Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kisah Sebuah Kuburan
Aku merindukan suasana kuburan kampungku sama seperti aku merindukan kampung tersebut. Mendatangi kuburan ini membuatku bisa mengingat kenangan masa kecil, aku menyukai kesunyian dan kesenyapannya. Kuburan ini memang selalu senyap. Jarang didatangi karena kami tidak boleh langsung masuk rumah sepulang dari sini, harus mandi dulu katanya. Bagiku tidak masalah, aku lebih memilih mendapat mimpi buruk daripada mandi sepulang dari kuburan.
Salib yang paling tua bertahun 1906, artinya kuburan ini mulai diisi pada tahun tersebut. Aku menyukai makam yang ini, karena tidak terurus, kesannya sangat tua karena tanpa tanda apapun, kecuali sebuah salib besi. Makam-makam model ini yang benar-benar aku sukai, bukan makam bagus yang dinaungi pendopo megah.
Kampung kami sudah berdiri jauh sebelum ada kuburan ini. Menurut cerita, dulu orang meninggal tidak dimakamkan di dalam tanah, tetapi di atas pohon besar. Pemerintah Belanda melarang pemakaman seperti ini karena menimbulkan bau busuk. Akhirnya penduduk memakamkan keluarganya yang meninggal di dalam tanah, baru setelah empat atau lima tahun dibongkar lagi untuk mengambil tulang belulangnya. Keluarganya lalu membuatkan rumah-rumahan kecil untuk menyimpan tulang belulang tersebut, dengan tangga yang terbalik, serta patung pria dengan alat kelamin wanita atau sebaliknya. Semuanya terbalik karena kami dulu percaya, di alam roh semua akan terbalik.
Itu dulu, sekarang orang mati benar-benar dikuburkan dan tidak akan digali lagi, kecuali kuburan orang-orang yang masih memeluk agama asli suku kami. Walaupun demikian, jika orangnya masih memeluk agama asli, kami tidak akan meletakkan peti matinya di atas pohon lagi, kami telah belajar kalau bau busuk itu tidak enak.
Di kuburan ini juga aku bisa mengingat ketakutanku sendiri sama kuburan. Suatu hari aku masuk hutan, menemukan sebuah makam di bawah sebuah pohon, makam yang benar-benar sangat tua, Aku benar-benar tidak bisa melupakan suasana di sekitar makam ini, sangat menyeramkan dan dikelilingi oleh pepohonan dan semak belukar. Benar-benar sebuah makan tua yang penuh misteri.
Aku juga tidak bisa melupakan ketakutan terhadap rumah kecil di belakang kebun. Katanya makam seorang bayi. Tidak terurus dan tertutup semak belukar. Kalau di malam hari terdingar nyanyian burung hantu, orang menakuti kami dengan berkata burung ini pasti bertengger di atas rumah kecil jauh di belakang rumah.
Setiap pulang kampung, aku pasti mendatangi semua kuburan ini.
***
Seperti dalam kepulanganku yang terakhir ini, waktu kosongku kuisi dengan beberapa kali mendatangi kuburan. Aku masih ingat salah satu kunjungan tersebut.
Sudah dua minggu aku di kampung, pagi ini tidak ada yang kukerjakan, adikku sedang mengajar di sekolahnya; ibu sibuk menyiapkan makanan untuk ayah; kucing kami, Atik, juga tidak bisa diganggu, ia menemani ibu. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kuburan, bernostalgia lagi.
Aku tidak kaget melihat ada beberapa orang berkumpul di bagian tengah komplek pemakaman Kristen ini. Dua hari lalu lonceng gereja berbunyi sembilan kali, menandakan ada orang dewasa yang meninggal. Aku hanya sedikit heran karena mereka menggali di bagian tengah yang sudah sangat padat, padahal masih banyak tempat kosong di bagian pinggir.
"Hei! kapan datang?" tanya salah seorang penggali, namanya Darma, mantan kakak kelasku. Senang ia masih mengenalku.
"Sudah dua minggu," jawabku. Ini bukan kunjungan pertama ke kuburan dalam liburan ini.
Orang-orang yang berkumpul menyapa dengan ramah, beberapa orang tidak kukenal, tidak masalah dan kami juga tidak berkenalan. Saat ini aku hanyalah seorang tamu di kampung dan merupakan kesombongan jika aku berkata tidak mengenal mereka. Jika menanyakan siapa mereka, aku akan dianggap sok orang kota, mentang-mentang baru datang dari Pulau Jawa, sok lupa.
"Masih ada yang kosong disini ya?" kataku dengan berani. Mereka pasti tahu aku sebenarnya berkata "Kenapa tidak menggali di bagian pinggir saja?"
"Bukan!" jawab Darma sambil menyodor sebungkus rokok, yang kutolak dengan halus, "ini bekas makam si Bisi, tetapi sudah dibongkar dan dibawa ke kampungnya."
Aku tidak mengenal si Bisi, tetapi disini semua orang di harapkan mengenal semua orang. Aku juga tidak bertanya siapakah si Bisi, ini akan kutanyakan kepada ibu nanti. Aku benar-benar dibesarkan di lingkungan yang sok tahu, sehingga aku hanya berkata, "Oh.. begitu."
