Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace
Kado untuk Anak El-Shadday
Suatu siang di Pecinan
Saya harus extra hati-hati begitu mobil yang saya kendarai memasuki kawasan Pecinan ini. Jalannya sempit; mobil yang parkir di tepi jalan makin mempersempitnya; kuli angkat dengan bawaannya yang berlalu-lalang antara toko dan mobil truk mempersendat lalu lintas. Lepas dari sentra perdagangan besi dan material bangunan, di depan adalah sentra perdagangan emas. Tetapi saya berbelok ke kanan masuk ke centra perdagangan kain. Hampir tiba di ujung jalan ini saya mengedip-ngedipkan lampu untuk memberi tanda kepada tukang parkir saya akan memarkir mobil.
Untung ada tempat lowong untuk satu mobil. Jika tidak berarti saya harus memarkirnya di sentra jasa angkutan di antara mobil box dan truk besar. Begitu mobil berhenti, istri dan putri bungsu saya keluar dan berjalan kaki masuk ke sebuah gang kecil yang pada siang hari menjadi pasar tradisional untuk berbelanja. Sebuah pasar yang usianya setua kawasan ini yang dibangun oleh penjajah Belanda untuk mengisolasi komunita Tionghwa sebagai akibat pemberontakan Tionghoa di Betawi.
Tukang parkir itu bertubuh tinggi besar, bersepatu mengkilap, berpakaian serba hitam, dengan sebuah rompi yang menandai ia petugas parkir resmi. Karena sering ke daerah ini dan mengamati apa yang dilakukannya, saya tahu ia adalah komandan parkir di sini. Ia duduk di lantai teras sebuah toko yang tutup. Turun dari mobil, saya mendatanginya dan duduk di sampingnya.
“Di seluruh kotaSemarang ini, tukang parkir yang paling rapi pakaiannya adalah jenengan,” sapa saya sambil menepuk lututnya. Sebuah taktik klasik untuk mendapatkan kawan bicara.
Dia tertawa senang. “Tukang parkir adalah pekerjaan dan setiap pekerjaan harus dijaga dan disyukuri oleh pengembannya. Itu selalu saya katakan kepada orang-orang saya. Berpakaianlah yang rapi, pakai seragam. Ini pekerjaan yang menghidupi kamu, perlakukanlah dengan baik,” ceritanya tanpa saya minta.
“Biasanya, orang bersikap rapi bila sedang mencari pekerjaan. Begitu pekerjaan sudah didapat, orang itu tidak lagi rapi. Dalam berpakaian atau berperilaku. Kalau dipecat, mereka marah, lalu demo, bila perlu membakar kantornya sekalian, setelah itu mereka menganggur dan kelaparan,” saya menimpalinya.
“Karena itu setiap pekerjaan, biarpun hanya kuli angkat atau penggendong barang belanjaan seperti yang dilakukan ibu-ibu di pasar, harus selalu disyukuri,” ia menegaskan.
“Anak-anak sudah mentas?” saya mengganti topik pembicaraan.
Ia tidak menjawab karena ada mobil yang akan pergi. Ia memberi aba-aba dan menerima uang seribu rupiah. Lalu ia kembali duduk di samping saya.
“Anak saya dua. Semua sudah selesai sekolahnya, tapi belum berkeluarga. Yang pertama perempuan. Dia dokter gigi dan jadi dosen sambil sekolah lagi untuk S2-nya. Yang kedua laki, polisi lulusan Akpol dan sekarang bertugas di Sulawesi.”
Saya terkejut. “Nyuwun sewu, panjenengan jangan marah kalau saya heran. Kerjaan hanya tukang parkir. Bagaimana bisa menyekolahkan anak di kedokteran gigi yang uang masuknya puluhan juta? Akademi polisi? Semua orang tahu masuk ke Akpol mahalnya seperti masuk ke fakultas kedokteran umum di Universitas Diponegoro. Jenengan jual sawah berapa hektar?”
Dia tertawa. Lalu ia berkisah tentang anak perempuannya. Lulus SMA anaknya bertanya apa ia boleh meneruskan sekolahnya di jurusan apa saja. Bapaknya mengiyakannya. Pulang dari ujian UMPTN, bapaknya terkejut mengetahui anaknya memilih kedokteran gigi di Gajah Mada dan Pajajaran. Ia tahu itu sekolah mahal dan ia tidak punya banyak tabungan. Anaknya diterima di Bandung. Seluruh keluarga berangkat ke kota itu untuk mengantar anaknya menghadiri wawancara. Seluruh tabungan dibawa, 10 juta rupiah.
