Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kau
"Pulanglah, ayah mau meninggal."
"Mau mati? Koit?"
Saya tidak suka candamu. Saya tahu, kau dulu memang minta diberitahu kalau ayah meninggal, bukan kalau sakit.
"Ayah kritis."
Hening.
"Kamu mau pulang?"
Saya mengharapkan "ya", tetapi kau beri keheningan.
"Datanglah," saya memelas.
Hening.
Kau membuatku harus memaksa, "Kamu masih takut ayah mengusirmu? Tenang saja. Ia tidak akan sanggup. Ia sekarat."
Diam.
Kau harus pulang. Kalau bukan untuk ayah, pulanglah untuk saya.
"Ya," kau akhirnya menjawab.
Pelan, lemah dan terpaksa.
Saya tidak peduli. Itu sudah cukup.
"Kalau bisa, datanglah sebelum hari Selasa."
"Kuusahakan," kau jawab singkat tanpa bertanya ada apa dengan hari Selasa.
***
Tak ada cincin di jari manismu.
Saya memang gila.
Setelah menutup pintu, kau hanya berkomentar, "Kota ini tidak berubah."
Kita bahkan belum keluar dari tempat parkir, dan kau sudah berani mengatakan kota ini tidak berubah?
"Apanya yang tidak berubah?"
Kau sandarkan kepalamu, kau tarik nafas. Kau tahan asap itu di paru-parumu selama sedetik, lalu kau hembuskan kuat-kuat.
Kau merokok asap gambut.
Kau benar. Kabut asap tidak pernah menghilang di bulan Agustus.
"Ayah bagaimana?"
Kau juga tidak berubah, seenaknya mengganti pembicaraan. Dan seharusnya kau lirik dulu jari manis gadis yang menjemputmu, lalu kau tanya kabarnya. Baru kemudian kau tanya kabar ayahmu.
Kemudian saya ingat, kau datang untuk ayah.
"Menunggu waktunya saja."
"Kapan?"
Kau sangat ingin bicara apa adanya. Saya ikuti maumu, "Kalau semuanya lancar, malam ini meninggal. Tetapi bila ia bisa melewati malam ini, besok cuci darah."
"Kalau nggak jadi malam ini, kapan?"
Pertanyaanmu mengikis rasa tidak enak. Saya tidak harus munafik, saya tidak akan menangisi kematian ayah.
"Bisa kapan saja," jawab saya. "Tahu gagal ginjal?"
"Penyakit yang menyakitkan."
Kau bilang hanya menyakitkan? Tiga kali seminggu, darah dikeluarkan dari tubuh ayah untuk dibersihkan oleh mesin. Kau tahu prosesnya? Empat jam. Jangan tanya biayanya. Sudah tidak ada apa-apa lagi di rumah. Mau tahu mengapa kau harus datang sebelum hari Selasa? Karena sebelum hari itu ayah begitu lemah dan menderita sehingga tidak akan sanggup mengusirmu. Masih ingat ancamannya waktu itu? Ia lari dari kuburnya bila kau jenguk makamnya.
"Sori, aku tidak datang waktu ibu meninggal," kau bilang
Kau tak perlu minta maaf. Setelah ibu meninggal, saya temukan slip transfer ke sebuah bank di Jogja. Betapa senangnya mengetahui kau mendapat cukup makan selama tujuh tahun. Ada deretan angka yang bahkan tidak tersimpan di ponsel ibu. Nomormu. Kau menerima pesan itu empat hari setelah ibu dikubur. Kau jawab, "Maaf, Lin. Aku tidak bisa datang. Kasih tahu aku kalau ayah meninggal." Setelah itu tidak ada kabar apa-apa darimu.
"Tidak apa-apa," saya jawab pelan.
Kita sama-sama diam. Kaku. Persis seperti ketika SMA, ketika ayahmu menikahi ibu. Kau cowok pemalu, tetapi diam-diam kau bongkar pakaian dalam dari tumpukan pakaian kotor saya. Kau pikir saya tidak tahu? Kau makin berani, diam-diam kau masuki kamar, kau utak-atik tumpukan celana dalam di lemari pakaian saya. Kau pikir saya tidak tahu? Kemudian kau bahkan makin lebih berani lagi, kau naiki ranjang saya di tengah malam. Kau pikir saya tidak tahu?
"Maaf, ya," katamu.
Kau terlalu banyak minta maa.
"Maaf untuk apa?"
"Untuk apa yang telah terjadi waktu itu."
Kau membaca pikiran orang? Saya malu membicarakannya.
Saya tidak tahu kau pergi kemana. Kalau boleh memilih, ingin rasanya ikut terusir dari rumah. Memang seharusnya, karena saya pura-pura tidur saat kau mengendap-endap ke ranjang saya. Kau tahu apa kata ayah? Ia tidak heran, ibu saya sendiri menjual dirinya kepada orang asing. Kau tahu mengapa saya mau merawatnya? Karena ia pernah mengampuni saya. Karena setelah menghadapi hari-hari berat dan memalukan itu, ia masih mau berbicara dengan saya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan," jawab saya. Jujur, ada sakit saat mengucapkannya. Berharap kau tahu, ada cemas setiap ada laki-laki mendekat.
Kau diam.
Saya juga diam.
Di Bundaran Burung, sudut mataku menangkap sesuatu. Kau memperhatikan sepasang burung yang bertengger di tengah bundaran. Bila kau katakan kota ini tidak berubah, Bundaran Burung berubah. Pagar sekelilingnya bukan lagi deretan tombak runcing mengancam, tetapi pipa melengkung berwarna lembut. Ingat temanmu yang menghantam deretan tombak itu di tengah malam?