Sepuluh tahun tinggal di perantauan tidak membuatku lupa kalau tanah yang sudah digali dan dibongkar warnanya berbeda dengan tanah keras biasa. Kami sering membolos ketika ada acara penggalian kuburan, jadi aku bisa membedakan mana tanah yang masih asli dan mana yang sudah pernah digali. Walaupun demikian, aku tidak berkomentar lebih jauh, aku malah membersihkan makam keramik di sampingnya dan duduk di samping seorang pria yang sudah ada di situ sebelumnya.
Tidak seperti di Jawa, dimana biasanya kuburan bercampur, tidak peduli agamanya. Di tempatku, selama hidup, orang berbeda agama hidup berdampingan, tetapi kalau sudah mati, akan pergi ke kuburan menurut agamanya masing-masing.
Ada delapan orang termasuk aku mengelilingi lubang yang sudah setengah jadi, setiap makam yang mengelilingi lubang ini diduduki oleh dua orang. Masing-masing, termasuk aku, memperhatikan seorang yang sedang sibuk dengan sekop di dalam lubang. Di samping kanan setiap penonton ada sebuah botol air mineral yang sudah berwarna kuning. Dari bungkus-bungkusan yang berserakan, aku bisa melihat warna airnya berubah karena minuman energi yang dicampur ke dalamnya. Mungkin supaya lebih kuat menggali.
Kampungku belum berubah, hanya satu orang bekerja, yang lain mengobrol dan menonton, termasuk aku sendiri. Kalau si penggali merasa capek, ia akan naik dan orang lain akan menggantikannya. Cara seperti ini membuat penggalian sebuah makam membutuhkan setengah hari dan beberapa bungkus minuman energi.
Aku sudah terbiasa melihat acara penggalian kubur, tetapi kali ini agak beda, karena makamnya bekas makam orang lain. Seorang menjelaskan kepadaku bahwa dulu ini makam seorang pendatang yang dikuburkan di sini karena akan membusuk sebelum sampai di kampung asalnya. Kami belum mengenal formalin, sehingga si Bisi harus dimakamkan dulu. Baru setelah lima tahun makamnya dibongkar lagi.
Tiba-tiba sekop yang dipakai oleh orang yang sedang menggali mengenai sesuatu yang keras, ternyata mengenai sebuah parang yang sudah sangat berkarat. Orang mati biasanya memang membawa sebilah parang. Kebutuhan kami disini. Tanpa parang kami tidak akan bisa mendapatkan kayu bakar.
"Untukku!" kata Yapan, salah seorang penonton yang dari dulu sangat suka berkelahi, "racunnya sangat kuat."
Tidak ada yang keberatan. Yapan turun, mengamankan parang itu sekaligus mengambil giliran menggali.
Beberapa saat kemudian, sekopnya mengenai sesuatu. Kali ini mengenai sebuah panci.
"Yang ini untukku." teriak seorang bapak berumur empatpuluhan, aku tidak tahu namanya,"biar rejeki lancar. Sekarang giliranku untuk menggali, siapa tahu menemukan tutupnya. Rejeki masuk percuma kalau tidak ditutup, akan keluar lagi."
Aku hanya bisa menahan senyum melihat bapak ini akhirnya bukan menggali, melainkan mencari tutup panci. Ia terlalu banyak berkonsentrasi di sekitar tempat panci ditemukan.
"Hei, orangnya dimakamkan dengan posisi tidur, bukan berdiri," kata seorang yang sebaya denganku, pasti teman satu sekolah di SMP, tetapi aku lupa.
Dengan sedikit kecewa bapak ini menggali di tempat lain juga, lalu malah menemukan sebuah gigi palsu dari emas, seorang berkata gigi ini sangat bagus sebagai jimat judi, akan membuat menang terus. Seorang tokoh judi yang ada di sini tanpa berkata apa-apa langsung mengambil gigi palsu tersebut. Aku tidak tahu namanya bapak ini tetapi melihatnya menjadi bandar judi beberapa hari yang lalu.
Jam 12 siang seseorang datang, memeriksa apakah lubang sudah siap. Karena jam satu jenazah akan dibawa meninggalkan rumah duka. Pemilik panci mengucapkan beberapa kalimat yang mengungkapkan kekecewaannya karena tidak bisa menemukan tutup pancinya. Penggalian harus dihentikan. Orang yang datang ini juga tidak berkomentar apapun melihat lubang yang lebih dalam dari biasanya serta agak melebar.
Satu persatu mereka membersihkan barang-barang yang didapatnya: parang, panci tanpa tutup, gigi palsu, sendok, piring, cangkir kaleng, botol minyak wangi, dan beberapa barang yang katanya merupakan kebutuhan si Bisi di alam roh.
Aku juga pulang, jika akhirnya aku terpaksa mandi, bukan karena takut mimpi buruk, tetapi dari pagi tadi aku belum mandi.
- anakpatirsa's blog
- 6616 reads
Setetes embun dari beberapa