“Kena berapa, Pak?” tanya saya tak sabar.
“Tiga juta rupiah,” jawabnya membuat saya mendelik. Murah amat.
“Lalu setiap bulan Bapak kirim uang ke Bandung berapa ratus ribu rupiah?”
“Lima ratus ribu.”
“Apa cukup? Pada tahun yang sama anak saya butuh 700 ribu rupiah.”
“Saya bilang kepadanya, nomor satu adalah niat yang kuat dan pasrah kepada Yang Kuasa. Kalau kamu punya niat kuat untuk menyelesaikan kuliahmu, 500 ribu rupiah itu cukup. Berhematlah setiap hari. Selesaikanlah kuliahmu lebih cepat lagi. Dia lulus dengan nilai terbaik, sebagai lulusan termuda karena ia menyelesaikan kuliahnya lebih cepat daripada yang dijadwalkan. Dengan rekomendasi dari sekolahnya ini, sebuah rumah sakit swasta di Semarang memanggilnya untuk bekerja. Ia juga diminta jadi dosen perguruan tinggi yang satu atap dengan rumah sakit ini.”
“Wah, sekarang pasti dia sudah punya mobil dan punya rumah sendiri di Semarang.”
“Dia masih tinggal bersama saya di Kaliwungu. Kadang dia berangkat dari rumah bersama saya, boncengan sepeda motor. Kadang dia naik angkot.”
“Kalau naik angkot berarti bisa makan waktu paling tidak 2 jam. Seorang dosen sekaligus dokter gigi naik angkot, apa dia tidak malu?”
“Mengapa harus malu? Dia harus mensyukuri apa yang sekarang ia miliki: gelarnya, kepandaiannya, pekerjaannya. Gusti sudah memberinya kecukupan. Tidak perlu serakah.”
“Lalu anak kedua yang masuk Akpol kena berapa? Kabar-kabarnya uang masuk Akpol paling sedikit 100 juta?”
“Ya, saya juga mendengar begitu. Tapi, boleh percaya boleh tidak. Untuk anak saya, gratis!”
“Bapak punya famili jenderal?”
Dia tertawa. Lalu ia berkisah setelah lulus SMP Kaliwungu anaknya minta disekolahkan di SMA di Magelang yang bernaung di bawah AKABRI. Lulus SMA anak itu mendaftarkan diri ke Akpol. Ia lulus tes dengan nilai bagus dan bebas uang masuk karena berasal dari SMA itu.
“Tuhan itu baik banget sama Bapak ya,” komentar saya. Ia mengangguk-anggukkan kepala mengiyakan. “Semua anak sudah bekerja dengan jabatan yang bagus. Seharusnya Bapak tidak usah kerja lagi. Pensiun, gitu.”
“Tuhan memberi saya pekerjaan ini. Dengan pekerjaan ini saya telah mengentaskan anak-anak saya. Saya tidak mau berhenti bekerja selama badan masih kuat. Saya juga tidak mau berganti pekerjaan. Orang melihat ini pekerjaan rendahan. Tetapi bagi saya ini pekerjaan mulia karena melalui pekerjaan ini berkat yang luar biasa Tuhan salurkan kepada saya. Sekarang, bekerja bagi saya adalah pengabdian kepada Yang Kuasa.”
Saya berpamitan ketika melihat istri dan anak saya datang. Istri saya membawa sayur-sayuran sedangkan anak saya membawa setumpuk piring kertas yang diperlukannya untuk menyiapkan aktivitas 130 anak Sekolah Minggu hari Minggu nanti.
Menjalani hidup bagai memasuki pertempuran demi pertempuran. Dan medan laga sering berupa semak duri dan kubangan lumpur seperti yang pernah dialami oleh seorang blogger Sabdaspace ini. Ia menuliskannya tepat setahun yang lalu pada tanggal 23-Maret-2008. Mari kita simak sebagian dari tulisannya di bawah ini.
“Sepanjang Januari sampai Agustus 2003 gairah mulai berubah menjadi kegalauan. Wawancara pertama, psikotest 1 kadang sampai 2 selalu terlewati dengan mulus. Begitu wawancara terakhir selesai, hanya jabatan tangan sambil menanti surat penolakan halus. Entah apa yang membuat gagal, padahal sekali pun saya tidak pernah pasang tarif. Obral terus.
