Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kakakku dan Sosok Pria Idamannya

anakpatirsa's picture

"Kabar baik, nyonya menikah bulan oktober. He.. he.. maaf, baru berani beritahu sekarang setelah ada kepastian."

Itulah bunyi SMS yang kuterima ketika sedang berada di Gramedia, menemani seseorang yang ingin melihat-lihat buku, bukan membelinya. Ya, aku dan dia hanya bisa melihat-lihat buku yang terbungkus rapi. Aku hanya punya uang lima ribu rupiah, hanya cukup untuk membeli nasi goreng.

Aku senang mendengar berita ini, sebuah berita gembira bagi keluarga kami, bukan hanya bagiku. Aida, adik bungsuku yang mengirimkan berita ini. Berita rencana pernikahan seorang kakak yang kami panggil 'nyonya'. Kakak yang tinggal di kampung kecil dengan tetangga suka bergunjing kalau ada wanita sulit menikah. Bahkan kami juga akhirnya ikut terpancing ikut-ikutan bergunjing karena umur kakak sudah 33 tahun.

Menurut kami, kakak yang satu ini terlalu mematok standar tinggi untuk sosok pria idamannya. Dan Kami takut ia kesulitan sendiri mencari sosok seperti seperti yang ia idamkan. Kami takut, suatu saat ia terbangun dan sadar umurnya sudah terlalu tua. Wajar kalau kami takut, siapa tahu suatu saat ia merasa kepepet dan menerima siapa saja yang akhirnya punya keberanian untuk mendekatinya, sebelum umurnya menjadi 40 tahun. Umur yang menurut kami tidak aman untuk mendapat tambahan keponakan yang sehat.

"Calon kali ini adalah dosen matematika." SMS kedua datang sebagai balasan ketika aku membalas dengan menulis: "Kabar yang sangat baik."

"Agak hitam memang, tetapi cukup manis juga, umur sekitar 40-an," merupakan SMS ketiga dari adikku. Seorang gadis 24 tahun yang bagiku masih si bungsu kecil.

Aku tidak bisa berkomentar apa-apa, kecuali membalas dengan menulis, "Tampang tidak penting, yang penting otaknya." Sebuah jawaban karena aku memang merasa tidak bisa berkata apa-apa lagi.

***

Kakak ini tinggal di kampung kelahiran kami, sebuah kampung sederhana. Dihuni oleh pemuda sederhana, kebanyakan lulusan SMA yang akhirnya bekerja sebagai penambang emas. Tidak semuanya ganteng, apalagi kaya.

Sedangkan kakak kami mencari seorang pria pintar, kaya dan tampan. Kami tidak bisa menyalahkannya. Kakak kami juga tidak bisa pindah ke kota karena ia dan Aida menemani kedua orang tua kami.

Dua bulan yang lalu, aku pulang dan menemukan kakakku masih tidak memberi tanda-tanda akan mendapatkan sosok pria idamannya. Dan adik Aida melihat aku sendiri belum memberinya tanda-tanda akan menjadi sosok pria idaman seseorang. Sering si bungsu ini mengajakku ke kamar mereka dan menyuruhku membaca koleksi buku 'cara-cara mencari pasangan hidup yang tepat' milik kakak kami.

Salah satu buku yang kubaca, sebuah buku yang menekankan pentingnya menguji calon pasangan hidup. Salah satu caranya dengan melakukan tindakan yang sangat 'keterlauan' bahkan menyakitkan bagi orang yang diuji. Si penulis bahkan mengambil contoh dirinya sendiri. Ia bercerita bagaimana ia membuat janji ke gereja dengan pacarnya, lalu besoknya terlambat satu jam, dan hanya dengan memakai celana pendek. Ketika ia melihat gadisnya sudah rapi, ia pura-pura baru ingat tentang janji ke gereja itu.

Si penulis akhirnya tahu inilah gadis yang akan menjadi pasangan hidupnya. Seorang gadis yang tidak berteriak marah seperti orang kesurupan, tetapi hanya menangis lalu masuk ke kamar. Ia melihat gadis ini layak dipertahankan.

Aku yakin kakak sudah membaca buku ini dan mempraktekkannya dengan baik. Adikku bercerita bagaimana satu persatu calon-calon pria idaman itu mundur, atau kakak memutuskan ada yang tidak lulus ujian tersebut.

Aku tidak bisa menyalahkan kakak, ia punya hak untuk menentukan pilihannya. Hanya kadang-kadang aku berpikir mungkin pria pintar, kaya dan tampan seperti yang diidamkan kakak akan mencari gadis pintar, kaya dan cantik juga.

Walau bagaimanapun juga, aku senang jika akhirnya pencarian kakak ini berakhir. Aku bahkan berharap semoga kakak memikirkan umurnya dan tidak menguji calon suaminya dengan cara yang 'keterlaluan'. Mungkin sebagai saudara-saudaranya, kami jahat dan egois, karena berharap kakak tidak terlalu mencari kesempurnaan lagi. Kami cukup bersyukur kakak mendapat seorang pria dengan salah satu kriterianya.

Aku ingat, sebenarnya kakak pernah berkata kalau ia tidak lagi mencari orang yang terlalu sempurna. Ia berharap bisa mendapatkan hanya satu kriteria saja. Bahkan sambil menyelutuk ia pernah berkata, "semoga mendapat cowok pintar, karena dengan otaknya ia bisa mencari uang dan kaya." Aku tidak bisa menyalahkan kakakku.

Sekarang aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku telah membaca semua buku kakak tentang cara mencari pasangan hidup. Dari semua buku itu menurutku tidak ada yang lebih kupahami dari ucapan seseorang:

"Satu hal yang penting, apakah kamu bisa berkata jujur kepada pasanganmu."