Klik x untuk menutup hasil pencarianCari di situs SABDASpace

Kadang banyak cinta hadir dalam hidupmu untuk menguji cinta sejatimu.

Benia Herawati's picture

Thanks God!

Aku sudah duduk di dalam taksi ketika hujan deras turun mengguyur bumi. Kabut tampak jelas bergerak di atas pohon-pohon jauh di lembah, lepas tengah hari angin di Dago Tea House bertiup cukup kencang, udaranya yang berkabut menusuk kulit sampai ke tulang, tapi karena dari rumah aku sudah berniat akan menghabiskan waktu seharian untuk diriku sendiri aku menunggu sampai sore baru pulang.

Dulu aku sering membayangkan menulis di tempat setenang Dago Tea House sambil mendengarkan musik pasti menyenangkan, mungkin bisa menghasilkan karya besar!

Haha..!

Sepi, udaranya sejuk, banyak pohon, mendengar kicau burung yang sesekali melintas lewat, pemandangan Kota Bandung di sebelah selatan dan bukit-bukit kearah utara. Tapi yang kulakukan selama berjam-jam hanya mengetik beberapa kalimat berulang-ulang kemudian menekan backspace, dan akhirnya setelah menghabiskan beberapa potong roti, yang ada di monitorku hanya gambar sekawanan burung berwarna hitam yang sedang terbang dibawah awan-awan.

Sebenarnya aku ingin menggambar hanya seekor burung rajawali yang besar, tapi sulit menggambar detail-deatilnya, maka aku berubah pikiran, aku ingin menggambar banyak burung tapi hanya berbentuk sketsa yang sedang terbang dengan formasi huruf V seperti yang pernah kubaca, tapi setelah melihat dua ekor burung melintas yang terbang gemulai di depanku, aku berubah pikiran lagi, aku ingin menggambar dua burung saja! Jantan dan betina, tapi tampaknya sketsa dua burung kecil di monitorku tampak sepi, seperti sepinya tempat sekelilingku, ya sudah aku menggambar burung berjumlah 13!

Sampai hari beranjak sore dan mulai berkabut, aku belum menghasilkan suatu tulisan yang berarti dan akhirnya aku menelepon taksi setelah sekujur tubuhku terasa kaku.

Hahaha…

Hasil yang sangat menggelikan kalau kubandingkan berapa tahun sudah aku merindukan dan membayangkan saat-saat seperti ini.

Taksi terus meluncur turun melintasi Jl. Juanda dan berhenti di lampu merah perempatan Jl. Riau dan Jl. Merdeka. Di bawah hujan yang masih turun rintik-rintik, dua anak perempuan bergerak mendekati taksi dan menepuk-nepuk tangannya yang pucat, aku tidak mendengar mereka menyanyikan lagu apa, aku membuka tas yang kubawa bermaksud memberikan beberapa uang receh sekalian roti yang masih ada tapi lampu sudah keburu hijau, sopir taksi membuka kaca mobil dan memberikan bungkusan yang ada di dashboardnya.

Aku menoleh ke belakang dan melihat kedua gadis kecil itu berlari gembira ke pinggir jalan. Aku berbalik, memandang ke depan yang dipenuhi mobil-mobil dari berbagai type dan merk, adakah diantara orang-orang yang duduk disana pernah tergerak hatinya untuk melakukan seperti yang telah dilakukan sopir taksi barusan?

“Sekarang anak-anak di jalan bertambah banyak saja,” keluh sopir taksi itu seperti pada diri sendiri. “Ingin membantu tapi tidak punya apa-apa.”

“Bapak telah memberi mereka sesuatu,” komentarku.

“Yah spontanitas aja Neng, ingat anak sendiri kalau melihat anak-anak jalan seperti tadi.”

“Pak, orang yang baik itu orang yang melakukan kebaikan tanpa dipikir-pikir dulu, tidak timbang-timbang dulu untung dan ruginya, langsung gitu, kaya Bapak tadi.”

“Ah, Neng, sebenarnya Bapak tidak sanggup melihat anak-anak itu, tapi pekerjaan Bapak malah sopir, mau tidak mau setiap hari harus melihat mereka.”

“Yah memang begitu sih Pak kadang-kadang,” kataku. “Apa yang kita benci itu justru yang harus kita lakukan.”

Sopir taksinya mengangguk, dari obrolan anak jalanan, sampai hujan yang terus saja turun tiap hari, sopir taksi itu akhirnya cerita tentang kehidupannya. Bungkusan yang dia berikan pada anak-anak perempuan itu sedianya untuk anak perempuannya yang telah meninggal empat tahun yang lalu!

