Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kisah Seekor Kucing (2)
"Atik lagi sakit. Jgn kaget nanti klau ia mati," hanya itu bunyi SMS yang kuterima.
Atik, kami harus mengakuinya sebagai bagian dari rumah kami. Tingkahnya bukan saja membuat kami tertawa, tetapi juga membuat kami harus menahan 'kejengkelan'. Ia begitu 'imut' sehingga ibu berkata, "Tik! Ditawari satu milyarpun, aku tidak akan menjual kamu."
Kami hanya bisa tertawa mendengarnya.
Dulu, waktu kami masih kecil, ibu suka menjahit. Sudah lama tidak menerima pesanan lagi. Suatu hari, tetangga mengantar kain ke rumah, meminta dibuatkan sarung bantal. Awalnya ibu menolak, tetapi akhirnya berubah pikiran.
“Membuat sarung bantal tidaklah sulit,” kata ibu akhirnya.
Saat kain itu dihamparkan di lantai ruang tengah, Atik menemukan mainan baru. Ia langsung tiduran di atasnya. Ibu hanya diam, merasa tidak terganggu. Tetapi Atik yang tidak bisa diam. Tangannya bergerak secepat kilat begitu pinggiran kain bergerak sedikit saja. Tidak ada yang bisa melarangnya, bahkan ujung meteran pun menjadi sasaran. Begitu alat ukur ini bergerak, ia langsung menangkap dan menggigit ujungnya.
Akhirnya ibu berkata, "Tik, kalau ada yang mau beli, lima rupiah pun kujual kau."
Kami tahu, ibu tidak sungguh-sungguh berniat menjual Atik.
***
Atik, kucing putih gemuk berekor lucu. Ekornya yang berbentuk kait selalu tegak ke atas saat berjalan. Beberapa kali ekor ini tersangkut di kursi tali, membuatnya tidak mau lagi menduduki kursi di pojok kiri teras itu. Kucing inilah yang membuat kami tidak pernah lagi bermain catur, karena setiap kali meletakkan papan catur di atas meja atau di lantai, kami melihatnya langsung melenggang dengan ekor tegaknya. Sebelum semua bidak terpasang, ia sudah duduk di tengah papan catur. Menjatuhkan raja dan menteri yang sudah tersusun rapi tanpa merasa bersalah.
Aku harus berhati-hati kalau menyerut atau mengetam papan. Kucing ini akan berbaring di atasnya, hanya beberapa sentimeter dari batas jangkauan ketam tanganku. Kalau aku menggergaji sepotong papan atau reng, ia akan tiduran di bawahnya. Membiarkan serbuk atau potongan kecil kayu jatuh di atas punggungnya.
Kalau ada tamu, ia juga bertingkah. Menunjukkan siapa yang paling banyak mendapat perhatian dari tuan rumah dengan langsung duduk di pangkuan ibu. Kalau kami lagi duduk berkumpul, ia duduk di pangkuan kami secara bergantian. Mencari posisi yang paling enak, kata adikku. Kalau televisi hidup, ia juga suka tiduran di atasnya. Tidak akan mengganggu jika ia hanya tidur diam. Masalahnya, seringkali ekor berbentuk kait itu bergerak-gerak menutupi logo stasion televisinya.
Kami tahu jadwalnya, keluar setelah jam sembilan malam. Mencari cecak di teras. Lebih tepatnya menonton cecak-cecak berbaring di dinding. Berharap ada yang terjatuh. Jam sebelas mengeong, meminta siapapun yang mendengar untuk membukakan pintu depan.
"Hai, Tik! Sudah pulang ya?" kata adikku kalau kebetulan membukakan pintu untuknya.
"Dapat cecak?" lanjutnya menggoda. Atik hanya melangkah cuek ke piring makanannya.
"Tik. Makan, Tik," kata ibu kalau ia yang membukakan pintu.
"Atik! Tumben pulang," kataku suatu malam karena terbangun dan harus membukakan pintu untuknya.