Di Bundaran Kecil kau tersenyum sendiri. Kau bilang kota ini tidak berubah? Lampu merah di depan kita menyangkalnya. Kota ini mulai padat, kita harus menunggu satu putaran untuk masuk ke Jalan Diponegoro.
Kau tetap diam.
Di halaman rumah sakit, kau celangak-celinguk. Kau bilang kota ini tidak berubah? Rumah sakit berubah. Bagian depannya direhab jadi dua lantai. Di selasar, kau sejajarkan langkahmu. Kau masih ingat? Dulu kita tidak pernah jalan berdampingan. Kau begitu pemalu, kau lebih suka berjalan di belakang. Tetapi akhirnya saya tahu, kau berjalan di belakang supaya bisa memandang pantat saya.
"Ayah dirawat di mana?" katamu akhirnya.
Kau mungkin mengira ayah dirawat di ruang ICCU, tetapi karena kita melewatinya, kau akhirnya tidak tahan untuk tidak bertanya.
"Di ujung selasar ini," saya jawab. "Sebenarnya selama ini ayah hanya dirawat di rumah. Kami antar kalau mau cuci darah saja. Tetapi karena komplikasi, dari minggu lalu harus rawat inap."
"Kami?"
Kau cemburu?
"Mia," saya jawab singkat.
Tak kau tanyakan siapa Mia.
Tetapi kalau pun kau tanya, malas saya jawab. Saya sedang ketakutan. Apa yang akan terjadi setelah pintu terbuka? Saya bilang ayah begitu sekarat sehingga tak akan sanggup mengusirmu. Itu karangan saya saja. Apa yang terjadi kalau tiba-tiba ayah punya kekuatan untuk mengusirmu? Saya kuatkan hati. Lakukan itu, Ayah. Maka Ayah harus mencuci sendiri darah itu.
Saya dorong pintu.
Kau ingat gadis kecil yang menoleh ke arah kita? Ia tidak mengenalmu, tidak pernah tahu apa-apa tentangmu. Lahir delapan bulan setelah kau pergi. Sesuatu melintas? Ibu hamil sebulan kali terakhir kau mengendap-endap ke ranjang saya. Tak kau bayangkan apa yang terjadi seandainya kau hamili saya saat ayahmu menghamili ibu?
Gadis kecil itu hanya kau cium. Ia menatapmu heran. Kau dekati ayah yang terbaring lemah. Lama kau berdiri di sampingnya. Kau perhatikan muka pucatnya. Kau pernah merindukannya? Kau pastikan ayah masih bernafas dengan memandang dadanya. Masih bergerak. Kau ingin memeriksa detak jantungnya juga? Semoga kau tahu, setiap detak itu mengirim darah beracun ke seluruh tubuh. Kau membungkuk. Kau cium ayah. Keadaannya memang membangkitkan rasa iba. Sepasang mata itu terbuka. Beberapa detik kedua bola mata itu menatap nanar.
Saya takut.
Ketakutan yang tak perlu. Saya hanya melihat air mata. Bila masih masih ada rasa sakit karena sebutan anak pelacur itu, sakit itu terhapus begitu saja.
Kau duduk di samping ayah tanpa kata-kata. Ayah berusaha keras membuat matanya tetap terbuka. Sayang ia tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun, sesuatu membuat lidahnya kelu. Tetapi saya lihat kalian berdua lebih menyukai suasana tanpa kata-kata. Dari sudut, gadis kecil itu menatapmu penasaran. Kau tetap diam. Ia akhirnya menatap saya, minta jawaban. Maaf, kau yang harus menceritakan dongeng itu padanya.
Saya tidak tahan.
"Adikmu," bisik saya pelan.
"Aku tahu," kau balas.
Berapa banyak yang kalian sembunyikan? Apakah mengusirmu hanya untuk memisahkan kita?
Semuanya kembali hening. Dan ayah berusaha menahan matanya tetap terbuka.
Kita tunggu dalam diam ia meninggal.
***
Perlahan-lahan peti mati diturunkan.
Kita tidak menitikkan air mata. Hanya gadis kecil itu yang menangis. Mengenal ayah untuk kehilangan pasti lebih berat dari menghabiskan masa kecil tanpa sosoknya. Mia terlalu muda untuk menjadi yatim piatu. Ia hanya lebih beruntung karena ada ayah yang selalu menciumnya sebelum berangkat kerja. Tidak seperti saya yang bahkan tidak tahu apakah ayah menggendong saya sebelum kembali ke negaranya.
Saya letakkan tangan di bahu Mia. Ingin kuberbisik, "Jangan sedih, ayah sudah bersama Tuhan." Tetapi kupikir kata-kata tidak cukup. Saya berjongkok. Saya rengkuh ia dari belakang. Itu malah membuat tangisnya makin keras. Dan sayapun akhirnya tidak bisa membendung air mata. Kau tahu? Bukan kematian ayah yang saya tangisi.
Sekarang kau sudah pulang. Kau menganggap kota ini bukan kotamu lagi. Kau peluk Mia, kau jabat tangan saya, lalu kau pergi. Kau bahkan pulang tanpa menceritakan dongeng itu pada Mia.
- anakpatirsa's blog
- Login to post comments
- 7217 reads
salut
Salut buat Anak Patirsa. Cerpen psikologis yang indah.
Trims
Terima kasih atas pujiannya
Kok...
kok gitu... ceritanya ngga happy ending
TGBTG (Yoh 3:30 - IA harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.)
@helloworld
Lagi nggak mood buat cerita berhappy ending...
(setelah kulihat-lihat lagi, ternyata ceritaku jarang yang happy ending, ya).