Tiga tahun terakhir ini , setiap tanggal 12 desember sopir taksi itu selalu membeli kue ulang tahun yang bentuk dan besarnya sama. Sore setelah pulang menarik taksi, dia meletakkan kue itu dipusara anaknya dan menunggui pusara itu sampai besok pagi, dia tidak beranjak walau pun semalaman hujan untuk menunggu seseorang yang dia sendiri tahu tidak akan pernah datang tapi dengan merasakan kelaparan, kedinginan, kelelahan sopir taksi itu merasa itu adalah cara untuknya buat menebus rasa berdosa dengan mencoba merasakan penderitaan anaknya sebelum maut menjemput.

“Anak saya lemah jantung,” kata Pak sopir itu pahit. “Uang yang kami punya habis biaya berobatnya.”

Aku mematikan mp3 yang telah kukecilkan, mungkin di akhir perjalananku hari ini ada juga hal menarik yang kutemui.

“Kadang-kadang saya merasa marah dan frustasi, pulang kerumah yang ada hanya masalah keuangan dan penyakit saja.”

Aku semakin menajamkan telingaku, taksi sudah memasuki Jalan Asia Afrika. Pak sopir meneruskan ceritanya. Dia mencari hiburan sendiri dan tergoda dengan seorang wanita, lama-lama dia jadi malas pulang kerumah.

Waktu itu dia masih bekerja di sebuah agen perjalanan, empat tahun yang lalu waktu ulang tahun ke sembilan putrinya dia di telepon istrinya, supaya dia pulang, anaknya memesan kue ulang tahun yang berbentuk segi empat, tapi dia tidak berniat untuk pulang. Malam itu juga di bawah siraman hujan yang sangat deras, anaknya diam-diam keluar rumah menyusul dia ke kantor, tapi dia tidak berada disana.

Tengah malam istrinya baru sadar kalau anaknya tidak ada, dia mencari ketempat-tempat yang mungkin dia pergi tapi tidak ada, malam sudah hampir subuh ketika anak kecil itu ditemukan satpam pingsan di samping kantor. Pagi hari anak perempuannya itu meninggal dunia, dipelukannya.

Hidup Pak sopir itu tidak pernah sama lagi, walau istrinya memaafkan dia dan menerima dia kembali tapi rasa berdosa itu terus mendera terutama setiap bulan desember.

“Terus kenapa tadi Bapak memberikan kue itu?” Tanyaku penasaran.”Hari ini juga hujannya deras.”

“Begitu saja niat itu timbul melihat Neng sudah membuka tas tapi tidak sempat memberikan pada anak-anak itu.”

“Mungkin anak Bapak juga tidak suka Bapak membawakan dia kue setiap tanggal 12,” kataku hati-hati setelah berpikir sjenak. “Mungkin dia lebih senang kalau sore ini Bapak pulang ke rumah dan makan bersama istri Bapak malam ini.”

“Saya tidak tahu Neng, tapi mungkin dia akan senang kalau ibunya senang.”

“Itu maksudku. Pak, kataku tersenyum.” Bulan Desember biasanya musim hujan, semoga tahun depan, tanggal 12 begini, hujan tidak turun.”

Diam.

Taksi berhenti di depan rumah, pak sopir membantu mengeluarkan barang-barangku.

“Terimaksih Neng sudah mendengarkan Bapak, kadang-kadang ingin juga orang lain tahu apa yang kita alami.”

“Sama-sama Pak, makasih juga mau cerita.”

Aku membuka pintu dan tiba-tiba tertegun ditengahnya.

“Kadang-kadang banyak cinta hadir dalam hidupmu untuk menguji cinta sejatimu.”

Hei! Siapa yang berbisik?

 

Selamat Natal 2009 dan Tahun Baru 2010

Samuel Franklyn's picture

Indah. Aku menantikan cerpen kamu yang berikutnya

Indah. Aku menantikan cerpen kamu yang berikutnya. Omong-omong siapa cinta sejatimu?

Benia Herawati's picture

Terimakasih

Makasih buat  komennya Pak:)

 

Purnomo's picture

Semoga Desember tahun depan udara tidak seterik ini

Blog ini bagai semilir angin sejuk di tengah teriknya udara SS bulan ini.

Salam

 

Benia Herawati's picture

Terimakasih

Salam kembali,

Terimakasih komentarnya:)

Daniel's picture

untung kantor sudah sepi

sebagian besar staf yang lain sudah mulai cuti, meninggalkan aku sendiri (karena baru 2 bulan di sini, jadi belum bisa ambil cuti panjang), jadi tidak ada yang melihat mataku yang berkaca-kaca.

terima kasih Herawati, cerita yang sangat indah.

Selamat Natal!

Benia Herawati's picture

Terimakasih

Makasih komennya ya, makasih juga dah add aku di FB:)

Evylia Hardy's picture

Aku suka

Sederhana. Dan digarap dengan baik.

Simplicity, carried to an extreme, becomes elegance(ngutip dari Reader's Digest, edisi lama, lupa kapan persisnya)

eha

__________________

eha

Benia Herawati's picture

Terimakasih

Makasih komennya, God Bless..:)