertanyaan itu beberapa ada dalam pikiranku. Beberapa kali
aku melewati jalan itu lagi, berharap melihatnya tersenyum bahagia
menerima beberapa lembar uang dari pembeli.
Malam ini aku putuskan untuk membeli satu dagangannya. Saat aku
berhenti di depan dagangannya, nenek itu langsung menyambutku dan
menawarkan dagangannya. Gulungan tikar dengan beberapa ukuran itu
langsung dibukanya. Penjelasan tentang harga, bahan, dan ukuran
langsung meluncur dari mulutnya. Aku hanya manggut-manggut saja
mendengarnya sambil memilih-milih beberapa tikar yang digelarnya. Satu
tikar sudah aku pilih, nego harga pun aku lakukan. Tak lama kemudian
kami sudah sepakat soal harga. Nenek ini segera melipat tikar yang aku
pilih dan menyerahkan kepadaku. Aku sodorkan uang untuk membayarnya
tapi mungkin hari ini baru ada satu tikar yang terjual sehingga tak
ada uang lain yang ada di dompetnya.
Bergegas nenek ini berjalan ke toko sepatu yang melatar belakanginya
berjualan. Melihatnya berjalan tertatih-tatih membuat aku semakin iba.
Apalagi ketika ia mencoba menukarkan uang yang kuberikan kepada
penjaga kasir di toko sepatu itu. Untuk beberapa saat ia hanya berdiri
diam karena tidak digubris oleh penjaga kasir itu meskipun ia sudah
berusaha mengutarakan maksudnya. Tak lama kemudian usahanya berhasil,
dengan mengenggam beberapa lembar uang nenek ini berjalan tertatih-
tatih kembali ke tempat ia menggelar dagangannya. Dua lembar uang ia
serahkan kepadaku sebagai kembalian seraya mengucapkan terima kasih.
Aku meninggalkan tempat itu dengan perasaan lega, setidaknya aku sudah
membantunya dengan membeli dagangannya. Ada rasa bahagia bisa
membuatnya tersenyum melihat dagangannya laku walaupun mungkin malam
ini hanya satu tikar.
- Orchid's blog
- 5616 reads