September 2003 tak ada rotan akar pun jadi. Saya diterima magang oleh sebuah perusahaan besar di bagian HRD. Tugasnya memilah-milah surat lamaran kerja yang masuk, yang mencantumkan nama universitasnya, gelar, jurusan, ip, hingga sudah berapa lama si pelamar lulus.
Saat saya memilah-milah, sungguh saya tercengang dengan berbagai bentuk surat lamaran itu. Padahal selama ini surat lamaran saya hanya conventional, hanya diatas kertas kuarto, dengan tinta hitam putih, dan format resume standar.
Sedangkan surat lamaran yang saya lihat, wow luar biasa. Kertas yang beraneka warna dan jenis, harum dan penuh pernak-pernik, format resume yang keren dengan ketebalan referensi 100 halaman. Gila gak tuh. Fiuhhh...
Sedangkan surat lamaran yang saya lihat, wow luar biasa. Kertas yang beraneka warna dan jenis, harum dan penuh pernak-pernik, format resume yang keren dengan ketebalan referensi 100 halaman. Gila gak tuh. Fiuhhh...
Sepintas kerjaan itu terlihat keren, padahal biasa saja. Paling sering saya mengantar surat-surat dari satu lantai ke lantai yang lain. Upahnya ya cukup lumayan sih. Ayo tebak berapa. Ongkos saya dari Bekasi – Jakarta pulang pergi waktu itu sekitar 15 ribu/hari. Artinya sebulan sekitar 450 ribu. Nah upah saya saat itu yang saya tandatangani di atas kuitansi dengan tulisan tangan tanpa materai, 250 ribu/bulan!
(cuplikan “Pengalaman Jadi Fresh Graduate”)
Selamat ulang tahun, AES.
Jikalau ingin bertekuk lutut, lakukanlah itu di depan hadirat Tuhan, bukan di depan manusia. Nikmatilah pengalaman pahit hari ini sebaik-baiknya dan catatlah karena kelak di kemudian hari akan menjadi kenangan manis yang tak terlupakan. Benar tidaknya pernyataan ini boleh ditanyakan kepada penulis blog di atas.
Salam.
Belum ada user yang menyukai
- Purnomo's blog
- Login to post comments
- 5341 reads
@purnomo : HAHAHA...
Jesus Freaks,
"Live X4J, Die As A Martyr"
-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-
Jesus Freaks,
"Live X4J, Die As A Martyr"
-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-
@JF, blog bagus tidak terkubur
Saya selalu mengarsip blog-blog bagus, termasuk milik JF, yang inspiratif tentunya.
Dengan mengutip blog Anda, penghuni baru Sabdaspace tahu JF itu tidak sesangar dan "sejahat" yang mereka pikir. Mereka bisa tahu sisi lain kepribadian Anda yang selama ini Anda sembunyikan.
Thx untuk blog-blog Anda yang bagus.
Salam.
@Pak Pur
Tukang parkir yang sungguh luar biasa.
Mungkin sebagian dari kita, termasuk juga saya, kadang menilai orang dari penampilan luarnya. Itu salah besar. Seperti peribahasa: air tenang menghanyutkan yang artinya bertolak belakang dengan tong kosong nyaring bunyinya atau air beriak tanda tak dalam.
Tulisan anda sangat inspiratif.
Damai Kristus
Damai Kristus
@MR, thx
untuk pujian Anda.
Salam.
saya sudah mengalaminya pak pur ..
saya kerja pindah2, pernah dibandara jadi kuli kargo, kerja di retail farmasi yang ga jelas jam kerjanya.. sampe ikut dokter senior yang galaknya minta ampun dan akhirnya ikut ngurusi manusia lali jiwo di malang.
blog ini sudah 2 tahunan, dan maaf saya baru baca.. hehehe maturnuwun sanget pak pur, sekarang saya udah punya rumah di tengah kota meskipun nyicil, punya usaha kecil2an yang hasilnya lumayan.
matur nuwun sanget..
but the one who endure to the end, he shall be saved.....
AES di Malang
kamu kena marah Joli di kotak ijo.
joli AES, walah kado dah 2 tahun baru di buka, untung nggak basi (27.05.2011 18:08)
Kalo Agustus nanti saya ke Malang, saya akan kontak kamu untuk makan bersama gulai kambing campur kacang ijo di pasar lama.
Salam.