Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kekasih Karamelku
Seberapa manis? Ah, aku tak terlalu suka manis. Agaknya hubunganku dengan gula memang tak terlalu harmonis. Maka, butuh waktu lama buatku untuk mengenali nama warna yang tepat untuk menggambarkan bola mata kekasihku. Coklatnya tak sama dengan coklat bola mataku yang pekat. Coklatnya sewarna gula yang meleleh dan memekat terkena panas. Warna bola mata itu adalah karamel.
Untukku, tatap mata itu memang semanis gula. Jenis gula istimewa yang selalu kusuka rasanya. Menemaninya, meski dalam kurun waktu yang sangat singkat, membuatku terkesima akan manis jiwanya. Manis yang lekat namun menyegarkan. Seperti karamel yang tetap manis meski tertempa panas, kekasihku pun tetap bersikap manis meski aku tahu betapa sakit itu bertubi-tubi menderanya. Ia bisa saja berubah menjadi masam, pahit ataupun tawar; tapi seperti karamel yang melumer lembut dan manis di mulut, demikianlah ia tetap memilih bersikap hangat pada keluarga, sahabat dan paramedis yang merawatnya. Kekasihku memang semanis karamel.
Gambaran coklat karamel itu seolah tak dapat hilang hingga kini. Rasanya cukup aneh karena selama lebih dari tiga tahun berteman, baru sekali aku benar-benar menatap matanya. Lagipula, mana berani aku menatapnya lekat? Aku dibesarkan dengan pesan bahwa pantang menatap orang tepat di mata. Terlebih orang yang kita hormati. Tambahan lagi bola mata itu selalu terlindung di balik selapis lensa. Begitupun, hanya perlu sekali untuk membuatku terpesona dan hanyut dalam lingkaran karamel itu.
Ingin rasanya aku bertanya pada kekasihku, apa yang dilihatnya lewat bola karamel itu. Bagaimana caranya mencintaiku tanpa syarat. Sayang aku tak akan pernah tahu apa yang dilihatnya ada padaku yang teramat biasa dibandingkan dengan entah berapa puspa indah yang mengerumuninya. Disandingkan dengan mereka, aku hanyalah ibarat kembang rumput liar kusam di tepi jalan. Sayang, si karamel itu kini sudah tak lagi menatapku. Kekasih karamelku yang manis telah nyaman di pangkuan-Nya.
Tidak pernah kucoba memungkiri betapa rindu memenuhi dada dan terasa demikian menyesak karena tak dapat lagi kupersembahkan. Pada saat demikian, aku menutup mata dan menyanyikan gita tentang penyertaan-Nya yang sempurna, sama seperti ketika aku menatap lekat bola mata itu sambil mengidungkan lagu memuji Sang Pemilik Hidup. Aku akan selalu tersentuh mengenang sorot karamel itu seolah terhanyut dalam lantun suaraku yang demikian sederhana. Banyak nada yang hilang tertelan air mata namun si manis karamel terus membuatku berani berkidung.
Ombak dan gelombang kesedihan menghantam kami demikian keras ketika akhirnya sorot karamel itu terpejam dalam tidur panjang. Ia akhirnya harus pulang ke tempat yang jauh lebih baik. Butuh waktu lama buatku mampu memahami arti kepasrahan yang justru membuatnya bahkan makin manis. Butuh jutaan detik hingga aku dapat melihat dan mengucap syukur bahwa kekasihku diijinkan-Nya mengakhiri pertandingan hidupnya dengan teduh dan manis – dalam doa di tengah orang-orang yang dikasihi dan mengasihinya dengan iman teguh yang tak tergoyahkan. Sampai akhir salib itu setia dipanggulnya.
... dan kini tiap kuucap doa, betapa aku terkagum akan karya-Nya yang mengijinkan kekasih karamelku pulang dengan akhir yang manis untuk memulai awal yang manis pula bersama-Nya.
- clara_anita's blog
- Login to post comments
- 6011 reads
salam kenal...bagus...
salam kenal...
bagus...
eda
@eda
salam kenal eda..
:)
Thank you