Cuek saja ia masuk lalu melangkah ke piring makanannya. Setelah itu mencari tempat tidur yang paling ia sukai. Biasanya di ujung ranjang ibu, atau bersama si kembar. Ia suka karena kedua adikku ini akan ‘mengobrol’ sebentar dengannya. Bertanya apakah ada cecak yang terjatuh, atau berapa cecak yang malam ini berbaring di dinding. Atik tidak pernah naik ranjang kakak-kakak kami. Tidak mungkin. Sebelum mengusirnya, mereka akan mengomelinya terlebih dahulu.
Lalu sekitar jam empat pagi ia bangun, mengeong untuk melaporkan kalau makanan yang ada di piringnya sudah dingin, tidak layak makan.
Atik juga tahu siapa yang paling terlambat bangun. Setiap pagi ia pindah ke tempat tidurku. Meletakkan tubuhnya di dekat kaki, atau dimana saja, terserah. Asal jangan di depan muka, seperti pesan ibu. Di sini ia bisa tidur lagi, dan aku punya alasan untuk tidak membereskan tempat tidurku.
"Atik masih tidur di situ," kataku kalau ada yang mengomeli tempat tidur yang berantakan.
Ia baru bangun sekitar jam sembilan. Saat cahaya matahari menyinari teras. Tidak bangun sebenarnya, hanya pindah tempat tidur. Pindah ke keset di ujung tangga sehingga tubuhnya bisa terkena cahaya matahari. Berjemur, istilahnya.
Kalau merasa terganggu, ia mencari tempat tersembunyi. Naik ke atap atau ke loteng, mengamankan dirinya di sana. Membuat kami kadang berpikir betapa liciknya kucing ini. Kalau ada orang beristirahat atau bermain, ia akan mengganggunya. Tetapi kalau ingin tidur tenang, mencari tempat yang paling sulit sehingga tidak ada orang yang bisa datang mengganggu tidurnya siangnya.
Atik kucing yang manja, tetapi ada saatnya kami tidak bisa memanjakannya. Seperti saat ia terjatuh di comberan. Bosan menonton cecak di dinding, ia berburu di dapur dan terjatuh ke comberan. Pulang ke rumah sebelum jam sebelas, saat kami semua masih terbangun. Ia masuk dengan tubuh basah dan bulu putih yang tidak lagi berwarna putih. Bulu putih polos itu tertutup lumpur hitam yang baunya membuat kantuk tiba-tiba saja menghilang.
Walaupun ibu sudah melap tubuhnya, dan kucing ini sendiri sudah menjilati tubuh kotornya, tetap saja warna hitam dan bau itu tidak hilang. Masalahnya, ia tetap ingin tidur di atas kasur. Si kembar yang selalu membuka kelambu saat Atik mengeong di bawah ranjangpun terpaksa berkata, "Tidak, Tik!"
Dan mereka berdua berkata sambil menyebut namaku, “Tidur sama dia saja.”
Seandainyapun aku mau, ibu tidak akan mengijinkannya. Ia langsung berkata, "Tidak boleh! Bukan kamu yang mencuci seprei itu."
Maka Atikpun hanya bisa mengeong, kami pura-pura tidak mendengarnya. Akhirnya ia menyerah dan tidur di atas sofa.
Kucing manja inilah yang sedang sakit.
*****
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 4919 reads
Kado natal dari Garong,
Lakukan segala sesuatu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia ...
punya akal juga rupanya
Dua kucing kembarku, setiap pagi mengantar bapak dan ibuku ke pasar sampai di ujung jalan, lalu mereka pulang. Suatu pagi mereka mengantar terlalu jauh, kehilangan jalan pulang, dan tak kelihatan di rumah hingga malam.
Esok pagi, bapak dan ibu kembali ke pasar, terdengar suara dua ekor kucing kecil itu, seakan memanggil-manggil, sambil duduk di suatu tempat, mungkin tak berani meninggalkan tempat itu dan memilih tuannya datang esok paginya, sehingga mereka tak kehilangan rumah.